"Tara...! Bangun...!" Tuwit menggoyangkan tubuh Tara yang terbujur kaku di tepi danau. Usahanya membangunkan Tara sia-sia.
Tara pingsan sesaat setelah meminum air danau. Dia mengatakan jika kepalanya pusing dan tidak sadar.
Tuwit adalah burung Tawau penghuni asli Hutan Kalimantan, sedangkan sahabatnya Tara ialah burung Jalak. Mereka bersahabat sejak kecil.
"Taraaa...!" Tuwit menatap wajah Tara yang sudah tak bergeming. Matanya tak mau membuka. Akhirnya, dengan susah payah Tuwit berusaha menyeret tubuh Tara, kembali ke rumah mereka di hutan.
Sesekali Tuwit berhenti karena kelelahan.
"Ada apa dengan Tara?" Maria, seekor gagak  dewasa tiba-tiba muncul menyapa Tuwit yang sedang menangis sembari membawa tubuh Tara.
"Tara tidak mau bergerak." Tuwit menangis sesenggukan.
"Apa yang terjadi dengannya?" Maria mendekat, memeriksa tubuh Tara yang sudah membeku.
"Tadi, kami bermain di tepi danau. Tiba-tiba Tara haus dan meminum air danau. Kemudian dia jatuh dan tidak sadar sampai sekarang." Tangis Tuwit kembali pecah.
"Tara sudah meninggal. Aku akan membawa tubuhnya pulang." Maria mencengkeram tubuh Tara, terbang melayang tinggi untuk kembali ke dalam hutan, tenpat mereka tinggal.
Tuwit mengikuti Maria di belakangnya.
"Oh... anakku, apa yang terjadi denganmu?" Ibu Tara terkejut melihat kedatangan Maria dan Tuwit.
"Tara telah meninggal. Dia telah meminum air di danau beracun itu." Maria menjelaskan.
Ibu dan Ayah Tara menangisi kepergian Tara. Ia tidak menyangka jika anaknya pun menjadi korban danau kematian itu.
Semua penduduk hutan berkumpul ketika mendengar tangisan histeris dari salah satu anggota keluarga yang tinggal di hutan itu.
"Apa yang terjadi dengan danau itu? Bukankah sejak dulu kami sering bermain dan meminum air di danau itu?" tanya Tuwit polos.
"Danau itu kini telah beracun. Tidak dapat kita minum lagi airnya. Sebaiknya kita semua berhati-hati." Ibu Tuwit memperingatkan.
"Apa yang membuat danau itu beracun?" tanya Tuwit.
"Semenjak manusia mengambil batu hitam dari dalam bumi, hutan kita tidak lagi aman. Bahkan, sudah banyak yang menjadi korban. Banyak teman-teman kita yang mati karena meminum air yang sudah mengandung racun. Banyak juga teman-teman kita yang kehilangan rumah karena hutan terus ditebangi." Bujang, Si Orang Utan cerdas menjelaskan.
"Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan hutan ini? Haruskah kita kehilangan rumah kita untuk selamanya?" Mata Tuwit berlinang air mata mendengar penjelasan Bujang.
"Kita tidak bisa apa-apa. Kita akan hilang karena alam dan manusia tak lagi bersahabat." Bujang mengelus dagunya.
"Apa kita semua akan bernasib sama seperti Tara?" tanya Tuwit.
"Tidak. Jika kita bisa mengalahkan manusia-manusia itu."
"Bagaimana caranya?" tanya Tuwit.
Bujang menggelengkan kepalanya. "Aku belum menemukan caranya. Tapi, aku akan berusaha mencari bantuan."
"Adakah yang bisa membantu kita dari kejamnya tangan manusia?" tanya Ibu Tuwit.
"Ada... Yang bisa mengalahkan manusia adalah manusia juga. Kita harus menemukan manusia yang mencintai hutan kita," sahut Bedu, Si Beruang Madu.
"Apakah masih ada manusia yang peduli dengan kita?" tanya Ibu Tara.
"Ada, aku pernah mengenalnya. Dia pernah menolongku dari jerat yang dipasang oleh manusia saat aku masih kecil. Pasti dia bisa menolong kita," jawab Bedu.
"Di mana kita bisa menemukannya?" tanya Ibu Tara.
"Dia ada di sebuah tempat. Aku akan menemuinya esok."
Semua bersorak gembira. Berharap Bedu dapat menemukan manusia yang bisa menolong mereka dari kehancuran hutan Kalimantan.
Ditulis Oleh : Rin Muna
Kalimantan Timur, 25 September 2018
Teruntuk Putriku Tercinta, Alifia Shaumi Aleshana (Tuwit)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H