Di tengah kesulitan ekonomi yang sering dihadapi oleh banyak orang dengan pekerjaan tetap namun gaji pas-pasan, pencarian penghasilan tambahan sering kali menjadi solusi. Fenomena ini menjadi semakin nyata dengan munculnya berbagai aplikasi transportasi daring sejak 2010, yang dipelopori Gojek, sebuah aplikasi ojek sepeda motor yang didirikan oleh Nadiem Makarim.
Sejak kemunculannya, Gojek telah mengubah paradigma mobilitas masyarakat di Indonesia dengan memberikan akses mudah dan cepat untuk penyedia jasa dan konsumen. Transformasinya  bukan hanya sekadar inovasi teknologi, tetapi juga revolusi dalam cara masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari. Ini menjadi fenomena yang menarik.
Hanya saja kemudian, gesekan-gesekan juga timbul terutama ketika pengojek tradisional yang di sebagian daerah dijuluki  Rakyat Banting Tulang (RBT) merasa disaingi dengan kehadiran ojek online. Meskipun sulit untuk menemukan titik tengah memberi solusi yang win-win solution. Bagaimanapun teknologi pada akhirnya selain memudahkan juga memberi tantangan baru yang sulit.
Pada masa-masa awal kehadiran Gojek, aplikasi ini mengatasi tantangan besar dalam hal penerimaan publik. Diperlukan waktu sekitar 4-5 tahun untuk mendapatkan tempat di hati masyarakat. Tapi kini telah jauh melejit, untuk wilayah Jabodetabek saja, menurut Direktur Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan pada 2019, ada 2 juta-2,5 juta pengojek daring.Â
Tidak hanya sepeda motor, tetapi juga layanan taksi online, pengantaran makanan, dan barang yang ikut berkembang pesat. Banyaknya jenis layanan ini membawa dampak signifikan pada kehidupan sehari-hari, memberikan lebih banyak pilihan kepada konsumen dan peluang penghasilan tambahan bagi banyak orang.
Menjadi pengemudi ojek daring atau "ojol" tidaklah rumit. Persyaratannya meliputi memiliki kendaraan yang layak, surat izin mengemudi, dan mematuhi aturan perusahaan. Pekerjaan ini menawarkan fleksibilitas yang menarik bagi banyak orang yang ingin menambah penghasilan tanpa terikat jam kerja yang ketat. Bahkan termasuk untuk para perempuan. Keberadaan komunitas ojek daring yang solid juga memperkuat ikatan antar pengemudi, menciptakan ekosistem yang saling mendukung di tengah kerasnya dunia jalanan.
Kehidupan sebagai Ojol, Kesenjangan, Persaingan, dan Tantangan Regulasi
Pada periode 2015-2017, penghasilan dari pekerjaan ini sangat menarik dibanding upah minimum regional, sehingga banyak orang mulai menganggap ojek daring sebagai mata pencarian utama dan menjadi salah satu jenis pekerjaan idaman. Beberapa bahkan mengambil kredit kendaraan atau meninggalkan pekerjaan tetap demi menjadi pengemudi ojek daring.Â
Kondisi ini menciptakan ketergantungan yang berpotensi menimbulkan masalah ketika pendapatan dari pekerjaan ini tidak lagi mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga banyak yang mulai memikirkan untuk mengambil pekerjaan lain dan hanya menjadikannya sekedar sambilan.
Menariknya selama pandemi Covid-19 Â meskipun banyak jenis pekerjaan terdampak berat, ojek daring mampu bertahan. Namun, penambahan jumlah pengemudi dan persaingan tarif yang ketat mengakibatkan penurunan pendapatan dan meningkatnya kelelahan di kalangan pengemudi.
Pengemudi ojek daring menghadapi kenyataan bahwa pendapatan mereka tidak lagi mencukupi. Apalagi perang tarif antarplatform seperti Gojek, Grab, dan Maxim menyebabkan penghasilan menurun drastis, sementara jumlah pengemudi terus meningkat.Â
Di balik kemeriahan perkembangan ojek daring tersebut muncul juga masalah serius berkaitan dengan ketidaksetaraan dalam hubungan antara pengemudi dan perusahaan aplikasi. Prinsip kemitraan yang idealnya saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan, sering kali tidak tercapai dalam praktik.Â
Pengemudi ojek daring merasa bahwa relasi mereka dengan perusahaan aplikator tidak seimbang, dengan pengemudi yang berjuang untuk mendapatkan tarif yang adil dan perlindungan yang memadai.
Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 118 Tahun 2018, mulai mengatur sektor ini untuk melindungi hak-hak pengemudi dan konsumen. Meskipun regulasi telah diterbitkan, pelaksanaannya sering kali terlambat dan tidak cukup untuk mengatasi semua masalah yang ada, seperti tarif yang adil, standar pelayanan minimum (SPM), dan perlindungan terhadap kekerasan serta kejahatan.