Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Air, Budaya Kita dan Reklamasi Utara Jakarta

13 April 2016   00:37 Diperbarui: 14 April 2016   01:10 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rencana Penataan Utara Jakarta. Foto: sp.beritasatu.com"][/caption]Air adalah sumber kehidupan. Secara sosiologis, air memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Tentunya juga secara fisiologis dan spiritualis.

Pada banyak kebudayaan lokal, mata air sering sekali dijadikan tempat suci yang harus dijaga. Untuk menjaga kelestarian dan kemurniannya sumbernya, mata air kadang dijadikan tempat angker dengan berbagai cerita yang menakutkan. Tujuannya sebenarnya adalah untuk melestarikan sumber air itu. Karena tanpa air manusia tidak bisa hidup dan melakukan banyak kegiatan dalam hidupnya.

Air pun bagian penting dari budaya dan agama. Pada budaya Jawa, untuk ritual meruwat suatu benda atau seseorang diperlukan air dari tujuh mata air dan dari tujuh penjuru mata angin. Air digunakan untuk membersihkan dan menyucikan benda-benda yang nista. Air menjadi ‘alat suci’ untuk mengangkat harkat dan martabat manusia ketika akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan-nya.

Dengan melihat manfaat air yang sangat besar dalam tatanan kehidupan masyarakat secara sosiologis, fisiologis dan spiritualis, maka air sudah seharusnya sangat dihargai, ditempatkan pada tingkat tertinggi. Pada titik ini, air dan sumbernya seharusnya selalu dijaga, dirawat dan dibersihkan dan dilestarikan. Ketika kita memperlakukan air dengan baik, air akan memberikan kebaikan pada kita.

Juga, dalam catatan-catatan sejarah di Nusantara dan di bagian dunia lainnya, air telah menjadi pusat-pusat kebudayaan dan sekaligus pusat kekuasaaan. Pusat-pusat ini terbangun di tepi sungai dan tepi pantai. Lihatlah Kerajaan Passai di Aceh di tepi pantai Utara Aceh, Kerajaan Sriwijaya di tepi Sungai Musi dan Kerajaan Siak di Riau di tepi Sungai Siak. Kerajaan-kerajaan ini berada di tepi perairan. Kota-kota juga banyak bertumbuh di lokasi yang berdekatan dengan air. Jakarta yang dulu dikenal sebagai Batavia dan Sibolga di Sumatera Utara, Padang di Sumatera Barat dan masih banyak lagi.

Penjelajahan-penjelajahan dunia juga dilakukan lewat air. Marcopolo pada 1324 sudah menjelajah hingga ke Sumatera. Ada kisah lucu dalam penjelajahannya di Sumatera. Dia menyangka Badak Sumatera sebagai Unicorn. Christopher Colombus pada 1492 juga menjelajah hingga Amerika. Vasco Da Gama pada tahun 1497 berlayar dari Portugal ke India di wilayah bernama Malabar. Bahkan yang lebih belakang lagi, sekitar 3.000 tahun yang lalu, para pelaut Fenisia berangkat dari pelabuhan mereka di pesisir Timur Mediterania untuk berdagang di Eropa dan Afrika Utara. Penemuan alat transport air lebih dahulu dibandingkan alat transport darat. Air menjadi pusat dan pusaran kegiatan manusia. Pada awalnya demikian.

Sungai dan Laut Sebagai Halaman Depan

Melihat betapa pentingnya air, pada perkembangan selanjutnya, dalam pembangunan, termasuk kawasan bisnis, perumahan dan perkantoran, posisi sungai diletakkan di depan. Bangunan-bangunan dibangun menghadap sungai. Kota-kota dibangun menghadap sungai.

Sungai dijadikan sebagai halaman depan. Dalam budaya manusia pada umumnya, halaman depan dipastikan menjadi ruang etalase. Di halaman depan ditempatkan benda-benda terbagus dan terbaik. Pada gilirannya, sungai akan dijaga, dipelihara, dipercantik dan menjadi lestari dan indah.

Di kota-kota besar dunia rancangan seperti ini banyak ditemukan. Sungai-sungai ditata dan diperindah dan seluruh bangunan menghadap sungai. Lihatlah misalnya Brisbane River di Brisbane Australia, Huangpu River di Shanghai dan tentunya Singapore River di Singapura. Penempatan sungai menjadi halaman depan pada akhirnya juga membantu untuk pemeliharaan dan pelestarian sungai.

Bahkan di Korea, pemerintahnya membongkar jalan tol yang dibangun pada 1978 dan segala bangunan di atasnya untuk mengembalikan sungai lama yang pernah ada di jalur jalan tersebut. Sekarang sungai itu menjadi halaman depan dan tempat masyarakat bertemu. Sungai itu adalah sungai Cheonggyecheon di kota Seoul.

Sungai dan Laut Menjadi Halaman Belakang

Seiring dengan berjalannya waktu, pembangunan berlanjut dan jalur transportasi darat dibuka. Masyarakat kemudian memindahkan arah depan rumahnya. Kalau sebelumnya, rumah menghadap sungai, sekarang rumah-rumah menghadap jalan darat. Halaman depannya jalan darat dan sungai kini menjadi halaman belakangnya.

Dalam budaya Timur dan masyarakat pada umumnya, halaman belakang merupakan tempat membuang sampah dan segala sesuatu yang kotor, termasuk aib. Akibatnya, tingkat kesuciannya pun berkurang. Rasa hormat hilang dan pada akhirnya sungai, aliran sungai dan laut menjadi terbengkalai. Terlebih lagi, membuang kekotoran ke sungai, sangat praktis. Karena kotorannya hilang segera terbawa arus, segera bersih tak berbekas.

Demikianlah, akhirnya pembangunan selanjutnya menjadikan sungai dan laut halaman belakang. Tempat yang cenderung ditinggalkan, tidak diperhatikan dan terbengkalai dan menjadi wilayah liar dan tak bertuan. Tidak ada yang memperhatikan dan tidak ada yang mengatur. Sungai dan laut menjadi kotor dan tercemar.

Gejala yang sama terjadi di Jakarta. Sungai-sungai di Jakarta sudah lama sekali berperan sebagai halaman belakang. Rumah-rumah lagi menghadap sungai. Akibatnya sungai-sungai Jakarta menjadi tempat sampah terbesar di dunia. Penduduk yang tinggal di pinggir sungai dengan mudah membuang sampah ke sungai. Tidak ada lagi sedikit pun keengganan untuk membuang sampah ke sungai, karena sungai sudah tidak lagi memiliki ‘harga’ sebagai sumber air, sumber kebudayaan dan sumber kehidupan.

Di Pantai Utara Jakarta, sejak tahun 1960-an, pembukaan lahan-lahan sangat masif. Hutan-hutan mangrove dibabat untuk membangun berbagai fasilitas. Sayangnya pembangunan yang dilakukan tidak menempatkan sungai dan laut sebagai halaman depan. Akibatnya, sungai dan laut bertransformasi jadi tempat pembuangan sampah dan limbah yang masif. Termasuk pabrik-pabriknya, membuang limbah ke laut. Kawasan Utara Jakarta pada akhirnya rusak dan tercemar parah.

Jika anda naik kapal dari pantai Utara Jakarta ke Pulau Seribu, bisa dilihat bahwa air tercemar telah jauh menjorok ke laut. Pemandangan ini juga terlihat dari udara, warna air yang keruh sudah menjorok jauh ke arah laut. Tangkapan nelayan menipis. Pencemaran Utara Jakarta di tahun 1960-an saja sudah tinggi. Bisa dibayangkan dengan masifnya pembangunan saat ini, dengan tetap menjadikan pantai Utara Jakarta sebagai halaman belakang, kerusakan yang luar biasa terjadi. Fenomena terakhir, banyak ikan mati ditemukan di Utara Jakarta.

Mengembalikan Sungai dan Laut Jadi Halaman Depan

Pemerintah DKI Jakarta dalam konsep besarnya, melakukan berbagai upaya revitalisasi dan normalisasi sungai dengan tujuan mengembalikan sungai sebagai halaman depan. Bangunan-bangunan digusur dan masyarakat direlokasi untuk memberikan ruang bagi sungai bernafas dan menghindarkannya menjadi halaman belakang Jakarta. Upaya ini berarti mengembalikan sungai kepada tempat terhormatnya.

Di Utara, upaya mengembalikan halaman depan ini dilakukan dengan reklamasi. Menambah daratan untuk menutup pencemaran yang sudah terjadi selanjutnya menempatkan laut di depannya sebagai halaman depan. Memang tidak akan serupa lagi. Alasan menghilangkan laut dan biotanya juga tidak lagi relevan, karena saat ini potensi laut Utara Jakarta sudah rusak karna pencemaran berat. Penataan kawasan pantai Utara Jakarta dilakukan untuk meletakkan bangunan dan posisi yang semestinya dalam upaya menempatkannya menjadi halaman depan Jakarta. Dengan demikian, laut kembali menempati tempatnya yang terhormat.

Dalam konsep besar pemerintah DKI juga, Jakarta sebagai ibu kota negara akan dikembangkan sebagai kota adminitrasi dan jasa saja. Rencananya, pabrik-pabrik juga akan dikeluarkan dari Jakarta, sebagai penyumbang limbah ke sungai dan laut. Untuk mengembangkan Kota Jakarta sebagai kota jasa ini, segala potensi dan modalitas yang ada harus dikembalikan pada fungsinya. 

Demikian juga sungai dan laut. Pada akhirnya reklamasi, revitalisasi dan normalisasi sungai, aliran sungai dan laut bertujuan untuk mengembalikan sungai sebagai pusat kehidupan dan sumber kehidupan. Dengan menjadikannya halaman depan Jakarta.

Pada gilirannya, Jakarta dengan sungai dan lautnya akan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakatnya dalam bentuk baru dan mendapatkan posisi terhormatnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun