Saat ini, dalam kerangka pilkada DKI Jakarta, jika sedikit bisa bercerita, ada juga calon-calon gubernur yang memiliki mentalitas pengemis ini. Calon-calon ini mencoba meminta-minta dukungan kepada partai-partai lain. Dukungan dimintakan kepada beberapa partai yang jelas-jelas lebih tertarik untuk mencalonkan calon dari partainya sendiri. Dalam perjalanan karirnya, beliau sebenarnya memiliki partai yang seharusnya dielus-elus, dirawat-rawat dan dibesarkan sehingga bisa menjadi kendaraanya untuk memuaskan ambisi politiknya.
Akan tetapi, dengan tidak bertanggung-jawabnya, calon tersebut memilih membiarkan partainya tunggang-langgang dan jumpalitan seperti anak ayam ditinggalkan induknya. Tentu saja hal tersebut terjadi, karena pemimpinnya tidak pernah memihak kepada partainya, mungkin untuk meliriknya pun tidak. Pemimpin partai ini lebih nyaman mencari-cari dukungan kepada partai lain.
Secara akal sehat saja, bisa ditelisik. Jika seseorang calon memiliki nilai jual tinggi, karena kemampuan dan pengalaman serta populer dan terlebih—lebih memiliki elektabilitas tinggi, niscaya tanpa meminta-minta pun, partai-partai besar akan ‘melamarnya’ untuk dicalonkan.
Tindakan tidak bertanggung-jawabnya adalah dengan elektabilitas yang rendah, dan kemampuan yang belum diakui masyarakat, sosok tersebut berani menjual dirinya kepada partai-partai. Kembali secara logika, dengan rendahnya nilai jual, sangat bisa dipastikan banyak yang dijual kepada partai-partai yang dimintai dukungan. Mentalitas yang tidak bertanggung-jawab ini termasuk dalam ciri mentalitas pengemis tadi.
Menambah daftar, ada juga yang sudah berusaha keras mencalonkan diri menjadi calon gubernur, tetapi tidak satu pun partai mendukungnya. Meskipun sudah pernah ke Kalijodo untuk numpang makan siang di warteg disana dan pura-pura menggendong bayi. Kembali, dia tidak punya nilai jual yang memadai untuk dicalonkan. Bahkan, calon satu ini harus menjilat ludahnya sendiri, ketika dia mendekati partai yang ketuanya adalah termasuk golongan yang dihinanya. Dia punya statemen yang sangat terkenal, “LGBT sama dengan non-muslim dan babi”. Penulis sebenarnya agak jerih menuliskan pernyataan ini. Tetapi demi menunjukkan mentalitas pengemis yang dimilikinya, maka harus dituliskan.
Para pendukung semangatcalon ini yakni asal bukan petahana, ternyata didukung banyak partai juga. Disini dia kecele. Dia pikir partai-partai itu akan mendukungnya karena partai-partai itu mendukung semangatnya yang asal bukan petahana itu. Cara berfikir seperti ini pasti juga karena mentalitas pengemis ini, karena dengan mudahnya dia beranggapan bahwa partai-partai itu mendukungnya hanya karena satu semangat. Dia kecele. Dia salah besar.
Sangat disayangkan, mentalitas pengemis yang saat ini berkembang subur dalam dunia perpolitikan Indonesia, bahkan sepertinya menjadi suatu budaya politik. Politik pengemis yang diisi banyak pengemis politik. Maka menjadi aneh buat mereka semua ketika ada seorang calon gubernur yang berani mencalonkan diri tanpa harus meminta-minta kepada partai untuk mendukungnya.
Dengan resiko yang sangat tinggi, sang calon gubernur itu berani mengambil pilihan untuk maju lewat jalur independen. Partai raksasa itu bahkan diultimatum, diberikan deadline. Ini menambah sakit jantung partai itu semakin kumat. Dengan segala emosi yang berusaha dirependam, sang pemimpin partai memanggil petugas-petugas partainya dari segala penjuru angin untuk ditugakan mengalahkan sang calon independen tadi.
Tentunya calon—calon yang dipanggil itu tidak sembarangan. Calon-calon yang akan ditugaskan untuk mengalahkan sang calon independen adalah pejabat-pejabat yang sangat disayangi rakyat di daerahnya. Tetapi, karena memiliki mentalitas pengemis, tidak bertanggung-jawab, tanpa peduli sang calonnya disuruh meninggalkan gelanggangnya yang sedang bagus-bagusnya ditatanya.
Demikianlah, penyakit mentalitas pengemis ini masih bersimaharaja dalam dunia politik Indonesia. Politik Pengemis melahirkan banyak sekali pengemis-pengemis politik yang memiliki mentalitas pengemis yang tidak bertanggung-jawab dan memudahkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya tanpa perlu berkeringat. Dan yang lebih parah lagi, jika karena mentalitasnya ini, kemudian dia mencuri, lalu tertangkap KPK dan senyum-senyum serta melambai-lammbaikan tangan di televisi dalam balutan rompi oranye KPK, bisa dipastikan orang tersebut adalah salah seorang pengemis politik.
Harapannya, dengan semakin terdidiknya generasi muda Indonesia yang suatu waktu menjadi pengganti para pemain di perpolitikan Indonesia saat ini, politik pengemis dan pengemis politik akan sirna. Tetapi, bisa juga terjadi jadi malah sebaliknya, makin subur. Bisa jadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H