Dua pembelajaran yang paling menarik dan patut menjadi perhatian kita dari kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, adalah tentang empati dalam wujud kesederhanaan diri, ia mendedikasikan diri sebagai tokoh yang melayani--seorang servant leader, serta konsistensinya dalam mendukung nilai-nilai toleransi antar umat beragama.
Seorang "Servant leader atau servant leadership", "pemimpin pelayan" adalah pemimpin yang mengutamakan pelayanan kepada orang lain sebagai prinsip utama dalam kepemimpinan mereka. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf dalam esainya yang berjudul "The Servant as Leader" pada tahun 1970.
Intinya  seorang pemimpin pelayan percaya bahwa tugas utama mereka adalah melayani dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya, bukan sebaliknya. Memiliki dan menunjukkan empati, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan peduli terhadap orang lain.
Mereka memimpin dengan contoh dan berusaha menginspirasi orang lain melalui tindakan mereka, bukan hanya dengan berbicara atau memberi perintah. Dan selalu selalu mempertimbangkan dampak keputusan mereka terhadap seluruh kelompok, berusaha menciptakan nilai dan manfaat yang lebih besar bagi orang lain. Berusaha untuk membuat pemimpinannya lebih inklusif dan memprioritaskan kesejahteraan dan pengembangan orang lain sebagai inti dari kepemimpinan mereka.
Pertama; Paus Fransiskus selama ini memang dikenal luas sebagai seorang pemimpin yang menunjukkan sikap empati dalam wujud hidup dalam kesederhanaan.Â
Tentu saja kita tahu bahwa lawatannya dalam benyak perjalanan telah mempertemukan dengan banyak warga dunia di banyak negara berada dalam kondisi yang kurang beruntung. Bukan hanya soal sosial dan ekonomi, tapi juga mereka yang selalu berada diambang bahaya, seperti dalam kancah peperangan atau konflik.
Pengalaman-pengalaman tersebut tidak hanya membuat hatinya terenyuh, namun juga dibuktikan dengan sikapnya yang sederhana. Ia bisa merasakan empati dari banyak orang yang ditemuinya dan selalu mengingatkannya tentang nilai-nilai kemanusiaan yang selalu dijunjung tinggi.
Padahal dengan kapasitasnya sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik (1,4 miliar) yang ada di seluruh dunia, sekaligus juga posisinya sebagai kepala negara Vatikan, ia bisa memperoleh kemewahan yang dibutuhkannya.
Kunjungannya ke Indonesia, membuktikan hal itu. Namun yang kita saksikan adalah ketika tiba di Indonesia, ia menaiki sebuah mobil sederhana, Toyota Innova Zenix berwarna putih, yang jauh dari kesan mewah layaknya fasilitas yang biasa harus dipenuhi untuk menyambut tokoh negara.
Sikapnya itu menunjukkan bahwa ia tidak hanya beretorika tentang keprihatinan dunia, tapi ia juga mempraktikan sikap sederhana dalam perilakuknya. Ini sejatinya menjadi bentuk pembelajaran langsung yang bisa dijadikan hikmah bagi para pemimpin lainnya, khususnya bagi umat Katolik.
Namun juga menjadi pembelajaran kami umat lain yang berpegang teguh pada nilai-nilai kesederhaan dalam hidupnya.
Kedua; Sebagai pemimpin spiritual tertinggi Gereja Katolik, selama ini agendanya jauh melampaui ritual keagamaan yang parsial. Ketokohan dan konsistensinya dalam menyuarakan pesan perdamaian, toleransi, dan keadilan sosial menjadi salah satu daya tarik penting dalam setiap kunjungannya ke banyak negara.
Ketika kita kaitkan dalam konteks keberagaman negara kita, peristiwa ini tidak hanya akan memperkuat citra negara kita sebagai contoh harmoni antarumat beragama, tetapi juga berpotensi memberikan dorongan moral untuk memelihara dan merayakan pluralisme yang telah menjadi bagian integral dari identitas nasional.
Kebhinekaan kita dengan keanekaragaman agama dan budaya yang dimilikinya memiliki catatan penting yang bisa menjadi pembelajaran.Â
Memiliki lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 300 kelompok etnis, sebenarnya sebuah tantangan besar untuk bisa menyatukannya, dan negara kita menjadi contoh yang baik dalam wujud masyarakat yang hidup berdampingan meskipun memiliki perbedaan mendasar.
Menurut data dari BPS (Badan Pusat Statistik) dan laporan internasional seperti dari Pew Research Center, Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi juga rumah bagi komunitas Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan kepercayaan lokal yang terus berkembang.
Kunjungan Paus menjadi pengakuan atas upaya Indonesia dalam merawat keragaman ini dan bisa menjadi simbol bagi upaya dunia dalam mempromosikan toleransi antarumat beragama.
Kunjungan Paus, Perdamaian dan Toleransi KeberagamanÂ
Keberagaman kita sering dipuji sebagai salah satu yang terbaik di ASEAN dan Asia. Konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu jua," adalah fondasi dari integrasi sosial dan politik negara ini. Berbeda-beda dalam pemahaman dan keyakinan, namun memiliki satu tujuan tentang kebersamaan, perdamaian.
Kunjungan Paus bisa dilihat sebagai peluang untuk memperkuat narasi positif tentang keberagaman di Indonesia. Paus dikenal sebagai pemimpin yang pesan-pesannya tentang persatuan sangat relevan dalam konteks Indonesia.
Secara terbuka selama ini Paus menentang segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis agama dan etnis, sehingga kedatangannya bisa menjadi dorongan bagi masyarakat Indonesia untuk lebih bersatu dan memperkuat nilai-nilai toleransi.
Harapan kita tentu saja kunjungannya bisa membawa pesan yang semakin memperkuat semangat persatuan dan toleransi di negara kita, untuk dibagikan kepada masyarakat dunia. Pesan-pesan tentang perdamaian dan keadilan mencakup ajakan untuk merangkul perbedaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Apalagi di tengah dinamika sosial yang terus berkembang, pesan ini bisa menjadi panduan bagi banyak pihak dalam mengatasi perbedaan dan konflik yang mungkin timbul.
Sebagai contoh, adalah perlunya kita fokus pada dialog antaragama dan penekanan pada hak asasi manusia. Kunjungan ini tidak hanya bisa menjadi platform untuk melanjutkan dialog tersebut, tapi dengan menyoroti bagaimana masyarakat Indonesia bisa lebih efektif mengatasi tantangan-tantangan terkait maslah keberagamannya.
Pesan tentang inklusi dan penghargaan terhadap hak-hak minoritas akan sangat berharga dalam kaitannya dengan keberagaman di negara kita, karena masalah tersebut sering menjadi pusat perhatian dan diskusi kita.
Memang harapan terbesar kita, kunjungan Paus tidak hanya menjadi sekedar simbolis tetapi juga harus berdampak praktis. Ini menjadi momen untuk merayakan keberagaman Indonesia secara lebih luas, dengan mengundang masyarakat internasional untuk melihat bagaimana keberagaman ini dijaga dan dipelihara.
Selain itu, kunjungan ini juga bisa memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional sebagai model keberagaman yang berhasil, sekaligus menegaskan komitmen negara dalam mempromosikan toleransi. Ini adalah tujuan utama yang ingin kita "sampaikan secara luas" kepada masyarakat di seluruh dunia.
Membangun jembatan antar kelompok berbeda, dan merespons tantangan-tantangan keberagaman dengan cara yang lebih konstruktif. Ini sekaligus menjadi bagian integral kita dalam merayakan dan merawat keragaman sebagai identitas nasional. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H