Mohon tunggu...
Taufik Rohmatul Insan
Taufik Rohmatul Insan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca (walau jarang) Novel, Cerpen, Puisi dan Esai Politik, Hukum, sejarah dan Kebudayaan

Setiap Detik Adalah Kisah Kehidupan. Setiap Manusia Adalah Aktornya.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Investasi Hijau: Komitmen Presidensi Indonesia untuk Masa Depan Kehidupan

28 Juli 2022   13:32 Diperbarui: 28 Juli 2022   13:36 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pexels

Global Risk Report dalam publikasinya di World Economic Forum (WEF) tahun 2021 mengabarkan, bahwa sembilan tahun ke depan dunia akan mengalami ancaman krisis global, yaitu dengan cuaca ekstrem, kerusakan lingkungan, kegagalan aksi iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan penyakit menular. Tentu ancaman tersebut merupakan efek dari adanya eksploitasi sumber daya alam hari ini.

Bagaimana jika jantungnya stabilitas ekonomi dan keuangan, yaitu alam, hingga mencapai kondisi kritisnya? Bukankah hal itu akan berimbas pada ekonomi dan juga terhadap kualitas kehidupan hari ini hingga masa mendatang?

Investasi dan alam sejatinya dua hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya merupakan jawaban atas stabilitas ekonomi di suatu negara. Alam dalam hal ini, serupa jantung bagi stabilitas ekonomi, stabilitas ekonomi ditentukan oleh seberapa kuat dan derasnya aliran investasi berjalan, sedangkan pergerakan investasi ditentukan oleh potensi dan kondisi alam.

Peranan negara bangsa tentu yang dipertaruhkan kontribusinya di hadapan wajah masa depan kehidupan dunia mendatang. Kaitannya, manusia merupakan pemeran utama dalam panggung pengelolaan alam, menciptakan target ekonomi dan melakukan aktivitas investasi dengan ragam inovasi.

Pada tahap pelaksanaan, suatu negara tentu tidak berjalan seorang diri. Negara-negara belahan dunia lain dibutuhkan perannya dalam konstelasi investasi, sehingga aktivitas investasi bisa diakumulasi menjadi kekuatan yang memiliki nilai lebih.

Perjalanan panjang investasi terhadap pengelolaan alam rupanya memiliki dampak terhadap masa depan kehidupan. Sehingga, secara tidak langsung kita manusia dituntut untuk melahirkan satu konsep investasi baru yang lebih memperhatikan alam ke depan.

Maka, dengan diselenggarakannya forum internasional Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2022 di Indonesia saat ini, akan menjadi tolak ukur negara-negara anggota untuk perencanaan investasi yang berkualitas dan berjangka panjang.

Indonesia, sebagai negara yang memegang presidensi G20 tahun ini, tentu siap memimpin diskursus investasi hijau sebagai wujud Indonesia maju dalam ekosistem ekonomi yang mengantisipasi bencana kemanusiaan global yang disebabkan oleh kondisi bumi yang semakin rentan bencana.

Mengapa harus Investasi Hijau?

Selain pandemi Covid-19 yang menghantam kehidupan sejak akhir tahun 2019, pada tahun 2021 yang lalu juga merupakan tahun yang harus kita catat bersama demi kemanusiaan. Bencana alam yang melanda dunia mendorong 23,7 juta aktivitas pengungsian internal baru lahir di tahun 2021. Tercatat, 94 persennya merupakan pengungsian yang disebabkan oleh faktor cuaca dan iklim. (DW.com, 20/05/22).

Kita benar-benar harus bangkit bersama untuk keluar dari krisis global melalui berbagai lini sektor, terutama ekonomi sebagai penunjang. Karena, perubahan iklim yang disebabkan oleh ragam eksploitasi lingkungan, jelas meningkatkan intensitas kejadian ekstrem seperti angin topan, banjir, kekeringan dan hujan monsun yang juga berimbas pada proses pemulihan ekonomi dan keuangan global.

Meningkatnya jumlah pengungsi akibat bencana alam, menyumbangkan krisis yang berdampak pada ketahanan pangan dan kerentanan jutaan manusia. Maka, perubahan besar harus segera dilakukan oleh setiap pemimpin dunia yang terkonsolidasi dalam G20, untuk ke depannya bisa bersama-sama melaksanakan investasi hijau.

Bagi Indonesia, perubahan iklim dunia rentan kaitannya dengan stabilitas ekonomi negara ke depan. Hal tersebut sudah diperhitungkan oleh Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam kajiannya untuk tahun 2020-2024, bahwa Indonesia akan mengalami kerugian ekonomi mencapai angka 544 triliun rupiah disebabkan perubahan iklim.

Kerugian besar tersebut disebabkan oleh perubahan iklim yang terjadi di laut dan pesisir, kualitas air, sektor pertanian hingga kesehatan. Angka tersebut tentu bukanlah kerugian yang kecil bagi negara agraris-maritim yang masih menyandang negara berkembang.

Bentuk investasi dalam skala besar dengan mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan tentu akan menguntungkan juga bagi Indonesia. Sebagaimana hasil penelitian dari Forest Ecosystem Valuation Study yang menjelaskan bahwa investasi hijau akan lebih memberikan manfaat bagi negara, terutama dalam penyediaan lapangan kerja di bidang kehutanan yang akan meningkat hingga mencapai angka 247.945 orang pada tahun 2030 mendatang.

Selain itu, penelitian tersebut juga mengungkapkan emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari investasi hijau akan mengurang ke angka 689 juta TC02 pada tahun 2030 mendatang, jika dibandingkan dengan bentuk investasi biasa yang menyumbangkan emisi karbon dioksida yang berada di angka 2.484 TC02.

Dalam rilis International Finance Corporation (IFC) menunjukkan data transisi penggunaan sumber energi yang menimbulkan polusi kepada energi hijau, berpotensi akan mengundang investor hijau di Indonesia hingga mencapai nilai investasi sebesar USD458 atau sebesar 6.487,2 Triliun Rupiah.

Investasi hijau pada akhirnya menjadi catatan penting Indonesia yang harus di kedepankan dalam meja perundingan pada forum dunia G20, terlebih investasi hijau termasuk pada agenda prioritas keuangan dalam Presidensi Indonesia di G20.

Di samping sebagai pemegang Presidensi G20, Indonesia juga merupakan negara yang turut serta menandatangani Perjanjian Paris terkait perubahan iklim, dalam National Determined Contribution (NDC) untuk tahun 2020-2030.

Selain itu, Indonesia merupakan satu dari sekian negara yang potensi alamnya sedang dipertaruhkan di mata negara-negara dunia ke depan. Akan banyak nilai investasi yang dibicarakan oleh negara-negara di dunia untuk Indonesia, dan itu menjadi tantangan bagi kualitas kehidupan mendatang serta wacana pertumbuhan ekonomi Indonesia maju melalui investasi hijau.

Preseden Indonesia

Rupanya, Investasi hijau dalam perkembangannya juga membawa tren instrumen keuangan berkelanjutan pada pasar modal dunia yang beragam. Berkaitan dengannya, lahir instrumen repo hijau berkelanjutan, pasar uang hijau dan obligasi sosial dan pinjaman hijau LNG Finance.

Keragaman instrumen pada investasi hijau dunia mendorong Indonesia untuk segera melakukan penyesuaian, peningkatan aksesibilitas dan keterjangkauan. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung dalam forum G20 di Nusa Dua Convention Center (BNDCC) Bali juga mengatakan bahwa sebenarnya negara kita Indonesia, sudah waktunya untuk menyesuaikan diri dengan tren investasi dunia saat ini, yaitu beralih ke sektor investasi hijau. (EmitenNews.com, 15/7/22).

Tren tersebut juga diikuti dengan investor yang mengalihkan modal-modalnya pada proyek ekonomi hijau bagi negara yang sudah siap. Perubahan perilaku investor tersebut dikarenakan adanya pengenaan pajak yang lebih tinggi dalam investasi model lama.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki bentuk investasi hijau yang dalam praktiknya mengedepankan nilai tradisionalitas dan kearifan lokal, yaitu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Meski dalam skala kecil, UMKM terbukti memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan penurunan emisi karbon.

Dalam Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (3/5/21), kontribusi UMKM terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) berada dikisaran 61,07% atau mencapai nominal 8.573,89 triliun rupiah. Selain itu, kontribusi UMKM terhadap lapangan kerja juga cukup berpengaruh, setidaknya UMKM mampu menyerap 97% dari total tenaga kerja yang ada.

Selain itu, langkah pemerintah dalam usahanya menurunkan emisi karbon melalui kebijakan pembangunan rendah karbon (LCDI), setidaknya untuk di kawasan Asia Pasifik, harus terus kita dorong dan apresiasi setiap perkembangannya.

Dalam perencanaannya, saat ini pemerintah sedang menargetkan pada empat skenario transisi menuju investasi hijau, yaitu:

Pertama, Penurunan intensitas energi. Pada tahap pelaksanaan skenario tersebut, negara melakukan skema penurunan secara bertahap dari 1 persen hingga mencapai 6 persen setiap tahunnya serta penerapan skema peralihan kendaraan listrik hingga mencapai target 95 persen dari jumlah keseluruhan kendaraan.

Kedua, Reformasi hutan. Pada tahap ini, negara memproyeksikan reformasi pada hutan hingga mencapai target 250.000 hektar pertahunya. Dalam pelaksanaannya, pemerintah menggunakan skema restorasi lahan gambut, meningkatkan ekosistem Mangrove serta pencegahan deportasi hutan kepada lahan pertanian.

Ketiga, Efisiensi limbah. Skenario dalam hal ini, pemerintah menggunakan skema ekosistem sirkuler dan menargetkan turunnya produksi limbah cair hingga mencapai angka 0 pada tahun 2060. Dengan demikian, produksi sumber daya alam dan pengembangan limbah dapat dilakukan secara efisien.

Keempat, Perkuat fiskal. Pemerintah menargetkan hingga tahun 2030 akan menerapkan skema penghapusan subsidi bagi energi serta menerapkan pajak karbon yang lebih ketat dan terarah. Sehingga, pengelolaan terhadap sumber daya bisa lebih terjamin.

Dalam pelaksanaannya, pemerintah tentu membutuhkan jumlah investasi yang cukup besar. Menurut perkiraan Bappenas, negara membutuhkan besaran investasi senilai 77.000 triliun rupiah. Angka tersebut bahkan setara dengan tiga hingga lima kali lipat Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan Indonesia.

Sejalan dengan itu, Bank Indonesia sebagai lini sektor lembaga keuangan negara juga menunjukkan komitmennya pada pelaksanaan investasi hijau, melalui keterlibatannya dalam instrumen keuangan hijau Asian Green Bond Fund, sebagai salah satu usaha bersama Asian Consultative Council (ACC) yang diluncurkan oleh Bank for International Settlements (BIS).

Bank Indonesia bersama lembaga keuangan lain yang terlibat, kedepannya akan memfokuskan pendanaan pada investasi yang ramah lingkungan dalam berbagai sektor. Dengan menggunakan skema penempatan surat berharga berkriteria investment grade dan sesuai dengan standar international green standards.

Dengan demikian, proyek energi terbarukan di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, bisa terlaksana dengan efisien dan terukur dengan pasti.

Disamping itu, Bank Indonesia hingga hari ini terus mendorong sektor keuangan, pasar keuangan dan perbankan untuk melakukan peralihan pemberian modal pada sektor investasi hijau dalam negeri. Karena, jika tidak segera dilakukan, gerak keuangan dan aktivitas ekspor Indonesia akan tersendat.

Maka untuk benar-benar memastikan Indonesia maju melalui Investasi hijau, sinergitas berbagai pihak dalam negeri baik pelaksana kebijakan, lembaga keuangan, investor bahkan masyarakat akan dipertaruhkan. Setidaknya komitmen bersama untuk menciptakan investasi yang ramah lingkungan bisa menjamin pertumbuhan ekonomi serta kualitas alam ke depan.

"Recover Togethet, Recover Strongger with Investment Green."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun