Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Negara Rauh Ring Banjar Titiang; Meretas Benang Kusut Reforma Agraria di Sumberklampok

26 Januari 2025   23:51 Diperbarui: 26 Januari 2025   23:51 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putu Artana kaget, apalagi ia Ketua Tim Sembilan "Bagai kena petir di siang bolong. Karena pemerintah sudah berkomitmen menyelesaikan konflik agraria meskipun belum ada hitam di atas putih, lalu tiba-tiba ada rencana membangun bandara. Siapa tidak terkejut?"

 
Mereka sudah memperjuangkan kepemilikan lahan yang sudah mereka tempati dan garap sejak 1922. Tim ini yang melakukan negosiasi dengan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan sengketa agraria di desa ini. Mereka pula yang menandatangani Surat Kesepakatan Bersama (SKB) dengan Gubernur Bali pada November 2020. SKB ini berisi kesepakatan penyelesaian sengketa agraria di Sumberklampok termasuk pembagian lahan antara warga dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.

Apalagi konfliknya sudah berlangsung sejak 1960-an.

Sebenarnya persoalan reforma agraria memang sangat sensitif. Kemampuan negara untuk menyelesaikan konflik agraria dinilai tidak seimbang dengan letusan konflik yang muncul. Pembiaran terhadap konflik terus berulang dan menjadi warisan turun-temurun dari setiap pemerintahan. Akibatnya, konflik berkembang dan bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lebih kompleks.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Catatan Akhir Tahun 2023 menyebut, ada 2.939 letusan konflik yang mencakup 6,3 juta hektar lahan dan 1,759 juta keluarga korban selama kurun waktu 2015-2023. Sebagian dari jumlah itu berasal dari konflik-konflik yang tak kunjung menemui titik terang.

Sebenarnya melalui Reforma Agraria Summit 2024 di Provinsi Bali yang menyasar tiga tujuan. Pertama penyampaian pencapaian 10 tahun program strategis nasional reforma agraria sejak tahun 2014-2024. Kedua tindak lanjut kesepakatan 9 Menteri Dalam deklarasi Reforma Agraria Summit 2023 di Karimun. Dan yang ketiga penyusunan reforma agraria tahun 2025-2029.

 
Direktur Pemberdayaan Tanah Kementerian ATR/BPN Dwi Budi Martono mengatakan ada empat isu yang menjadi konsentrasi Pemerintah menjembatani penyelesaian persoalan reforma agraria tersebut.

sumber foto kompas
sumber foto kompas
 Pertama, kesepakatan yang mencakup resolusi penyelesaian legalisasi aset permukaan di atas air, pulau kecil dan pulau terluar.Kedua, isu soal resolusi penyelesaian pertanahan transmigrasi.

 
Ketiga penyelesaian konflik agraria pada aset barang milik Negara, daerah, BUMN dan BUMD yang dikuasai masyarakat.
Dan keempat, resolusi penyelesaian redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan.

 
Selama ini Pemerintah dinilai belum serius menangani problem agraria. Akibatnya, konflik bermetamorfosis menjadi semakin kompleks.

 
Padahal Reforma Agraria merupakan program prioritas nasional dalam Nawacita Presiden, sesuai dengan amanat RPJMN 2020-2024 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

 
Di sisi lain, blunder persoalan reforma agraria sering dikemas menjadi kepentingan politik dalam kampanye pemilihan pemimpin baik di tingkat nasional maupun daerah.

 
Sehingga seiring perjalanan dari awal pencetusan sampai saat ini, keberhasilan reforma agraria yang dirasakan oleh rakyat masih dipertanyakan dan perlu dibuktikan secara empiris dengan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini Negara tidak bisa bekerja sendiri, butuh seluruh komponen bangsa untuk menggerakkan cita-cita luhur reforma agraria yang dibutuhkan rakyat (petani tidak memiliki tanah) namun mempunyai itikad baik untuk memanfaatkan tanahnya secara aktif.

sumber foto mongabay
sumber foto mongabay
Namun kasus di Desa Sumberklampok di Bali bagian barat  adalah sebuah titik terang keberhasilan Badan Bank Tanah dalam menjalankan perannya menjadi lembaga yang memfasilitasi kepentingan masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya atas tanah yang dimilikinya.

 
Setelah hampir 60 tahun dalam ketidakpastian, warga Desa Sumberklampok di Bali bagian barat merasa mulai ada titik terang perihal status lahan yang selama ini mereka kelola dan tinggali. Pada 26 November 2020 lalu, Tim Sembilan sebagai perwakilan warga Desa Sumberklampok dan Gubernur Bali Wayan Koster menandatangani Kesepakatan Bersama tentang Penyelesaian Tanah Eks HGU Nomor 1, 2, dan 3 di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.

 
Dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) itu kedua belah pihak menyepakati empat poin penyelesaian sengketa agraria yang sudah terjadi sejak 1960-an. Pertama, para pihak sepakat bahwa keseluruhan lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 1, 2, dan 3 di Desa Sumberklampok luasnya mencapai 612,9 ha. Setelah dikurangi lahan tempat tinggal (dalam bahasa Bali disebut pekarangan), fasilitas sosial dan fasilitas umum, serta jalan dan sungai, total lahannya seluas 514,02 ha.

 
Kedua, dari lahan seluas 514,02 ha, kedua belah pihak sepakat membagi 70 persen untuk warga dan 30 persen menjadi hak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Artinya, warga akan mendapatkan sekitar 359,8 ha lahan sedangkan Pemprov Bali berhak atas 154,2 ha.

 
Ketiga, Pemprov Bali menjamin hak warga Sumberklampok untuk mendapatkan hak atas tanah pemukiman dan garapan melalui program Reforma Agraria. Untuk itu warga akan mendapatkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah sebagai dasar permohonan penerbitan sertifikat hak milik kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).

 
Keempat, jika pemerintah akan memanfaatkan lahan hak warga, maka pemerintah harus mengganti rugi sesuai dengan undang-undang.

sumber foto mongabay
sumber foto mongabay
Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan penyelesaian sengketa agraria di Sumberklampok merupakan wujud komitmennya untuk menyelesaikan konflik agraria di desa yang berada di Bali bagian barat, agar kedua belah pihak baik Pemprov Bali maupun warga mendapatkan kepastian hukum.

 
Menurut Koster skema pembagian 70:30 merupakan solusi terbaik untuk kedua belah pihak, warga dan pemerintah.
Setelah mempelajari dokumen riwayat tanah, dan melakukan pembahasan dengan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali,  akhirnya permohonan warga untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati dan digarap melalui kebijakan Reforma Agraria dipertimbangkan oleh Pemerintah.

 
Dasar pertimbangan adalah;  pertama, secara faktual warga telah menempati/menggarap tanah secara turun temurun  sejak tahun 1923. Kedua, warga telah berjuang untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati/digarap sejak tahun 1960; ketiga, secara faktual telah terbentuk Desa Adat Sumberklampok sejak tahun 1930.

 
Keempat, secara faktual telah terbentuk Desa Dinas Desa Sumberklampok sejak tahun 1967, Kemudian menjadi Desa dinas yang definitif pada tahun 2000.

 
Dengan menghadirkan Kepala Desa, Bandesa Adat, dan tokoh masyarakat Desa Sumberklampok (Tim Sembilan) untuk melakukan pertemuan guna membahas komposisi pembagian tanah antara Pemerintah Provinsi Bali dengan pihak warga. Setelah melalui diskusi yang mendalam, akhirnya disepakati komposisi pembagian yang diinginkan oleh pihak warga yaitu sebesar 30% (154,23 hektar) untuk Pemerintah Provinsi Bali dan sebesar 70% (359,87 hektar) untuk pihak warga (dari total tanah garapan saja seluas 514,10 hektar).

 
Dengan demikian, pihak warga memperoleh tanah dengan total luas mencapai 458,70 hektar atau sekitar 74,84% (terdiri dari tempat tinggal dengan luas 65,55 hektar, fasilitas umum dan jalan dengan luas 33,28 hektar, dan tanah garapan dengan luas 359,87 hektar).
Ini merupakan wujud kebijakan yang menunjukkan keberpihakan penuh kepada pihak warga Desa Sumberklampok.

 
Dan selanjutnya Badan Pertanahan Provinsi Bali melakukan proses pensertifikatan tanah, melalui kebijakan Reforma Agraria agar menyelesaikan sertifikat secara cepat.

 
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali telah dengan sangat cepat menyelesaikan sertifikat tanah pihak warga sesuai rencana, sehingga untuk tahap kedua ini sudah bisa diselesaikan untuk tanah garapan pihak warga sebanyak 813 sertifikat, yang merupakan kelanjutan penyerahan sebanyak 800 sertifikat tanah tempat tinggal yang sudah diserahkan pada tanggal 18 Mei 2001 yang lalu.

 
Perjuangan warga Desa Sumberklampok yang telah menempati tanah ini secara turun temurun sejak tahun 1923, pada saat perabasan hutan untuk menjadi kawasan perkebunan oleh Pemerintah Belanda (eigendom verpoonding). Namun warga belum memiliki tanda bukti kepemilikan yang sah. Tanah yang ditempati dan digarap seluas 612,93 hektar.

 
Dan selama menggarap dan menguasai tanah tersebut, warga belum memiliki bukti hak kepemilikan atas tanah yang ditempati sebagai tempat tinggal dan lahan garapan. Kondisi ini terus berlanjut, karena ketika warga mengajukan permohonan hak milik, belum ada kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Bali dengan pihak warga, sehingga warga tidak memiliki kepastian hukum atas tanah yang ditempati dan digarap.


Hal ini mengakibatkan nasib warga semakin tidak jelas, mengingat sejak tahun 1993 masa pengelolaan tanah oleh Yayasan Kebaktian Proklamasi telah berakhir. Namun pada akhirnya berakhir dengan hasil yang baik.

 
"Negara Rauh Ring Banjar Titiang," ujar salah seorang warna Desa Sumberklampok yang telah hidup di desa itu turun temurun dari warisan orang tuanya. Barulah dimasanya harapan orang tuanya untuk mendapatkan keadilan atas hak tanahnya bisa terpenuhi.

 
Permasalahan agraria di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, hanyalah sedikit dari banyaknya kasus yang masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Pemerintah untuk bisa memenuhi keadilan warganya mendapatkan hak-haknya atas tanah dan tempat tinggalnya.

 
Reforma agraria merupakan sebuah kebijakan strategis yang sangat penting dalam mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah dan penguasaan atas kekayaan alam di Indonesia. Reforma agraria bertujuan untuk memastikan bahwa tanah dan sumber agraria dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana Pancasila dan mandat Undang-Undang Dasar 1945.

sumber bacaan: 1,2, 3,4

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun