Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Libur Sekolah Selama Ramadhan; Tantangan Baru Pemerintah, Dunia Pendidikan dan Para Orang Tua

31 Januari 2025   20:47 Diperbarui: 3 Februari 2025   13:36 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
siswa mengaji serius di sekolah saat ramadhan sumber foto; bantenraya.co

Jika melihat kebiasaan di Aceh dimana anak-anak yang tinggal di kampung masih getol bertadarusan hingga tengah malam, rasanya program libur selama Ramadhan itu kok pas sekali dengan semangat mereka untuk mengisi Ramadhan dengan aktifitas ibadah.

Selama ini anak-anak memakai alasan datang terlambat atau tidak hadir saat Ramadhan karena hingga larut malam mereka membaca Al Qur'an atau bertadarusan. Bahkan dalam hari-hari normal, sebagian besar remaja yang tinggal di kampung di Aceh sampai dengan saat ini, masih rutin mengaji setiap malam, terutama belajar Kitab Kuning.  Selain Fathul Qorib, Al-Aqidah al-Wasitiyyah, Bidayatul Hidayah, Nashaihul Ibad , Qutul Qulub, Tafsir Ibnu Katsir dan kitab Riyadus Salihin. 

Tapi itu bersifat sangat parsial dan subjektif. Artinya masing- masing daerah punya titik kelebihan dan kelemahan dalam mengimplementasikan kebijakan baru yang sedang diwacanakan saat ini. Dan dalam konteks melihat persoalan secara nasional, kita tidak bisa berkaca pada satu daerah secara parsial sebagai tolok ukurnya. Lain Ladang Lain Belalang, begitu kata peribahasa. Sehingga kebijakan nasional harus jelas "belalang" kebijakannya.

anak-anak mengaji di sekolah sumber foto dispendikkabupatenmalang
anak-anak mengaji di sekolah sumber foto dispendikkabupatenmalang

Sekolah di Aceh Sebuah Realitas

Dalam kasus sekolah di Aceh yang notabene berdasarkan syariah, persoalan kesyariatan tidak hanya di atur saat Ramadhan, tapi juga dalam keseharian mereka selama 11 bulan lainnya. Misalnya saja yang paling sederhana, kewajiban penggunaan hijab dan seragam yang harus memenuhi syarat syariah menutup aurat. Bagi laki-laki dengan bercelana panjang, dan bagi perempuan rok panjang dan baju lengan panjang seperti baju kurung yang melewati batas pinggul.

Bahkan dalam keseharian di sekolah dimana saya mengajar, setiap Jumat kami melaksanakan Yasinan atau membaca Surat Yasin saat pagi sebelum masuk kelas. Anak-anak yang terlambat selain menghafal surat pendek dalam juz Amma (juz 30), mereka juga diwajibkan menuliskannya. Anak-anak juga shalat berjamaah bergantian beberapa kelas setiap harinya mengingat kapasitas mushala sekolah yang terbatas.

Sedangkan daerah lain tidak seluruhnya menjalankan kebijakan tersebut secara ketat. Sehingga kebijakan libur atau tidak libur selama Ramadhan menjadi sangat berbeda cara pandangnya.

Tapi dalam konteks kebijakan nasional, harus dikaji tidak boleh parsial, namun bersifat komprehensif, dimana nantinya manfaatnya harus bisa lebih optimal dirasakan daripada mudharatnya. Apalagi tantangan saat ini tak lagi sesederhana dulu. Terutama kehadiran digitalisasi dalam segala aspek yang bisa berdampak pada bagaimana anak-anak menyikapi manfaat teknologi selama berpuasa di Bulan Ramadhan.

Apakah ada pemikiran yang lebih konstruktif misalnya, berupa kebijakan menjalankan aktifitas pendidikan yang lebih kreatif dan fun, bukan sekedar belajar di kelas reguler seperti hari-hari biasa?. Seperti kata anak-anak, saat saya sampaikan soal wacana libur atau tidak libur. Meski pro kontra pada intinya mereka sepakat;  kalau harus tetap sekolah, masa iya Ramadhan juga belajar biasa, yang di luar kebiasaan dong!. Lantas apa wujudnya?. Tentu harus dipikirkan solusi yang cerdas.

anak-anak mengaji di sekolah sumber foto: tempo.co
anak-anak mengaji di sekolah sumber foto: tempo.co

Libur Saja Kok Repot, Tapi Wacana Ini Memang Tidak Mudah Kok!

Kita tentu harus mengkaji dengan cermat untung ruginya. Bukan hanya bahwa ini kebijakan yang sangat beda dan tidak pernah dilakukan sebelumnya. Tidak sesederhana itu, karena muncul debat yang mengerucut pada kesimpulan dijalankan saja kan ini  kebijakan yang beda. Ini pasti positif karena selama Ramadhan mestinya ya untuk ibadah jangan mikir sekolah. Padahal logisnya bersekolah juga ibadah, jika konteksnya untuk mencari ilmu pengetahuan yang diamanahkan agama.

Tapi jangan lupa jaman juga berubah, tantangan juga sangat berubah mengikuti dinamika yang ada. Dulu kata ibu saya, selama Ramadhan kami sibuk tadarusan, menghafal Al Qur'an, khatam Qur" an bisa seminggu sekali. Mengapa?. Ketika itu televisi masih jarang, apalagi gadget belum dikenal atau malah belum ada. Sehingga alternatif orang untuk beribadah seperti tidak banyak pilihan dan menjadi lebih totalitas. Ramadhan ya beribadah titik.

Tapi kata anak saya, itukan dulu nek. Sekarang bukan televisi godaan terbesarnya, tapi kehadiran internet dengan nir jaringan yang bisa menembus ruang dan waktu, dan difasilitasi oleh gadget si super privasi.

Dulu orang tua bisa melarang dengan pasword, sekarang anak-anak sebagai pemilik gadget menguncinya dengan cara canggih;  pemindai retina mata, finger print dan lainnya, sehingga orang tua pun aksesnya terbatas. Jika diarang alasannya gadget juga bagian dari perangkat pendidikan. Sejak Pandemi Covid-19, aturan tidak tertulis itu telah menjadi aturan baku di dunia pendidikan. Tak ada rotan akarpun jadi.Tak ada laptop atau komputer, gadgaet pun jadi. 

Mengapa persoalan libur atau tidak libur menjadi kompleks?, karena ini bukan menyangkut sekedar libur berpeluang membuat anak-anak beribadah lebih banyak dan fokus, sedangkan jika tetap bersekolah perhatian atau fokus mereka akan terbagi untuk belajar dan beribadah. Tidak sesederhana itu.

Tapi jika kita kembalikan kepada pemikiran dan pertanyaan kritis, siapa yang bisa menjamin anak-anak yang libur sekolah akan fokus beribadah. Apakah mereka aka lebih intens mengaji atau bermain game?. Apakah lebih memilih shalat atau justru lupa waktu. Karena bahkan tidurpun karena bernilai ibadah ditoleransi oleh para orang tua saat Ramadhan.

Artinya persoalan libur atau tidak libur menjadi sangat tidak sederhana. Tidak sekedar menjadi lebih fokus dan taat beribadah atau sebaliknya.

Libur panjang selama Ramadhan tentu memiliki kelebihan dan tantangan. Dari satu sisi, kebijakan ini bisa memberikan ruang lebih bagi siswa untuk fokus beribadah dan berkegiatan di lingkungan keluarga. Namun, bagaimana dengan potensi dampak pada efektivitas pembelajaran dan jadwal akademik? Apakah ada alternatif, seperti pengaturan jam belajar khusus selama Ramadhan yang lebih tepat dan fleksibel?.

Fakta penelitian dan survey membuktikan, setidaknya seperti yang telah dilakukan oleh 5 lembaga. We Are Social dan Hootsuite, mencatat pada tahun 2021, data menunjukkan bahwa saat Ramadhan, waktu yang dihabiskan untuk berselancar di internet meningkat. Peningkatan ini banyak dipengaruhi oleh penggunaan aplikasi media sosial, layanan streaming, serta platform e-commerce.

Sebuah penelitian oleh Jakpat (Jakarta Polling Center) juga mengumpulkan data dari pengguna internet Indonesia juga mencatat adanya peningkatan penggunaan internet saat Ramadhan. Penelitian ini menunjukkan bahwa remaja dan anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial, bermain game online, atau menonton video di platform streaming seperti YouTube.

Katalis Digital (platform riset digital) pada tahun 2020 juga melaporkan adanya peningkatan signifikan dalam aktivitas media sosial saat bulan Ramadhan. Pengguna internet di Indonesia, termasuk kalangan remaja dan anak-anak, cenderung lebih aktif dalam mengakses platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter selama Ramadhan, untuk mengikuti konten terkait Ramadhan seperti tutorial masak, kegiatan berbuka puasa, atau program keagamaan.

Peningkatan penggunaan platform streaming video seperti YouTube dan Netflix selama bulan Ramadhan juga dilaporkan dalam beberapa survei. Anak-anak dan remaja lebih sering menonton serial atau video hiburan selama bulan puasa, terutama di sore hari menjelang waktu berbuka puasa.

Dan menurut sebuah studi oleh Pew Research Center, selama Ramadhan, remaja dan anak-anak lebih cenderung menghabiskan waktu mereka di dunia maya sebagai cara untuk mengatasi kebosanan atau mengalihkan perhatian dari rasa lapar. Banyak yang menggunakan internet untuk berinteraksi dengan teman-teman, bermain game online, atau menonton acara TV secara daring.

Nah, barangkali yang mestinya menjadi pemikiran kritis kita. Membangun pemikiran yang konstruktif agar bisa membawa perubahan positif. Apa solusi cerdasnya?.

anak-anak mengaji disekolah sumber foto ; direktoratalirsyadpekalongan
anak-anak mengaji disekolah sumber foto ; direktoratalirsyadpekalongan

Hitam Putih Libur atau Tidak Libur

Mari kita diskusikan in bersama-sama. Apa yang sebenarnya berkemungkinan menjadi kekuatiran kita terbesar jika libur atau tidak libur. Melalui telaah ini, nantinya kita bisa mempertimbangkan solusinya dengan lebih matang dan lebih konstruktif agar bisa melihat persoalan ini lebih jernih hitam dan putihnya.

Pembelajaran dari pengalaman bersekolah penuh saat Ramadhan

Kita harus mengurai kembali manfaat dan tantangan yang mengikuti setiap pilihan kebijakan yang kita pilih.

 mengaji disekolah saat ramadhan sumber foto:kemenagkalsel
 mengaji disekolah saat ramadhan sumber foto:kemenagkalsel

Pertama; Bersekolah Selagi Puasa

Jika kita merujuk pada kebijakan seperti sebelumnya, ide untuk menyelenggarakan sekolah penuh selama Ramadan bertujuan untuk mengoptimalkan waktu belajar siswa dan mendorong keteraturan aktivitas selama bulan puasa.

Dulu Pemerintah berargumen bahwa dengan tetap bersekolah, anak-anak akan lebih terstruktur dalam menjalani hari-hari mereka, terutama dalam menjaga keseimbangan antara pendidikan dan ibadah.

Namun, kebijakan ini juga membawa sejumlah konsekuensi yang perlu dipertimbangkan secara matang. Salah satu perhatian utama adalah bagaimana mengelola waktu belajar yang intensif tanpa mengurangi semangat anak-anak untuk menjalankan ibadah Ramadan. Beberapa pihak kuatir bahwa kebijakan ini akan terlalu membebani siswa, terutama mereka yang berpuasa, sehingga mengurangi efektivitas proses belajar.

Sejatinya, dengan tetap bersekolah, anak-anak bisa menjaga rutinitas harian mereka. Penurunan aktivitas selama libur panjang Ramadan justru dikuatirkan membuat anak-anak kehilangan ritme harian, yang pada gilirannya bisa memengaruhi produktivitas mereka.

Namun bukan tidak ada masalah terkait kebijakan bersekolah selama Ramadhan. Salah satu kritik utama adalah soal daya tahan fisik dan mental anak-anak yang berpuasa. Puasa sering kali membuat anak-anak mengalami penurunan energi, sehingga mereka membutuhkan waktu istirahat yang cukup. Agar proses belajar mengajar berlangsung efektif.

Implementasi sekolah penuh membutuhkan penyesuaian kurikulum yang matang. Jika tidak dirancang dengan baik, siswa justru merasa terbebani oleh materi pelajaran yang tidak relevan dengan suasana Ramadan, yang seringkali dianggap membosankan.

bermain sambil belajar sumber foto: joglojateng.co
bermain sambil belajar sumber foto: joglojateng.co

Kedua; Libur Sekolah Selagi Puasa

Kebijakan libur sekolah penuh selama Ramadan yang mulai diusulkan didasari alasan agar memberikan kesempatan lebih besar bagi siswa untuk fokus pada ibadah. Tapi, seperti halnya kebijakan lainnya, keputusan ini tetap saja memunculkan manfaat sekaligus tantangan baru yang harus dipertimbangkan secara mendalam.

Salah satu alasan utama di balik kebijakan ini yang juga diyakini kita semua jika berpikir secara logis adalah untuk mendukung anak-anak menjalankan ibadah dengan lebih tenang selama Ramadan. Dengan tidak adanya kewajiban sekolah, siswa diharapkan memiliki waktu lebih banyak untuk fokus pada puasa, shalat, tadarus, dan kegiatan keagamaan lainnya.

Namun, ada pertanyaan besar yang kemudian menggoda pikiran kita. Apakah libur penuh benar-benar efektif dalam mendukung tujuan tersebut? Dalam praktiknya, justru ada kekuatiran anak-anak justru akan kehilangan struktur harian mereka, yang akhirnya berdampak pada produktivitas dan disiplin mereka selama Ramadan.

Tentu kita harus mengkajinya lebih luas. Sejatinya libur penuh selama Ramadan memberi manfaat bagi siswa dan keluarganya. Anak-anak memiliki lebih banyak waktu yang lebih fleksibel dalam menjalankan ibadah, terutama pada malam hari saat tradisi shalat tarawih dan tadarus berlangsung.

Tanpa bersekolah, memberi ruang kebebasan anak dari tekanan akademik agar berpuasa dengan lebih nyaman. Dalam praktiknya porsi belajar yang berlebihan sering kali membuat anak-anak mengalami penurunan energi akibat puasa.

Libur sekolah juga membuka peluang bagi keluarga untuk lebih banyak berkumpul dan menjalankan tradisi Ramadan bersama, seperti berbuka puasa, sahur, atau melakukan kegiatan sosial.

Tapi benarkah realitasnya begitu?. Bagaimana dengan tradisi Bukber, ngabuburit dan lain-lain yang trendnya muncul saat Ramadhan. Dalam praktiknya anak-anak lebih memilih berbuka bersama komunitasnya, kelompoknya daripada duduk berbuka di meja makan seperti tradisi kita dahulu.

 anak-anak bermain game selama ramadhan sumber foto: LPM analisa
 anak-anak bermain game selama ramadhan sumber foto: LPM analisa

Tantangan dan Dampak Buruk Kebijakan

Sebuah kebijakan memang tidak lepas dari pro dan kontra dari dampak positif dan negatif. Kebijakan libur saat ramadhan juga tidak lepas dari tantangan. Salah satu persoalan utama adalah bagaimana menjaga anak-anak tetap disiplin dan fokus selama liburan panjang Ramadan.

Bagaimanapun banyak kalangan termasuk orang tua mengkuatirkan berbagai kemungkinan negatif yang mengikuti kebijakan tersebut.

Mau tidak mau kebijakan itu mengharuskan para orang tua lebih mengontrol aktivitas anak-anaknya masing-masing, karena biasanya ada keterlibatan sekolah didalamnya, terutama soal disiplin.

Ketika sekolah diliburkan, anak-anak cenderung kehilangan struktur harian yang biasanya diatur oleh jadwal sekolah. Banyak orang tua mengeluhkan bahwa anak-anak justru lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain gim daring, menonton televisi, atau berkumpul tanpa pengawasan.

Kebijakan baru tersebut juga akan menggantungkan keberhasilannya pada peran masing-masing orang tua. Dalam kondisi libur puasa, peran orang tua menjadi sangat sentral dalam mengarahkan anak-anak untuk menjalankan ibadah. Sayangnya, tidak semua orang tua memiliki fleksibilitas waktu atau kemampuan untuk mengontrol anak-anak mereka secara penuh, terutama bagi keluarga yang kedua orang tuanya bekerja.

Tak sedikit orang tua yang tetap disibukkan dengan aktifitas kantor dan bisnis, sehingga kontrol pada keluarga terutama anak-anak jauh dari kata memadai. Anak-anak juga cenderung lebih mendengar arahan dan aturan disiplin sekolah daripada orang tuanya. Pada akhirnya akan lebih banyak orang tua yang mengalah, kendor pengawasannya dan menyerahkan sepenuhnya pada bagaimana kedewasaan dan pola pikir anak menyikapinya.

Bahkan bukan tidak mungkin dengan pengawasan yang kendor,  mempengaruhi potensi menurunnya semangat ibadah. Alih-alih fokus pada ibadah, anak-anak justru lebih mungkin terjebak dalam rutinitas yang kurang produktif selama libur panjang. Kurangnya pengawasan dari orang tua dan sekolah yang libur membuat anak-anak kehilangan inisiatif untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan.

Dan kekuatiran yang juga menjadi turunan dari dampak tersebut adalah, bahwa libur panjang juga akan berpengaruh pada keberlanjutan proses belajar. Anak-anak yang terlalu lama tidak disiplin dan tidak terkoneksi dengan kegiatan akademik cenderung mengalami "learning loss," yang bisa berdampak pada performa mereka setelah Ramadan berakhir.

bermain sambil belajar sumber foto: akupintar.com
bermain sambil belajar sumber foto: akupintar.com

Belajar dari Negara Lain

Sebenarnya belum ada penelitian komprehensif yang membandingkan dampak antara sekolah penuh dan libur panjang selama Ramadan terhadap perkembangan anak. Penelitian semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjadi dasar pengambilan kebijakan.

Beberapa negara mayoritas Muslim telah menerapkan kebijakan pendidikan yang berbeda selama Ramadan. Di Arab Saudi, misalnya, sekolah tetap berlangsung tetapi dengan jam belajar yang dikurangi secara signifikan. Kegiatan sekolah lebih banyak diarahkan pada penguatan nilai-nilai keagamaan, seperti kajian Islam dan pembacaan Al-Qur'an. Sekolah biasanya dimulai lebih pagi dan berakhir lebih cepat, sehingga siswa tetap memiliki waktu yang cukup untuk beribadah dan beristirahat.

bermain sambil belajar sumber foto: inovasi.com
bermain sambil belajar sumber foto: inovasi.com

Sebuah studi dari Universitas Al-Azhar di Mesir pada 2020 menunjukkan bahwa rutinitas harian yang terstruktur sangat penting bagi perkembangan anak, termasuk selama Ramadan. Anak-anak yang memiliki rutinitas cenderung lebih mampu menjalankan ibadah dengan konsisten dibandingkan mereka yang dibiarkan sepenuhnya bebas tanpa panduan.

Di sisi lain, laporan UNICEF pada 2022 mencatat bahwa libur panjang tanpa aktivitas yang jelas dapat meningkatkan risiko perilaku tidak produktif di kalangan remaja hingga 20%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun libur dapat memberikan keleluasaan, tanpa program yang terstruktur, dampak negatifnya bisa lebih besar.

Menurut survei lain yang juga dilakukan oleh UNICEF pada 2022, rutinitas yang terstruktur sangat penting bagi perkembangan anak. Anak-anak yang memiliki rutinitas harian yang baik cenderung memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik.

fun and kreatif disekolah sumber foto guruinovatif.id
fun and kreatif disekolah sumber foto guruinovatif.id

Jadi Apa Solusinya?

Jika pilihanya sekolah penuh, agar kebijakan  ini dapat berjalan efektif, diperlukan pendekatan yang seimbang. Tentu saja penyesuaian jadwal sekolah. Durasi belajar dipersingkat, dan fokus kegiatan dialihkan pada pendidikan agama serta pembentukan karakter.

Sekolah dan pemerintah daerah harus bisa menginisiasi program Ramadan yang kreatif dan fun. Mengingat situasi Ramdhan dalam kondisi berpuasa, pendekatan pembelajaran yang kreatif dan fun menjadi daya tarik sendiri bagi para siswa agar mau terlibat dalam proses pembelajaran agar bisa efektif hasilnya.

Namun jika kebijakan libur sekolah penuh selama Ramadan yang dipilih, sebenarnya keputusan tersebut memerlukan pertimbangan matang. Kebijakan libur sekolah penuh selama Ramadan adalah langkah berani yang memerlukan perencanaan matang dan dukungan dari berbagai pihak.

Di satu sisi, kebijakan ini bisa memberikan waktu lebih banyak bagi anak-anak untuk beribadah dan berkumpul bersama keluarga. Namun, di sisi lain, tantangan seperti kehilangan struktur harian, ketergantungan pada orang tua, dan potensi learning loss menjadi persoalan yang tidak boleh diabaikan.

Dengan keragaman budaya, ekonomi, dan agama yang ada di berbagai daerah, kebijakan mengenai libur sekolah selama Ramadhan harus dipikirkan dengan cermat untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pendidikan, ibadah, dan keberagaman sosial.

Dan Pemerintah sebagai pengambil kebijakan di pemerintahan, sudah pasti ahrus bisa merancang solusi yang tidak hanya efektif tetapi juga realistis dan dapat diterima di berbagai daerah dengan kondisi yang heterogen, seperti di Indonesia. 

Penyesuaian Jam Sekolah

Daripada memberikan libur penuh, sebaiknya akan lebih baik jika diberikan penyesuaian jam sekolah dengan memperpendek jam pelajaran atau melakukan shift jadwal. Misalnya, sekolah bisa dimulai lebih pagi dan selesai lebih cepat, atau memberi kesempatan untuk sekolah setengah hari. Sehingga memberi fleksibilitas kepada siswa untuk menjalankan ibadah puasa dengan lebih nyaman, mengurangi kelelahan, namun tetap menjaga kelancaran proses pendidikan. Penyesuaian ini juga bisa disesuaikan dengan kebiasaan di setiap daerah.

Apa yang harus dilakukan Pemerintah dalam mengatur kebijakannya adalah dengan memberikan panduan tentang bagaimana mengatur penyesuaian jam sekolah yang sesuai dengan waktu sahur, berbuka, dan tarawih, dengan mempertimbangkan perbedaan waktu di setiap daerah.

Pembelajaran Daring atau Semi-Daring

Bagi daerah yang memungkinkan, bisa diterapkan libur terbatas, misalnya satu minggu di awal Ramadhan atau pada hari-hari tertentu yang dianggap krusial. Sementara itu, pembelajaran bisa dilakukan secara daring atau semi-daring untuk menjaga kesinambungan pendidikan. Ini bisa memberi waktu libur bagi siswa untuk menjalankan ibadah puasa, tetapi proses pembelajaran tetap berlangsung tanpa kehilangan banyak waktu. Pembelajaran daring bisa disesuaikan dengan materi yang lebih ringan.

Pemerintah pusat dalam hal ini bisa menawarkan sebuah pengembangan modul pembelajaran daring yang sesuai untuk periode Ramadhan, dan mengadakan pelatihan bagi guru untuk mengelola pembelajaran dengan baik di platform daring.

Keputusan Daerah (Desentralisasi)

Mengingat heterogennya kondisi di Indonesia, kebijakan ini bisa diserahkan kepada pemerintah daerah untuk menyesuaikan libur sekolah dengan kebutuhan setempat. Pemerintah pusat bias memberikan pedoman umum, tetapi setiap daerah diberi ruang untuk menyesuaikan kebijakan dengan kondisi lokal, seperti pola ibadah, kalender pendidikan, dan kebutuhan masyarakat setempat.

Ini akan memberi manfaat yang lebih efektif, bagi daerah seperti Aceh karena diberi ruang bagi daerah untuk menyesuaikan kebijakan dengan konteks lokal, daerah yang lebih banyak mayoritas Muslim dapat lebih fleksibel dalam memberi libur atau penyesuaian, sementara daerah yang lebih heterogen bisa mengambil pendekatan yang lebih moderat.

Dalam hal ini sekali lagi Pemerintah pusat tetap memberikan pedoman umum mengenai waktu efektif belajar dan batas minimal jam pelajaran sebagai solusinya, tetapi memberi kebebasan pada daerah untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik daerahnya.

Sosialisasi dan Koordinasi dengan Pemangku Kepentingan

Agar bisa lebih efektif dan bisa mendapatkan masukan yang lebih kaya, Pemerintah harus mengadakan dialog dan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti organisasi pendidikan, ulama, orang tua, dan pihak terkait lainnya untuk mendapatkan masukan yang komprehensif mengenai kebijakan libur sekolah selama Ramadhan.

Semua dimaksudkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil bisa mewakili perbedaan yang ada dan mencerminkan kebutuhan masyarakat yang beragam, dan mengurangi potensi penolakan atau mispersepsi mengenai kebijakan tersebut.

Tentunya Pemerintah daerah dan pusat bisa membentuk forum diskusi yang melibatkan berbagai pihak terkait untuk merumuskan kebijakan yang tepat dan adil di setiap daerah.

Semuanya dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan yang fleksibel, desentralisasi, dan berbasis pada kebutuhan lokal, serta melibatkan semua pemangku kepentingan. Dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan cara terbaik dalam menyesuaikan waktu belajar selama Ramadhan, kebijakan ini akan lebih diterima dan lebih efektif dalam mengakomodasi keragaman Indonesia yang sangat heterogen. Bagaimana menurut Sahabat guru dan teman semuanya?.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun