Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Politik Pengemis dan Pengemis Politik

11 April 2016   23:07 Diperbarui: 11 April 2016   23:20 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pengemis Yang Pemalas Foto: metrotvnews.com"][/caption]Seseorang meminta sesuatu kepada orang lain adalah hal yang manusiawi. Pada dasarnya manusia sebagai mahluk sosial tentunya memerlukaan bantuan dari pihak lain, maka dia pasti meminta. Jika kemudian terjadi pertukaran karena permintaan tersebut, bisa dilakukan dengan pembayaran berupa uang atau juga jasa secara wajar dan jumlah yang disepakati, itu juga wajar saja. Masih dalam tatanan yang normal.

Pengemis dengan mental pengemisnya tentunya terbentuk dari beberapa alasan. Pengemis bisa jadi karena memang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja karena kecacatan. Akan tetapi, saat ini, apa pun kecacatannya, sebagian besar tetap dapat bekerja. Pemerintah menyediakan fasilitas untuk membantu kelompok ini. Tetapi, ada juga orang yang memiliki kecacatan panca indera tetap berusaha, seperti berjualan kerupuk keliling, mengerjakan kerajinan membuat alat rumah tangga seperti sapu untuk dijual dan memijat. Jadi untuk kelompok ini pun, sedikit sekali alasan untuk mengemis.

Ada juga pengemis dikarenakan malas bekerja. Dari sananya sudah tidak memiliki semangat untuk bekerja. Meskipun untuk ini, beberapa keahlian diperlukan, setidaknya keahlian untuk bermain drama. Seperti banyak ditemukan di lampu—lampu merah, pengemis yang bertingkah cacat dan memiliki penyakit kusta. Dulu, di Bandung ini sangat banyak di sekitar Jalan Wastu Kencana. Pengemis jenis ini sebenarnya cerdas, karena memiliki strategi dan upaya-upaya untuk meyakinkan orang-orang yang dimintai.

Banyak juga pengemis yang masih bugar dan sehat dalam pengertian memiliki kelengkapan tubuh yang sempurna yang bisa digunakan untuk bekerja. Akan tetapi, karena mentalitas pengemis yang menggampangkan dan tidak bertanggung-jawab, maka dia menjadi pengemis.

Mentalitas pengemis ini ternyata tidak terjadi hanya pada masarakat dengan latar pendidikan rendah. Masyarakat dengan pendidikan tinggi juga memiliki mentalitas seperti ini. Tindakan-tindakannya ditentukan pada seberapa banyak dia mendapatkan dari orang-orang disekelilingnya.

Mentalitas pengemis ini dicirikan oleh perilaku tidak bertanggung-jawab akan peran diri dan situasi diri sendiri. Kemudian tanggung-jawab ini dialihkan kepada orang lain. Kalimat di bawah ini saya kutip dari satu artikel yang ditulis oleh jurnalis Sam Kebongo, dari The NewsTimes, sebuah harian berbahas Inggris di Rwanda. Bukan sumbernya yang mau saya tonjolkan, akan tetapi makna dari tulisannya. Sekalian belajar bahasa Inggris.

Kebongo mengatakan, “Beggar mentality is characterised by a diminished sense of responsibility of one’s role in a situation or even one’s own circumstances. Lebih lanjut dia sampaikan, “Unfortunately, this lack of balanced thinking is not only seen among beggars on the streets. It affects some of us to varying degrees.

Pada intinya ini sekali lagi soal tanggung-jawab sesuai dengan peran dan situasinya. Mentalitas pengemis ini dicirikan oleh rasa tanggung-jawab yang berkurang atau hilang. Secara umum disampaikan bahwa mentalitas pengemis ini tidak hanya terjadi pada pengemis-pengemis yang berada di jalan—jalan raya. Mentalitas seperti ini juga ada pada semua tingkatan masyarakat dengan tingkatan yang berbeda.

Seorang pekerja yang bekerja malas-malasan akan tetapi menginginkan gaji yang tinggi, bisa dikategorikan manusia dengan mental pengemis. Seorang pengusaha atau pedagang dengan layanan yang buruk tetapi tetap menginginkan pendapatan yang tinggi, dipastikan mengidap mentalitas pengemis ini. Pada intinya dapat dikatakan bahwa orang-orang yang tidak bekerja keras, akan tetapi berharap mendapatkan hasil yang maksimal, mereka adalah orang-orang yang terkena dan memiliki mentalitas pengemis.

Mentalitas seperti ini terjadi dan ada di semua ruang lingkup; baik bisnis, pendidikan, pemerintahan, masyarakat dan juga di arena politik.

Bahkan dalam dunia politik Indonesia, yang terkenal dengan pola client-patron, dimana ada penjaga dan yang dijaga, ada yang dilindungi dan melindungi, mentalitas ini subur terjadi. Mereka akan menggunakan trik-trik yang tidak bertanggung-jawab untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Kemudian jika terjadi akibat negatif dari perbuatannya, akan dicarikan kambing hitam yang bisa dikorbankan. Tentunya ini adalah tindakan yang tidak bertanggung-jawab. Ini merupakan mentalitas yang jelas-jelas sangat merusak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun