Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tone Deaf, Mengapa Mereka Sulit Ditembus dan Apa yang Bisa Kita Lakukan?

31 Agustus 2024   18:40 Diperbarui: 31 Agustus 2024   18:48 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang tone deaf yang menyebalkan/sumber gambar theasianparent.com

Ketika dunia dipenuhi dengan berbagai krisis sosial, politik, dan lingkungan yang membutuhkan respons bersama. Ada segelintir orang yang sulit untuk diajak berkomunikasi terutama karena tampaknya ia memang tidak memiliki empati atau kepedulian terhadap isu-isu penting di sekitarnya. Dalam konteks sehari-hari, kita menyebut istilahnya sebagai tone deaf.

"Tone deaf," istilah yang awalnya digunakan dalam dunia musik untuk menggambarkan seseorang yang tidak dapat membedakan nada dengan baik, kini telah menjadi frasa populer di dunia sosial. Mereka seolah-olah "tuli" terhadap nada-nada emosional yang disampaikan oleh orang lain dan tidak merasakan urgensi atau kepentingan dari isu yang sedang diperbincangkan banyak orang.

Pertanyaan kritis yang menarik menanggapi fenomena ini adalah, mengapa berkomunikasi dengan orang yang tone deaf begitu sulit? Apa penyebab utama dari sikap ini?

Pertama; Keengganan Memahami yang Lain

Salah satu penyebab utama sulitnya berkomunikasi dengan orang yang tone deaf adalah perbedaan kepentingan. Jika mereka yang lebih vokal biasanya tergerak oleh perasaan solidaritas dan keinginan untuk memperjuangkan kepentingan bersama.

Mereka yang apatis cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi. Jika suatu isu tidak berdampak langsung pada mereka, maka mereka memilih untuk tidak terlibat. Sikap ini mengarah pada ketidakpedulian terhadap masalah yang sedang terjadi di luar lingkaran pengaruh mereka. Ketika dua pihak dengan kepentingan yang berbeda ini bertemu, maka mereka akan sulit menemukan titik temu.

Kedua; Dunia yang Dipandang Secara Berbeda

Perbedaan perspektif seringkali menjadi penghalang besar dalam kita berkomunikasi. Perspektif dalam hal ini merujuk pada cara seseorang merespons suatu situasi dan memprediksi dampaknya di masa depan. Mereka yang tone deaf sering kali merasa puas dengan keadaan saat ini. Dengan berpikir "saya baik-baik saja sekarang," jadi mereka merasa tidak perlu khawatir atau melakukan tindakan.

Sebaliknya di sisi lain, mereka yang vokal memikirkan dampak jangka panjang dari situasi yang ada. Mereka memahami bahwa ketidakpedulian hari ini bisa berakibat buruk di masa depan, baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk masyarakat luas. Ketidakcocokan pandangan ini menjadikan komunikasi ibarat dua jalan yang tidak pernah bersilangan.

Bayangkan jika demokrasi sedang diobok-obok, lalu kita berdiam diri dengan alasan politik bukan urusan kita. Padahal jika politik menjadi amburadul, kita juga akan terkena dampaknya, jika bukan sekarang bisa jadi mungkin nanti.

Ketiga; Diam sebagai Zona Aman dan Nyaman

Sikap tone deaf sering kali juga dipicu oleh rasa pasrah. Mereka menganggap bahwa segala upaya untuk mengubah keadaan akan sia-sia belaka. Hal ini sering dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti rendahnya daya juang atau posisi yang terjepit, misalnya dalam hubungan antara pekerja dan atasan.

Diam dan tidak mengambil tindakan bisa jadi menjadi pilihan paling aman untuk menghindari risiko yang lebih besar. Mereka lebih memilih untuk menjalani hidup tanpa terganggu oleh masalah yang mungkin tidak dapat mereka atasi. Selalu ingin berada dalam Zona Nyaman.

Keempat; Kenyamanan yang Menumpulkan Empati

Sikap tone deaf yang sering muncul dari rasa terlalu aman. Ketika seseorang merasa terlalu nyaman dengan posisinya, mereka cenderung mengabaikan fakta-fakta penting yang terlihat oleh orang lain. Contohnya, seseorang yang berada dalam hubungan yang tidak sehat--hubungan toxic, mungkin tetap tinggal dalam hubungan tersebut meskipun tahu bahwa itu berbahaya, karena mereka merasa terlalu nyaman atau takut menghadapi perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun