Mohon tunggu...
Rinny Baki
Rinny Baki Mohon Tunggu... Guru - Diego Mom's

"Kejayaan kita bukan karena tidak pernah jatuh, tetapi berani bangkit di kala jatuh"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menilik Merdeka Belajar dalam Masa Pandemi... Merdeka untuk Siapa?

3 Desember 2021   11:06 Diperbarui: 3 Desember 2021   11:21 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 merupakan bencana internasional yang berdampak besar dalam setiap sendi kehidupan bangsa, termasuk bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke. Adanya pendemi memberikan berbagai permasalahan serius terutama dalam dunia pendidikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang biasa dikenal dengan UNESCO menyebut hampir 300 juta siswa di seluruh dunia terganggu kegiatan sekolah mereka dan terancam hak-hak pendidikan mereka di masa depan, begitu pun di Indonesia. Institusi pendidikan ditantang untuk dapat melaksanakan proses pendidikan sebaik mungkin tanpa harus mengabaikan kebijakan pemerintah, salah satunya mengawal berjalannya Program Merdeka Belajar yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

 

Program Merdeka Belajar yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim merupakan upaya pemerintah mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) masa depan bangsa yang berkarakter unggul melalui pendidikan. Diharapkan dengan adanya kebijakan Merdeka Belajar ini akan dapat membentuk karakter peserta didik untuk lebih berpikiran terbuka, berani, mandiri, sopan, beradab dan berbudi luhur, lebih berkompetensi, serta andal dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Selama ini, salah satu problem dunia pendidikan di Indonesia adalah proses belajar yang hanya bertumpu kepada pendidik sebagai sumber utama dan peserta didik sebagai subyek pasif.

 

Pengawalan Program Merdeka Belajar ini merupakan tugas dan tanggungjawab setiap satuan pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang hadir sebagai subyek aktif. Situasi dan kondisi pandemi bukanlah menjadi sebuah alasan. Jika sebelumnya sistem pembelajaran konvensional yang mana mengejar kemampuan koginitif siswa lebih diutamakan, untuk sekarang lebih diberi kesempatan kepada peserta didik untuk berpikiran terbuka dan mampu memecahkan masalah. Berprinsip dengan komitmen yang baik maka karakter siswa akan terbentuk sesuai dengan harapan dalam mempersiapkan generasi emas.

 

Kabupaten Belu sebagai kota perbatasan pun dihadapkan dan ditantang dengan problem pendidikan ini. Kegiatan belajar mengajar yang selama ini dilakukan secara langsung, dengan cara tatap muka antara guru dan peserta didik mengalami penyesuaian secara mendadak dan terpaksa dilakukan oleh semua sekolah untuk mengurangi laju penyebaran Covid-19 tersebut. Adanya momentum pandemi Covid-19 turut berperan dalam proses penyesuaian penyelenggaraan pendidikan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Para guru dan peserta didik dipaksa untuk menggunakan dan menguasai teknologi dalam waktu singkat untuk pelaksanaan poses belajar mengajar. Tapi, seiring waktu berjalan, kunci dari membuat peserta didik belajar secara mandiri dalam menemukan sesuatu dan memecahkan masalah adalah membantu mereka "terhubung secara digital" dengan satu sama lain maupun dunia di sekitar mereka. Pada akhirnya program Merdeka Belajar yang telah dicetuskan dapat diaplikasikan sebaik mungkin.

 

Sejatinya, proses pelaksanan pembelajaraan daring sangatlah mudah. Peserta didik hanya membutuhkan kuota internet beserta smartphone atau pun laptop sebagai alat penunjang. Melalui perangkat tersebut peserta didik dapat mengakses beragam aplikasi daring yang digunakan untuk belajar dan berinteraksi secara virtual dengan guru dan teman-temannya, hingga aktivitas mengunduh serta mengumpulkan tugas. Namun jika berkaca dari realita yang ada, kemudahan tersebut belum bisa dinikmati secara serempak oleh semua peserta didik, terlebih bagi mereka di desa yang akses internet sangat sukar dijangkau.

 

Hadir sebagai icon kota perbatasan, Kabupaten Belu tidak sepenuhnya oke dalam hal kesiapan infrastruktur. Padahal, kesiapan infrastruktur dan SDM guru dalam pembelajaran daring/PJJ menjadi prasyarat terciptanya ekosistem pembelajaran yang baik guna mendapatkan pembelajaran yang berkualitas sebagaimana pembelajaran tatap muka.  Salah satu kesiapan infrastruktur adalah jaringan internet yang cepat. Dari data potensi desa yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2020, 26.700 desa terjangkau jaringan 4G, 33.800 desa dapat menggunakan jaringan 3G dan 9.711 desa hanya dapat menerima jaringan 2G. Sementara itu, masih terdapat 6.961 desa yang belum terjangkau internet. Data di atas pun termasuk dengan data BPS Kabupaten Belu.

 

Sebagai guru di kota perbatasan, saya pun menoreh kisah dalam penerapan merdeka belajar. Kendala jaringan adalah hal yang paling menyesakkan. Istilah manis "LoLa, Loading Lambat" seakan menjadi kebiasaan. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang telah disiapkan sematang mungkin akan terhambat dengan "LoLa" yang menghampiri. Kegiatan pembelajaran yang mengandalkan Zoom Meeting untuk  sekadar bisa melihat wajah anak-anak pun hanya bisa dilakukan 45 menit untuk 1 kali pertemuan. Ya...45 menit saja karena ini adalah aplikasi zoom yang tak berbayar atau dengan kata lain gratis. Dan lebih menyesakkan lagi jika di tengah pembelajaran harus terputus karena jaringan. Merdeka belajar memang pada dasarnya menekankan agar peserta didik lebih berpikiran terbuka dengan menemukan hal-hal baru dan berusaha memecahkan masalah. Guru hadir sebagai fasilitator. Akan tetapi, mungkin di daerah kami hal ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam beradaptasi. Tidak semua peserta didik demikian, namun penguatan karakter dalam pembiasaan bagi kebanyakan peserta didik perlu ditingkatkan.

 

Masalah pembelajaran online tentu saja tidak hanya kekuatan jaringan internet yang cepat. Masalah yang paling mendasar di wilayah perbatasan ini yakni sarana penunjang/perangkat yang akan digunakan peserta didik. Bagi peserta didik dari kalangan menengah ke atas, orang tuanya dapat membelikan laptop atau ponsel agar anaknya dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Namun bagi siswa dengan keterbatasan biaya, mereka harus fokus memperhatikan pembelajaran dengan layar dengan ukuran sangat kecil. Bukan hanya itu saja, bahkan ada peserta didik yang sama sekali tidak bisa memiliki perangkat yang dapat digunakan untuk pembelajaran online. Tuntutan ekonomi di masa pandemi ini membuat sebagian orang tua angkat tangan (menyerah). Tuntutan ekonomi pun juga membuat orang tua tidak bisa meluangkan waktu yang lebih banyak dalam mendampingi anak-anak di rumah. Orang tua harus bekerja dan anak-anak pun banyak menghabiskan waktu belajar sendiri di rumah tanpa dikontrol. Hal ini dapat menimbulkan terbelangkainya pendidikan anak di masa pandemi. Pada akhirnya, orang tua pun tidak dapat berbuat banyak ketika anak menghabiskan waktu untuk bermain daripada belajar. Melihat masalah ini, kehadiran saya sebagai guru pun ditantang. Saya harus banyak meluangkan waktu untuk mendidik. Banyak cara saya lakukan. Salah satunya yakni menjalin komunikasi rutin dengan peserta didik yang betul-betul membutuhkan pendampingan.

 

Mengutip kata-kata bijak yang pernah dikemukakan oleh Kemdikbud Nadiem Makarim, "Teknologi adalah tools, hanya suatu alat...bukan segalanya. Kualitas pembelajaran dalam kelas , interaksi antara guru dan peserta didik itu esensinya, sebaiknya dapat terus diterapkan dengan baik. Bagaimanapun juga , kegiatan belajar mengajar akan dapat berlangsung dengan baik dan efektif jika kedua belah pihak, antara guru dan peserta didik dapat berinteraksi dengan baik, tanpa terkendala oleh jarak maupun teknologi karena sejatinya pendidikan itu merupakan proses belajar yang berkelanjutan, lestari, dan tidak mengenal waktu". Merujuk pada hal tersebut, para garis depan dunia pendidikan yakni para pendidik untuk tidak bersembunyi di balik pandemi Covid-19 ini. Seolah situasi dan kondisi membuat pendidik tidur terlelap dan peserta didik yang dikorbankan.

 

Proses pembelajaran online ini mengharuskan perlunya kesiapan dari sekolah dan guru. Jika selama ini guru mengajar dengan mengandalkan papan tulis, sekarang harus menggunakan teknologi digital. Hal ini memanglah bukan suatu yang mudah apalagi pendidik yang sudah memasuki usia senja. Akan tetapi, sebaiknya mental dan prinsip usia bukanlah menjadi alasan. Sampai di sini apakah gurunya yang merdeka??? Ataukah peserta didiknya yang diharapkan untuk merdeka??? Merdeka bebas untuk berpikiran terbuka, berkompetensi, menemukan sesuatu yang baru, dan memecahkan masalah serta andal dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.

 

Pepatah bijak mengatakan : "Kita memerlukan 4000 tahun untuk berpindah dari penggunaan besi menjadi industri. Kita hanya memerlukan 40 tahun untuk berpindah ke tahap komputer. Dan ke depannya kita hanya memerlukan 4 tahun untuk menjadikan dunia ini berbeda dari sebelumnya. Dan pada akhirnya setiap hari kita akan melihat teknologi yang berbeda" Merdeka...Ya Merdeka Belajar. Bebaslah berkreasi dengan memanfaatkan teknologi sebaik mungkin!!!

 

Oleh : Maria Theresia Baki, S.Pd

(Guru SMP Santa Angela Atambua)

 

Sekian dan Terima Kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun