Jika kita cermati, proses dan kecenderungan perkembangan atau dinamika demokrasi di Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal sebenarnya justru contradiction in terminis dengan demokrasi yang ideal.
Bahkan pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi yang diharapkan membaik sejak 1999 terbukti belum sesuai harapan. Praktik buruk demokrasi masih berlangsung, Mobokrasi (keadaan saat hukum dikendalikan oleh gerakan massa), kakistrokrasi (pemerintahan dijalankan oleh warga negara yang paling buruk, paling tidak memenuhi syarat, atau paling tidak bermoral), korupsi, dan rivalitas akut dalam pilkada.
Ini menjadikan peran perempuan dalam politik, utamanya Pilkada Serentak 2024 yang segera akan berlangsung di Indonesia, menarik untuk dibahas dan dikaji. Terutama di tengah situasi demokrasi nasional yang masih menghadapi berbagai tantangan.Â
Meskipun Indonesia telah menerapkan sistem pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia (luber) dan demokratis, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kualitas demokrasi kita masih berada dalam kategori "cacat".Â
Data Freedom House, Indeks Demokrasi Indonesia turun dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023 dan data Reporters Without Borders (RSF) juga menunjukkan penurunan terhadap skor kebebasan pers Indonesia, yakni dari 63,23 poin pada 2019 menjadi 54,83 poin pada 2023.
Dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi ini, perempuan menghadapi tantangan yang lebih besar untuk berpartisipasi secara aktif dalam politik. Apalagi kita masih kuat menganut budaya patriarki . Peran perempuan sering kali terpinggirkan dalam sistem politik yang didominasi oleh oligarki keluarga dan kelompok.Â
Untuk memperkuat peran perempuan dalam politik, upaya membangun budaya dan perilaku politik yang lebih ramah terhadap perempuan menjadi sangat penting.Â
Pendidikan kewarganegaraan, pendidikan demokrasi, serta kaderisasi di partai politik bisa menjadi langkah awal untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam politik lokal dan nasional. Jika tidak, kita berisiko mengalami krisis demokrasi, di mana politik hanya menjadi alat bagi sekelompok elit untuk mempertahankan kekuasaan.
Selain itu, komunikasi politik yang efektif menjadi kunci bagi perempuan untuk bisa berperan lebih besar dalam proses politik. Dengan meningkatkan keterampilan komunikasi politik di kalangan perempuan, baik dalam lingkup eksekutif, legislatif, maupun infrastruktur politik lainnya, diharapkan bisa memperkuat posisi perempuan sebagai agen perubahan dan pendorong kemajuan demokrasi.
Caranya?
Pertama; Memperkuat Kepemimpinan Perempuan untuk Demokrasi yang Inklusif
Dengan model demokrasi yang sedang rusak saat ini, memperkuat kepemimpinan perempuan menjadi salah satu kunci untuk membangun demokrasi yang lebih inklusif.Â