Â
Dasar pertimbangan adalah;  pertama, secara faktual warga telah menempati/menggarap tanah secara turun temurun  sejak tahun 1923. Kedua, warga telah berjuang untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati/digarap sejak tahun 1960; ketiga, secara faktual telah terbentuk Desa Adat Sumberklampok sejak tahun 1930.
Â
Keempat, secara faktual telah terbentuk Desa Dinas Desa Sumberklampok sejak tahun 1967, Kemudian menjadi Desa dinas yang definitif pada tahun 2000.
Â
Dengan menghadirkan Kepala Desa, Bandesa Adat, dan tokoh masyarakat Desa Sumberklampok (Tim Sembilan) untuk melakukan pertemuan guna membahas komposisi pembagian tanah antara Pemerintah Provinsi Bali dengan pihak warga. Setelah melalui diskusi yang mendalam, akhirnya disepakati komposisi pembagian yang diinginkan oleh pihak warga yaitu sebesar 30% (154,23 hektar) untuk Pemerintah Provinsi Bali dan sebesar 70% (359,87 hektar) untuk pihak warga (dari total tanah garapan saja seluas 514,10 hektar).
Â
Dengan demikian, pihak warga memperoleh tanah dengan total luas mencapai 458,70 hektar atau sekitar 74,84% (terdiri dari tempat tinggal dengan luas 65,55 hektar, fasilitas umum dan jalan dengan luas 33,28 hektar, dan tanah garapan dengan luas 359,87 hektar).
Ini merupakan wujud kebijakan yang menunjukkan keberpihakan penuh kepada pihak warga Desa Sumberklampok.
Â
Dan selanjutnya Badan Pertanahan Provinsi Bali melakukan proses pensertifikatan tanah, melalui kebijakan Reforma Agraria agar menyelesaikan sertifikat secara cepat.
Â
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali telah dengan sangat cepat menyelesaikan sertifikat tanah pihak warga sesuai rencana, sehingga untuk tahap kedua ini sudah bisa diselesaikan untuk tanah garapan pihak warga sebanyak 813 sertifikat, yang merupakan kelanjutan penyerahan sebanyak 800 sertifikat tanah tempat tinggal yang sudah diserahkan pada tanggal 18 Mei 2001 yang lalu.
Â
Perjuangan warga Desa Sumberklampok yang telah menempati tanah ini secara turun temurun sejak tahun 1923, pada saat perabasan hutan untuk menjadi kawasan perkebunan oleh Pemerintah Belanda (eigendom verpoonding). Namun warga belum memiliki tanda bukti kepemilikan yang sah. Tanah yang ditempati dan digarap seluas 612,93 hektar.
Â
Dan selama menggarap dan menguasai tanah tersebut, warga belum memiliki bukti hak kepemilikan atas tanah yang ditempati sebagai tempat tinggal dan lahan garapan. Kondisi ini terus berlanjut, karena ketika warga mengajukan permohonan hak milik, belum ada kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Bali dengan pihak warga, sehingga warga tidak memiliki kepastian hukum atas tanah yang ditempati dan digarap.
Hal ini mengakibatkan nasib warga semakin tidak jelas, mengingat sejak tahun 1993 masa pengelolaan tanah oleh Yayasan Kebaktian Proklamasi telah berakhir. Namun pada akhirnya berakhir dengan hasil yang baik.
Â
"Negara Rauh Ring Banjar Titiang," ujar salah seorang warna Desa Sumberklampok yang telah hidup di desa itu turun temurun dari warisan orang tuanya. Barulah dimasanya harapan orang tuanya untuk mendapatkan keadilan atas hak tanahnya bisa terpenuhi.
Â
Permasalahan agraria di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, hanyalah sedikit dari banyaknya kasus yang masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Pemerintah untuk bisa memenuhi keadilan warganya mendapatkan hak-haknya atas tanah dan tempat tinggalnya.