Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Revolusi Mental 1.0 Transjakarta

5 Maret 2016   22:59 Diperbarui: 5 Maret 2016   23:20 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto Pribadi"][/caption]

Pukul 08.15, kuayunkan langkah buru-buru menuju halte Transjakarta. Jam 10 aku harus sudah tiba di tempat pelatihan itu. Dengan informasi yang minim tentang lokasinya, otakku terus berputar untuk memastikan cara termurah tiba ke sana. Rencananya aku akan naik Transjakarta, dilanjutkan kereta api, lalu turun di stasiun Gondangdia. Lagi-lagi informasi dari teman mengatakan kalau dari stasiun itu ke tempat pelatihan tinggal beberapa langkah saja.

Dengan sedikit tergesa, aku menapaki jembatan penyeberangan orang menuju halte. Aku harus mendaki dua tingkat, lalu jalan di jembatan penghubung kemudian menurun lagi, juga 2 tingkat. Tiba di halte transjakara yang letaknya di median jalan, aku menempelkan kartu ‘saktiku’ di gerbang masuk. Tidak sampai 5 menit sejak menginjakkan kaki di JPO itu, aku sudah tiba di tempat menunggu. Aku memang seorang pejalan cepat.

Ruang tunggu halte ini sangat biasa. Apalagi membandingkan dengan halte-halte bus di negara-negara maju yang pernah kukunjungi. Hanya bangunan dengan dinding terbuka dari metal dengan pintu penghubung ke bus yang tidak bisa tertutup-terbuka seperti disain aslinya. Tidak ada pendingin udara. Layar-layar monitor yang dimaksudkan untuk papan informasi sudah lama padam. Debu sudah menebal di tepi-tepi layarnya. Ada 2 kipas angin yang terpasang. Satu berfungsi dengan baik tetapi diarahkan hanya ke gerbang karcis. Kipas yang satu lagi ‘pingsan”. Kondisi itu membuat suasana menjadi panas. Penumpang sering mengeluhkan ini. Poster-poster usang juga menempel di dinding. Untung tidak banyak.

Melihat sekeliling sarana transportasi publik ini, sepertinya pengelola Transjakarta ini sedikit sudah mengalami ‘revolusi mental’. Jembatan penyeberangan orang sudah sering dibersihkan. Dilap dan dipel setiap hari. Ada petugas untuk itu. Dia harus memastikan tidak ada sampah berserakan. Dinding yang terbuat dari metal itu juga dilap. Bilah-bilah metal yang membentuk dinding halte satu persatu dibersihkan. Kaca-kaca juga di lap di sisi luar dan dalam. Gerbang karcis dibuat kinclong. Lantai dipel seperti layaknya lantai mal.

Kotoran-kotoran disingkirkan bahkan jika agak ‘nakal, dicungkil. Larangan merokok di ruang tunggu halte dilaksanakan dengan tegas. Petugas dengan sigap mengingatkan para perokok yang kurang peduli dengan keberadaan orang-orang di sekelilingnya. Setidaknya, dengan dua hal tersebut, kebersihan yang terjaga dan larangan merokok yang ditegakkan, menunggu bus Transjakarta, yang masih suka ingkar janji itu, menjadi lebih nyaman.

Sistem pembayaran juga sudah menggunakan uang elektronik. Ini merupakan kemajuan yang sangat bagus. Untuk mengoptimalkan pendapatan dan mengurangi praktek-praktek korupsi, penggunaan uang elektronik ini sangat tepat. Disamping mempercepat proses pembelian karcis, berkurangnya antrian, juga membiasakan masyarakat untuk berperilaku efisien. Kartu elektronik multimoda ini sangat membantu bagi para penglaju yang menggunakan transportasi publik dengan sistem pembayaran yang sudah mulai terkoneksi.

Kemudahan pemakaian uang elektronik ini didukung oleh pengguna. “Kalau menurut saya bagus sih e-ticketing. Jadi lebih terkontrol pengeluaran buat naik Transjakarta, enggak perlu keluar uang receh lagi. Praktis," kata Retno, salah satu pengguna e-ticket di halte transjakarta Manggarai, beberapa waktu yang lalu.

Pemandangan itu mulai kelihatan sejak pemerintahan baru, Gubernur Jokowi dan dilanjutkan Ahok. Gubernur Ahok, dengan gaya yang keras dan tegas, memerintahkan semua pelayanan publik diperbaiki. Pelayanan publik harus benar-benar melayani kepentingan publik dan alat-alat pelayanannya berfungsi dengan baik. Dalam kenyataanya, memang pelayanan publik itu sudah agak lebih baik dari sebelumnya, meskipun masih perlu untuk ditingkatkan. Apalagi pembanding yang digunakan adalah pelayanan publik di Singapura.

Pelayanan publik di Singapura diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Mereka mampu membangun dengan standar terbaik dan memeliharanya. Melihat keadaan yang ada di Indonesia, harapannya masih kecil untuk bisa sama dengan Singapura. Bangsa kita ini sudah lama sekali terkenal dengan kemampuan untuk membeli. Akan tetapi, kita sangat kurang dalam menghargai. Kekurangan menghargai artinya kurangnya niat dan kemampuan memelihara.
Pada ranah ini, Ahok juga bekerja keras memperbaikinya. Sistem-sistem yang diciptakan termasuk memilih hanya orang-orang yang bersih, mau bekerja keras dan siap melaksanakan mandat masing-masing untuk melayani rakyat, yang akan dipilih Ahok untuk bekerja dengannya. Para personel yang tidak sesuai dengan standar dan arahannya, akan diganti dengan cepat dan tanpa tedeng aling-aling.

"Saya kadang-kadang nyeselin di Jakarta ini, saya terlambat pecatin orang-orang," kata Basuki, di Balai Kota, Senin (1/2/2016). Ungkapan kesal ini memang sering diungkapkan Ahok karena lambatnya para pasukan balai kota DKI bergerak. Pergantian pejabat menjadi satu hal yang rutin di pemerintahan Ahok.

Menurut banyak kalangan, budaya ini sangat bagus dan membuat banyak personel DKI ‘kaget’ dan ‘marah’. Ini hanya soal kejutan budaya. Ahok tentunya pintar untuk kemudian memberikan kompensasi untuk staf balaikota yang bekerja keras dan berprestasi, termasuk juga di lingkungan Transjakarta. Kompensasi yang tinggi ini kadang membuat iri pegawai pemda di provinsi lain.

Memang masih terjadi, bus-bus Transjakarta yang terbaru sering sekali tampil dengan tampang yang kusam. Lantai yang tidak dibersihkan dan kaca yang kotor. Didalamnya, pendingin udara kadang tidak lagi mengeluarkan udara dingin. Ada juga bus yang untuk menarik dirinya pun tidak mampu. Setiap dihela, suara raungan gardannya menggetarkan rasa setiap penumpang. Padahal dari luar kelihatan masih bagus dan di dalamnya masih rapi.

Kopaja-kopaja yang baru bergabung pun demikian juga. Mereka hanya mengikuti seadanya. Sekedar memenuhi standar di permukaan. Permak dan kosmetik di bus sedang kopaja segera tanggal dan terkelupas padahal baru beroperasi dalam sebulan. Pintu yang mulai tidak bisa terbuka dengan normal, kulit pelapis kursi dan dinding yang cerai dengan dindingnya dan pendingin yang mulai hanya menghamburkan angin.

Kenyataan ini membuktikan bahwa masih banyak personel yang belum mampu untuk menterjemahkan arahan dari Ahok. Memerintah banyak pasukan memang tidak mudah, apalagi dengan budaya baru yang mengharuskan adanya perubahan perilaku. Kenyamanan selama ini yang dirasakan para pejabatnya, dikompensasi dengan kesengsaraan rakyat dalam menggunakan pelayanan Transjakarta. Kebijakan-kebijakan Ahok yang pro publik tentunya mengurangi kenikmatan para pejabat di lingkungan pemerintahan DKI. Kebijakan yang pro publik ini memaksa para pejabat ini untuk selalu bekerja. Tidak hanya bekerja, tetapi bekerja keras.

Kalau masih mau dirinci, dengan mudah ditemukan banyak bukti betapa bangsa ini memerlukan perubahan mentalitas. Perubahan mentalitas yang tidak hanya slogan. Sudah lama sekali slogan-slogan perubahan digunakan untuk merayu publik, tetapi lagi-lagi itu hanya di permukaan. Masih panjang perjalanannya untuk mencapai perubahan sesungguhnya.
Revolusi mental yang dicanangkan menjadi relevan. Ini bukan pekerjaan mudah juga. Mengubah perilaku butuh waktu yang cukup lama. Apalagi proses revolusi mental itu sendiri mendapat penentangan dari dalam, karena zona nyaman yang sudah sempat terbentuk. Zona Nyaman ini justru menghambat pelayanan publik kepada masyarakat.

Dalam pelayanan publik di Jakarta, dapat dikatakan, titik-titik terang ke arah sana sudah mulai kelihatan. Revolusi mental bergerak perlahan-lahan. Kondisi awal memang sangat buruk. Sistem yang tidak transparan dan koruptif sangat kental terjadi. Kepemimpinan Ahok yang tegas, bersih dan bergerak cepat, berusaha untuk menerapkan revolusi mental ini. Perubahan sudah banyak terjadi. Jika mau jujur, pelayanan-pelayanan administratif sudah mulai rapi dan tidak bertele-tele.

Kecepatan Ahok dalam bekerja diakui oleh Kapolda Metro Jaya. “Cepat sekali mengambil keputusan bekerja. Tiga hari omongan langsung berjalan, hanya 3 bulan langsung selesai markas Ditpolair. Ini gubernur kita lain dari yang lain," jelas Tito, Sabtu (27/2/2016) yang lalu.

Memang masih diperlukan upaya-upaya yang terus menerus untuk mendorong proses revolusi mental ini. Setiap masyarakat Jakarta harusnya mau menerima konsep ini. Masing-masing warga memiliki peran dan tanggung-jawab dalam proses revolusi mental ini. Tetapi memang harus dimulai dari para pejabat. Jika hanya slogan, maka tidak akan berhasil.

Dalam pelayanan transportasi publik yang difasilitasi melalui Transjakarta ini, revolusi mental ini sudah mulai berjalan. Ahok sudah menekankan kepada Direktur Transjakarta yang baru bahwa penyediaan pelayanan publik yang baik, aman, bersih dan nyaman adalah tujuan yang harus dicapai. Upaya-upaya yang diperlukan untuk mencapainya harus dilakukan. Hal-hal yang menghalangi harus disingkirkan. Budaya-budaya yang tidak mencerminkan pelayanan publik yang baik harus dirubah.

Revolusi mental di Transjakarta sudah mulai menunjukkan hasilnya. Hal itu, setidaknya terlihat dari lantai jembatan penyeberangan orang dan halte Transjakarta yang mulai mengkilat, bus-bus yang sudah tidak rongsokan lagi dan sistem pembayaran yang sudah efisien, serta layanan transportasi publik yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun