Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Di Jakarta Pendekatan Berbasis Masyarakat Tidak Mangkus dan Sangkil, Bisa Jadi!

20 April 2016   21:10 Diperbarui: 20 April 2016   21:14 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Di Jakarta itu banyak penguasanya. Karakter orangnya keras. Tidak mungkin mereka satu suara. Belum lagi kepentingan-kepentingan lainnya. Pokoknya susahlah Pak ngajak orang Jakarta dialog. Panasan” ujarnya dengan nada agak tinggi. Mungkin karena dia ingin memastikan suaranya terdengar. “Belum lagi masyarakat Jakarta berasal dari berbagai daerah, tidak seperti Solo yang berasal dari satu suku dan terkenal dengan sifat nrimonya” lanjut bapak sopir taksi itu lagi.

Memang, sejumlah pendapat mengatakan bahwa pelaksanaan pendekatan berbasis masyarakat itu memerlukan syarat, prakondisi yang harus terpenuhi agar pendekatan ini dapat dilaksanakan. Masyarakat Yogyakarta terkenal sangat ramah dan terbuka kepada hal-hal yang baru. Mereka juga masih memegang adat gotong-royong yang kuat sehingga proses bisa berjalan. Musyawarah dapat terjadi karena masih jamak dilaksanakan terkait berbagai kegiatan yang ada di masyarakat. Dalam acara-acara masyarakat, sifat gotong-royong dan membantu sesama pun masih kental. Demikian juga di Solo.

Berbeda dengan Jakarta yang sudah sangat individual. Tekanan-tekanan di Jakarta telah memunculkan masyarakat yang tidak terhubung satu sama lain. Meskipun tolong-menolong masih ada, tetapi dalam lingkaran yang sangat kecil, karena tingkat kepercayaan kepada orang lain yang sangat tipis.

Bisa dibayangkan, jika satu relokasi saja membutuhkan setidaknya 50 kali pertemuan, maka berapa banyak ‘acara makan siang’ yang akan dilakukan oleh pemerintah DKI untuk semua daerah yang akan direlokasi dan dikembalikan ke fungsinya sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah. Tidak akan cukup waktu dan sumber daya untuk melakukan semuanya itu. Jika proses satu relokasi melibatkan hampir 1000 penduduk memerlukan waktu 7 bulan, berapa lama waktu yang diperlukan untuk seluruh Jakarta?

Senada dengan hal di atas, penelitian yang dilakukan penulis pada kasus relokasi masyarakat terdampak bencana Merapi menemukan bahwa proses pendekatan berbasis masyarakat ini memerlukan waktu yang relatif lama. Mendengarkan masyarakat yang tidak langsung sepakat itu juga membutuhkan kesabaran. Belum lagi masalah ‘elit capture’. Suara-suara yang nyaring hanya dari para tokoh masyarakat, sementara masyarakat lainnya seringnya manut dan menerima saja.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Bapak Heri Suprapto, Lurah Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta, salah satu nara sumber penelitian.  “Prosesnya agak lama meyakinkan masyarakat. Orang yang kena bencana mudah tersinggung. Harus sangat hati-hati memberikan penjelasan” papar beliau.

Hal yang sama juga disampaikan Bapak Arif Budi Wahyono, Team Leader Rekompak DIY Jateng, nara sumber yang lain. “Ketika ibu-ibu ditanya kemauannya, ternyata berbeda dengan bapak-bapaknya. Ini baru soal fasilitas sosial; jalan seperti apa, penerangan seperti apa, tempat bermain seperti apa. Yang laki- beda dengan ibu-ibu. Ibu-ibu ingin tidak ada perempatan, semua jalannya melingkar di luar dan dibelah-belah. Bapa-bapa minta ada perempatan dan tiap perempatan ada gardu. Ketika keinginan-keinginan itu didialogkan, sepakatnya baru pada pertemuan ke 13-14”, ujarnya.

Pendekatan berbasis masyarakat memang memerlukan waktu yang sangat lama. Penelitian di atas menujukkan satu pengalaman dimana untuk mengambil satu keputusan terkait fasos saja, diperlukan 13-14 kali pertemuan. Itu baru satu hal, belum hal lain yang tentunya membutuhkan waktu dan tenaga serta kesabaran yang luar biasa.

Dengan demikian, melihat pada kompleksitas permasalahan di Jakarta, pendekatan berbasis masyarakat ini menjadi tidak efektif dan efisien, tidak mangkus dan sangkil.

Jadinya teringat ucapan Lee Kwan Yew, ketika negara Singapura baru merdeka dari Malaysia pada Agustus 1965. Kondisi Singapura sangat menyedihkan; masyarakat miskin, tidak memiliki rumah, pendidikan rendah dan kualitas hidup pun rendah. Belum lagi sumber daya alam yang sangat terbatas.

Lee berkata, “Tidak mungkin saya mengajak berdiskusi masyarakat yang miskin, lapar, tidak berpendidikan, menderita, dan kumuh untuk memikirkan masa depan negara ini”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun