Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Di Jakarta Pendekatan Berbasis Masyarakat Tidak Mangkus dan Sangkil, Bisa Jadi!

20 April 2016   21:10 Diperbarui: 20 April 2016   21:14 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Masyarakat berdiskusi terkait perencanaan desa. Foto: smeru.or.id"][/caption]Ahok tidak pernah mendengarkan masyarakat dalam proses relokasi warga. Sepertinya pendekatan tangan besi dilakukan Ahok untuk merelokasi warga yang mendiami dan mengambil alih lahan-lahan negara. Padahal ada pendekatan berbasis masyarakat yang bisa digunakan untuk proses relokasi ini. Kenapa Ahok tidak menggunakannya?

Pendekatan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan dalam sebuah proses pembangunan dengan melibatkan masyarakat, mulai proses perencanaan hingga pelaksanaan. Bahkan dana program juga diserahkan dan ditangani masyarakat. Melalui pendampingan oleh fasilitator, dalam pendekatan model ini, masukan-masukan dari masyarakat didengarkan melalui proses dialog dan berdiskusi dengan masyarakat yang terdampak oleh kebijakan pemerintah.

Dalam bahasa Bank Dunia, pendeakatan berbasis masyarkat ini disebut dengan Community-Driven Development, dimana masyarakat yang terdampak ditempatkan pada ‘front-seater’ pelaksanan pembangunan. Dalam ranah akademis, pendekatan ini masuk dalam New Public Service. Peran serta masyarakat atau public participation diterima dan difasilitasi. Pendekatan ini telah dilakukan dalam banyak kesempatan.

Salah satu yang paling fenomenal adalah relokasi PKL di Solo yang dilakukan oleh Jokowi ketika masih menjabat sebagai walikota. Pendekatan komunikasi terhadap 989 PKL di kawasan Monumen’45 Banjarsari, Solo, perlu proses dialog yang panjang, hingga 54 kali pertemuan makan siang selama kurang lebih 7 bulan, sebelum para pedagang barang bekas ini bersedia direlokasi.

Keberhasilan pendekatan ini banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan dengan memanusiakan para pedagang kaki lima. Bahkan proses relokasi para pedangang ini ke lokasi baru dilakukan dalam sebuah kirab budaya, memberikan nilai lebih pada proses ini.

Program-program lain yang menggunakan pendekatan berbasis masyarakat ini pada tingkat nasional seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri dengan berbagai temanya dan dilaksanakan oleh beberapa kementerian. Program PAMSIMAS, untuk penyediaan air bersih di masyarakat pedesaan, yang diimplementasikan oleh Kemen PUPERA.

Salah satu program pemerintah yang menggunakan pendekatan berbasis masyarakat ini dan mendapat pengakuan dari MURI adalah program relokasi masyarakat terdampak letusan Merapi 2010 di Kabupaten Magelang dan Sleman Provinsi Yogyakarta. Program ini diganjar rekor MURI karena program tersebut merupakan program relokasi terbesar di Indonesia dengan pendekatan berbasis masyarakat tanpa gejolak sosial.

Dalam konteks Jakarta, relokasi yang dilakukan pemerintah selalu mendapatkan perlawanan dari masyarakat yang akan direlokasi. Kejadian-kejadian relokasi bahkan sejak Jokowi masih gubernur pun, tetap mengalami proses ricuh. Relokasi di Waduk Ria Rio, Waduk Pluit dan yang paling terbaru di Kampung Pulo dan Kampung Pasir Ikan, mengalami ricuh dan mendapatkan perlawanan dari masyarakat yang akan direlokasi.

Meskipun dalam proses ini terdapat kecurigaan bahwa masyarakat ditunggangi berbagai pihak yang dirugikan dengan agenda masing-masing dan pencari panggung, menggunakan sudut pandang kekerasan oleh negara dan pelanggaran HAM.

Pertanyaannya adalah mengapa di Solo dan Merapi pendekatan ini berhasil dan di Jakarta tidak digunakan?

Dalam satu kesempatan diskusi dengan seorang supir taksi dalam perjalanan dari rumah ke kantor, penulis coba bertanya kepada sopir taksi terkait alasan pemerintah DKI tidak menggunakan pendekatan dialog ini. Jawaban sopir taksi ini, sebagai individu yang mengenal karakter orang Jakarta karena tiap hari berada di jalan, cukup memberikan gambaran.

“Di Jakarta itu banyak penguasanya. Karakter orangnya keras. Tidak mungkin mereka satu suara. Belum lagi kepentingan-kepentingan lainnya. Pokoknya susahlah Pak ngajak orang Jakarta dialog. Panasan” ujarnya dengan nada agak tinggi. Mungkin karena dia ingin memastikan suaranya terdengar. “Belum lagi masyarakat Jakarta berasal dari berbagai daerah, tidak seperti Solo yang berasal dari satu suku dan terkenal dengan sifat nrimonya” lanjut bapak sopir taksi itu lagi.

Memang, sejumlah pendapat mengatakan bahwa pelaksanaan pendekatan berbasis masyarakat itu memerlukan syarat, prakondisi yang harus terpenuhi agar pendekatan ini dapat dilaksanakan. Masyarakat Yogyakarta terkenal sangat ramah dan terbuka kepada hal-hal yang baru. Mereka juga masih memegang adat gotong-royong yang kuat sehingga proses bisa berjalan. Musyawarah dapat terjadi karena masih jamak dilaksanakan terkait berbagai kegiatan yang ada di masyarakat. Dalam acara-acara masyarakat, sifat gotong-royong dan membantu sesama pun masih kental. Demikian juga di Solo.

Berbeda dengan Jakarta yang sudah sangat individual. Tekanan-tekanan di Jakarta telah memunculkan masyarakat yang tidak terhubung satu sama lain. Meskipun tolong-menolong masih ada, tetapi dalam lingkaran yang sangat kecil, karena tingkat kepercayaan kepada orang lain yang sangat tipis.

Bisa dibayangkan, jika satu relokasi saja membutuhkan setidaknya 50 kali pertemuan, maka berapa banyak ‘acara makan siang’ yang akan dilakukan oleh pemerintah DKI untuk semua daerah yang akan direlokasi dan dikembalikan ke fungsinya sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah. Tidak akan cukup waktu dan sumber daya untuk melakukan semuanya itu. Jika proses satu relokasi melibatkan hampir 1000 penduduk memerlukan waktu 7 bulan, berapa lama waktu yang diperlukan untuk seluruh Jakarta?

Senada dengan hal di atas, penelitian yang dilakukan penulis pada kasus relokasi masyarakat terdampak bencana Merapi menemukan bahwa proses pendekatan berbasis masyarakat ini memerlukan waktu yang relatif lama. Mendengarkan masyarakat yang tidak langsung sepakat itu juga membutuhkan kesabaran. Belum lagi masalah ‘elit capture’. Suara-suara yang nyaring hanya dari para tokoh masyarakat, sementara masyarakat lainnya seringnya manut dan menerima saja.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Bapak Heri Suprapto, Lurah Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta, salah satu nara sumber penelitian.  “Prosesnya agak lama meyakinkan masyarakat. Orang yang kena bencana mudah tersinggung. Harus sangat hati-hati memberikan penjelasan” papar beliau.

Hal yang sama juga disampaikan Bapak Arif Budi Wahyono, Team Leader Rekompak DIY Jateng, nara sumber yang lain. “Ketika ibu-ibu ditanya kemauannya, ternyata berbeda dengan bapak-bapaknya. Ini baru soal fasilitas sosial; jalan seperti apa, penerangan seperti apa, tempat bermain seperti apa. Yang laki- beda dengan ibu-ibu. Ibu-ibu ingin tidak ada perempatan, semua jalannya melingkar di luar dan dibelah-belah. Bapa-bapa minta ada perempatan dan tiap perempatan ada gardu. Ketika keinginan-keinginan itu didialogkan, sepakatnya baru pada pertemuan ke 13-14”, ujarnya.

Pendekatan berbasis masyarakat memang memerlukan waktu yang sangat lama. Penelitian di atas menujukkan satu pengalaman dimana untuk mengambil satu keputusan terkait fasos saja, diperlukan 13-14 kali pertemuan. Itu baru satu hal, belum hal lain yang tentunya membutuhkan waktu dan tenaga serta kesabaran yang luar biasa.

Dengan demikian, melihat pada kompleksitas permasalahan di Jakarta, pendekatan berbasis masyarakat ini menjadi tidak efektif dan efisien, tidak mangkus dan sangkil.

Jadinya teringat ucapan Lee Kwan Yew, ketika negara Singapura baru merdeka dari Malaysia pada Agustus 1965. Kondisi Singapura sangat menyedihkan; masyarakat miskin, tidak memiliki rumah, pendidikan rendah dan kualitas hidup pun rendah. Belum lagi sumber daya alam yang sangat terbatas.

Lee berkata, “Tidak mungkin saya mengajak berdiskusi masyarakat yang miskin, lapar, tidak berpendidikan, menderita, dan kumuh untuk memikirkan masa depan negara ini”.

Ucapannya sedikit banyaknya menggambarkan bahwa akan sangat sulit membicarakan masa depan yang gemilang dengan orang yang masih berfikir untuk hidup besok hari. Tetapi kenyataannya Singapura maju dan menjadi seperti sekarang ini.

Memang, Singapura menjadi seperti ini bukan karena Lee tidak mengajak masyarakatnya bicara, tetapi lebih pada karena Lee memiliki visi dan hati nurani yang membawa Singapura maju.

Dalam konteks Jakarta, pendekatan yang dilakukan Lee ini menemukan kembali tempatnya. Akan sangat susah dan terjal jalan yang akan dilalui Ahok jika harus mengajak semua orang bicara. Tetapi hati nuraninya yang mengarahkan Ahok dalam melakukan kebijakan. Memberikan pelayanan yang lebih baik, mengangkat harkat dan martabat manusia, tentunya lebih bermanfaat dari pada harus menggunakan pendekatan berbasis masyarakat ini.

Hal ini setidaknya sudah mulai terlihat di rusunawa-rusunawa dan fasilitasnya serta berbagai layanan yang diberikan: Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat, premi BPJS yang ditanggung APBD, bus gratis, dan uang kuliah bagi anak-anak miskin Jakarta yang masuk PTN; semuanya tanpa berbasis masyarakat, tetapi menanyakan hati nurani dan pikiran yang tulus dan adil akan perlunya perbaikan hidup masyarakat miskin perkotaan Jakarta yang telah terlalu lama ditinggalkan dan diabaikan.

“Nikmat apa lagi yang kau dustakan warga Jakarta”, ujar seorang kawan di Bandung sana.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun