Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah dan Bimbingan Belajar Serta Peran yang Tertukar

8 April 2016   22:26 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan latahnya, tanpa melarang siswa untuk ikut bimbingan belajar, sekolah kadang-kadang membuat program kelas tambahan untuk menghadapi ujian nasional. Biasanya dilakukan tiga bulan sebelumnya. Pengajarnya guru-guru sekolah itu juga. Peserta didik diwajibkan untuk ikut. Dampaknya, siswa ikut dua pelajaran tambahan, di sekolah dan di bimbingan belajar.

Sekolah seolah-olah gagal di mata siswa sebagai tempat untuk mempersiapkan diri dalam menghadap berbagai ujian. Beban murid menjadi bertambah. Hingga pada akhirnya menciptakan momok baru bagi calon lulusan SMA ini. Program-program ditambah untuk menarik minat siswa dan orang tua. Psikotes juga menjadi bagian dari jualan. Penelusuran bakat dan jurusan juga dilakukan, bukan oleh sekolah tetapi bimbingan belajar, tentunya hanya sebagai strategi pemasaran.

Fenomena ini terus berlanjut. Jika awal-awalnya hanya untuk kelas tiga SMA atau kelas XII, promosi selanjutnya adalah program naik kelas, dilanjutkan dengan program pasti naik kelas. Dengan program ini, anak anak kelas 2 dan 1 SMA disasar. Jualan ini laku keras. Sepertinya ini juga mendapatkan pengakuan dari orang tua siswa. Orang tua dibayang-bayangi kegagalan anaknya jika tidak mengikuti bimbingan belajar, bahkan untuk naik kelas pun. Program bimbingan belajar dengan mendatangkan guru ke rumah pun ternyata tergilas oleh gencarnya pemasaran dengan berbagai gimmick-nya itu.

Selesai menggarap murid-murid di sekolah menengah, bimbingan belajar ini memperluas jangkauannya. Selanjutnya siswa-siswa yang disasar adalah siswa-siswa SMP. Awalnya hanya kelas tiga, dan dengan strategi yang sama seperti yang diterapkan di SMA, berikutnya kelas 2 dan kelas 1 SMP pun menjadi peserta bimbingan belajar. Untuk kelas 3 SMP, dibuka program lulus UN dan masuk SMA favorit.

Ternyata tidak berhenti hingga disitu. SD pun disasar dengan tema lulus UN dan masuk ke SMP favorit. Program-program bahkan berevolusi terus hingga sekarang program bimbingan belajar jadi lengkap. Mulai dari kelas 1 SD hingga kelas 3 SMA atau kelas XII. Program-program laris manis. Siswa-siswa membanjiri bimbingan-bimbingan belajar.

Kejadian selanjutnya adalah mentalitas mengandalkan bimbingan belajar menjadi jamak di dalam diri para pelajar. Para siswa ini lebih percaya diri dengan belajar di bimbingan belajar daripada di sekolah, tempat yang seharusnya menyemai proses pendidikan itu sendiri. Para siswa cenderung lebih fokus di bimbingan belajar dari pada di sekolah. Mereka cenderung  mengatakan nanti belajarnya di bimbingan belajar saja. Bahkan lebih parahnya lagi, program belajar di rumah pun diserahkan ke bimbingan belajar ini. Orang tua melepaskan tanggung-jawabnya membantu anak belajar di rumah. Sekolah juga demikian.

Sampai disini, kemudian peran sekolah dipertanyakan. Sekolah yang harusnya menjadi tempat penyemaian proses pendidikan dan moralnya, perannya sudah diambil oleh pusat-pusat bimbingan belajar. Kalau pun masih ada yang tertinggal, mungkin hanya pendidikan moralnya. Itu pun masih diragukan juga, karena sudah lama dikeluhkan oleh para pemerhati pendidikan bahwa pendidikan moral sudah jauh berkurang di sekolah-sekolah di Indonesia. Kalau jaman dulu setidaknya masih ada pelajaran Moral Pancasila. Kini tidak ada lagi program pendidikan moral dan etika ini. Fenomenanya sudah kelihatan di masyarakat. Setidaknya yang paling gres adalah kasus Sonya dari Medan.

Sekolah bahkan sepertinya merasa bersyukur dengan posisi ini karena mengurangi beban moral sekolah dan sekaligus moral para pendidik. Jika ini yang terjadi, para guru akan mengabaikan proses belajar ini karena sudah diambil kendalinya oleh bimbingan belajar. Sekolah nantinya menjadi pusat pendidikan yang tinggal label saja. Sekolah hanya menjadi lembaga yang memproduksi izajah saja dan proses pendidikannya diserahkan kepada pusat-pusat bimbingan belajar.

Jadinya, siswa-siswa tidak memiliki mentalitas yang mengakui dan menghargai proses. Semuanya diserahkan ke bimbingan belajar, dimana bimbingan belajar hanya berorientasi pada hasil akhir. Sayangnya, meskipun mereka ikut bimbingan belajar, ternyata hari-hari yang paling banyak siswanya adalah hari-hari ujian. 

Masa belajar ditambah dan bahkan hingga minggu pun digunakan untuk waktu belajar. Ini sangat mengkhawatirkan, karena semua hanya memikirkan hasil akhir tanpa mau memikirkan proses. Ini disambut dengan baik oleh bimbingan belajar dengan berbagai formula-formula ‘sakti’ yang digadang-gadang untuk dengan mudah mendapatkan hasil akhir. Proses menjadi satu hal yang tidak relevan dalam kasus ini. Jurus cepat, jurus maut, jurus singkat adalah jualan yang laris manis.

Dengan metode rumus-rumus cepat ini yang ‘ditemukan’ di bimbingan belajar, murid harus benar-benar hafal dengan cara dan model soalnya. Sedikit model soalnya diubah, runyamlah mereka. Tibat-iba dunia menjadi gelap gulita. Tidak bisa menjawab. Lalu, komentar mereka, soalnya kok beda yah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun