Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bangun Mindset Siswa Anti Bullying Saat MPLS dengan Learning Community

18 Juli 2024   13:30 Diperbarui: 29 Juli 2024   21:35 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi interaksi guru dan siswa/ sumber gambar detik,com

Jika kita membayangkan diri sebagai seorang siswa baru, berbagai kecemasan yang bahkan tak kita tunjukkan kepada para orang tua kita adalah kecemasan bercampur ketakutan. Apakah sekolahnya akan baik kepadanya, apakah guru-gurunya juga begitu, dan bagaimana dengan teman-teman barunya.

Masa awal sekolah menjadi masa transisi dan adaptasi dengan lingkungan baru. Jika bukan lagi kanak-kanak akan membutuhkan adaptasi yang lebih besar mengingat para remaja sudah memiliki banyak pertimbangan ketika harus berinteraksi dengan orang lain.

Sebagian besar anak-anak membayangkan bahwa orang di luar lingkungannya akan sama baiknya dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan tempat tinggalnya atau rumahnya.

Suasana MPLS di salahsatu kelas saya sebagai guru pemandunya/ foto dokpri rini wulandari
Suasana MPLS di salahsatu kelas saya sebagai guru pemandunya/ foto dokpri rini wulandari

Tapi ketika kenyataannya berbeda bahkan lebih keras dari dugaannya, maka dimulailah fase anak-anak mengalami situasi yang bisa membuatnya ketakutan, stress bahkan shock. Bahwa ternyata lingkungan diluar rumah begitu menakutkan.

Teman-teman yang  memperlakukannya dengan  "bombastic side eye", bisa jadi di sekolah barunya mungkin untuk pertama kalinya ia mendapat perlakukan seperti itu.

Urban Dictionary menjelaskan bahwa "bombastic side eye" adalah ekspresi wajah dengan pandangan melirik ke samping ketika terjadi tindakan atau perkataan yang sangat aneh atau mengganggu. Istilah ini juga mencirikan karakter sinis seseorang yang menunjukkan ekspresi tatapan sinis.

Meskipun bukan kekerasan verbal atau fisik,  "bombastic side eye" bisa menjatuhkan mental anak, dan itu bisa terjadi di lingkungan barunya di sekolah, itu baru salah satu contoh masalah.

Apalagi jika kemudian ditambah, dengan perlakukan para panitia dan guru saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang buruk di sekolah barunya, tentu ini bisa menjadi trauma.

 suasana MPLS di kelas dan siswa baru yang masih malu-malu tapi gembira /foto dokpri riniwulandari
 suasana MPLS di kelas dan siswa baru yang masih malu-malu tapi gembira /foto dokpri riniwulandari

MPLS Untuk Atasi Bibit Kekerasan di Sekolah

Berdasarkan pengalaman saat melaksanakan MPLS atau Masa Orientasi bagi para siswa, sebenarnya menjadi peluang bagi kita para guru dan sekolah untuk tidak saja memberikan kenyamanan bagi para siswa baru mengenal lingkungan barunya, namun sejatinya MPLS juga menjadi ruang bagi kita sejak awal untuk menghilangkan bibit kekerasan (bullying) di sekolah. 

Selama ini sekolah masih terus menjadi tempat kejadian kekerasan seperti bullying yang terus berulang sehingga harus sejak awal hal ini dapat diantisipasi melalui  MPLS.

Sayangnya stigma yang sudah terlanjur melekat, sekolah-sekolah profesi atau kejuruan-vokasi, sering menjadi ruang terjadi kekerasan dibanding sekolah umum dan sekolah nonformal yang banyak dirancang spesifik karena menjadi ruang alternatif. Bahkan di sekolah nonformal kasus kekerasan ini justru jarang terjadi.

Tentu saja stigma buruk ini berbahaya, meskipun kejadian bersifat kasuistis dan dilakukan oleh oknum senior yang jahat, namun nama baik sekolah menjadi taruhannya.

Jika kasus seperti ini juga mulai merambah ke sekolah umum karena adanya senioritas akibat dampak senioritas yang terus diulang-ulang menyebabkan budaya positif di sekolah menjadi hilang.

MPLS menjadi kesempatan kita memulai babak baru jika ingin menghilangkan stigma dan kebiasaan buruk akibat sistem senioritas. Justru dengan cara-cara yang lebih bersahabat, merangkul siswa baru dalam lingkungan baru dan menjadi bagian dari keluarga besar akan menjadi cara yang lebih sederhana mengatasi masalah kekerasan dan bullying yang selama ini menjadi salah satu masalah disekolah yang tak pernah pupus.

Pendekatan religius, atau penerapan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) program yang dirancang Kemendikbudristek sebagai bagian dari Kurikulum Merdeka yang bertujuan untuk mendorong tercapainya Profil Pelajar Pancasila adalah sesuatu yang sangat menarik. 

Apalagi jika program ini bisa diterapkan dengan menggunakan paradigma baru, yakni melalui pembelajaran berbasis projek, kegiatan bersama berbasis masalah. Ini tidak hanya akan menjadi materi menarik tapi juga menjadi cara merekatkan hubungan antara siswa lama dan siswa baru lebih kompak.

Ibarat pertemuan dengan seseorang, jika di awal MPLS-nya begitu menggoda, maka selanjutnya terserah siswa akan menjadi apa. Jika dimulai dari pertemuan awal dan segala sesuaatu yang positif, dilengkapi nilai-nilai religius yang kuat, pelatihan kemandirian, kepedulian, gotong royong, maka tentu buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.

Ini menjadi solusi merubah mindset anti bullying atau kekerasan yang selama ini sulit dideteksi parapihak disekolah dan para orang tua, namun sering terjadi di lingkungan "rumah kedua atau sekolah".

 suasana MPLS di kelas /foto dokpri riniwulandari
 suasana MPLS di kelas /foto dokpri riniwulandari

Pendekatan Learning Community

Jika kita kaitkan MPLS dengan model pembelajaran Learning community, menjadi salah satu cara menarik terutama selain meningkatkan keaktifan siswa, menggali potensi minat bakat, juga membangun keakraban untuk mengatasi ketimpangan antar siswa sebagai salah satu pencegahan kemungkinan timbulnya kekerasan (bullying).

Melalui MPLS para siswa harus didorong dan dituntut belajar aktif dengan memegang peran masing-masing dan saling bertukar pengetahuan dalam komunitas belajar saat masa-masa awal sekolah mereka.Mereka juga belajar bersosialisasi bersama teman sebaya dalam menyelesaikan masalah bersama-sama.

Pendekatan yang dilakukan mengggunakan materi Learning Community sangat fleksibel dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang kita dorong menjadi triggernya.

Bisa saja mendorong minat bakat siswa tentang inovasi, maupun upaya kita menjadikan MPLS sebagai cara mengatasi problem perundungan atau bullying agar sejak dini dapat tercegah dan dapat dipahami konsekuensinya.

Para guru bisa mengembangkannya dalam bentuk kegitan MPLS,  yang umum namun materinya bisa disesuiakan sesuai kebutuhan seperti; 

Melalui Orientasi dan Integrasi Siswa, yang harus dilakukan guru saat sesi penting ini yang bisa membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan membangun rasa kepemilikan terhadap proses pembelajaran, guru bisa memperkenalkan mereka dengan fasilitas sekolah, norma-norma, dan harapan-harapan yang ada. 

Begitu juga dengan Pengembangan Kemampuan Sosial dan Keterampilan Belajar. Pemberian materi ini berupa pembelajaran keterampilan sosial seperti komunikasi efektif, bekerja dalam tim, serta keterampilan belajar seperti mengatur waktu, membuat catatan, dan memanfaatkan sumber daya belajar.

Pengenalan Kurikulum dan Mata Pelajaran, ini materi standar namun penting, para guru sebagai pendamping harus memastikan bahwa siswa baru memahami struktur kurikulum sekolah dan apa yang diharapkan dari setiap mata pelajaran.

Ini termasuk memberikan gambaran tentang bagaimana setiap mata pelajaran akan membantu mereka mengembangkan keahlian dan pengetahuan tertentu.

Bahkan tak salah jika materi juga masuk dalam pembahasan Mentorship dan Pembimbingan. Materi ini diharapkan bisa menyediakan mentorship bagi siswa baru oleh siswa yang lebih senior atau guru agar bisa membantu mereka mengatasi tantangan awal dan merasa lebih nyaman di lingkungan baru.

Dan melalui bentuk Pembelajaran Kolaboratif dengan mengintegrasikan kegiatan pembelajaran yang mendorong kolaborasi antar siswa, seperti proyek kelompok atau diskusi kelompok kecil, dapat membantu membangun hubungan sosial dan memperkuat pemahaman materi. 

Melalui pendekatan masalah, siswa baru belajar menemukan solusinya ini bisa memancing daya nalar kritis mereka.

Sekaligus menanamkan nilai-nilai pembangun karakter melalui Pengembangan Karakter dan Etika, dengan menyisipkan nilai-nilai seperti integritas, kerja keras, dan empati bisa membantu siswa mengembangkan karakter yang kuat dan menjadi anggota masyarakat yang baik dalam setiap materi selama MPLS.

Akan lebih baik jika selama MPLS pun para guru bisa mendorong pemahaman yang lebih baik sejak awal tentang Pengembangan Karir dan Perencanaan Masa Depan. Selama ini selalau saja para guru di banyak sekolah dihadapkan pada masalah kebingungan para siswa menentukan jurusan saat kuliah atau hendak berprofesi sebagai apa.

Sehingga akan menjadi materi yang sangat relevan jika kita bisa mulai memperkenalkan siswa baru pada pilihan karir dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk masa depan mereka dapat membantu mereka merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan di masa mendatang.

Pengalaman dalam 3 hari pertama MPLS saja, mulai terasa manfaatnya, bagaimana para guru membantu siswa baru menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif, menarik, dan solutif bagi siswa baru di sekolah.

Semoga pembelajaran positif akan berbuah baik dan acara sukses hingga penutupan nantinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun