Ternyata di dunia sepakbola ada hal unik yang seru untuk diperbincangkan. Sebagai penikmat bola yang tidak fanatik, keunikan  ini menjadi semakin menarik perhatian saya.
Di dunia sepak bola, nomor punggung ternyata tak hanya sekadar identitas pemain, tapi juga bisa menjadi simbol dengan makna mendalam.Â
Salah satu yang menarik adalah nomor 12, yang di beberapa klub didedikasikan khusus untuk para suporter.Â
Tradisi ini kemudian memicu pertanyaan, apakah jersey nomor 12 benar-benar representasi fanatisme suporter, atau hanya strategi manipulasi komersial klub? Nah lho!.
Menyibak Makna di Balik Nomor 12 yang Misterius
Bahkan di berbagai liga, nomor 12 diidentikkan dengan "pemain ke-12", sebuah metafora untuk peran krusial suporter dalam memberi semangat dan dukungan bagi tim kesayangan. Di tribun, mereka bersatu, melantunkan chant, dan menciptakan atmosfer meriah yang menginspirasi para pemain.Â
Lebih dari itu, nomor 12 juga melambangkan rasa memiliki dan loyalitas suporter. Mereka bukan hanya penonton pasif, tapi bagian integral dari klub.Â
Jersey nomor 12 menjadi pengingat bahwa kemenangan tim tak lepas dari dedikasi dan pengorbanan para suporter.
Tak heran jika para suporter klub atau negara tertentu menunjukkan fanatisme yang luar biasa, seperti halnya Hooligan yang terkenal itu.
Tapi hal yang lebih menarik adalah, bahwa tak semua orang atau pengamat olahraga, melihat fenomena tersebut hanya sebagai bentuk euforia fanatisme orang terhadap klub yang didukungnya.Â
Lantas, apa lagi yang menjadi fokus perhatian mereka jika bukan keseruan penonton yang menjadi pendukung fanatis klubnya?.
Ternyata, dedikasi itu tak jarang dimanfaatkan oleh klub untuk kepentingan komersial!. Maksudnya?. Penjualan jersey nomor 12 menjadi sumber pendapatan tambahan, tanpa keuntungan langsung bagi para suporter.Â
Klub juga bisa menggunakan jersey ini sebagai alat untuk membangun citra pro-suporter, demi meningkatkan loyalitas dan basis penggemar. Jadi semacam fund raising lah keberadaan "pemain ke -12" tersebut.
Sehingga muncul kekuatiran bahwa fokus utama klub beralih dari menghargai fanatisme suporter menjadi mengeksploitasinya untuk keuntungan finansial.Â
Nah, hal inilah yang bisa memicu komersialisasi berlebihan dan melunturkan nilai-nilai inti sepak bola, seperti sportivitas dan kecintaan terhadap tim.
Tapi benarkah seperti itu adanya?. Sebagai penikmat bola amatiran, saya melihatnya sebagai sebuah fenomena yang penuh misteri.Â
Pada awalnya saya berpikir angka 12 dalam dunia olahraga seperti magisnya angka 13 yang keramat. Ternyata jauh lebih menarik dari itu, karena saya tak suka segala sesuatau yang berbau horor!.
Mencari Titik Tengah Keseimbangan Agar Tak Melukai Dedikasi Suporter
Jika harus menyikapi dilema ini, penting untuk mencari keseimbangan antara dedikasi dan kewaspadaan. Artinya bahwa , pihak klub harus menunjukkan komitmen nyata untuk menghargai fanatisme suporter.
 Bisa saja dilakukan dengan melibatkan suporter dalam pengambilan keputusan, memberikan keuntungan nyata dari penjualan jersey nomor 12, atau menjaga atmosfer sepak bola yang autentik.
Di sisi lain, suporter juga perlu kritis dan jeli terhadap potensi manipulasi. Mereka harus memastikan bahwa dedikasi mereka dihargai dengan tulus, bukan hanya dijadikan komoditas untuk keuntungan klub.Â
Ternyata urusan jersey nomor 12 sebagai sebuah simbol punya makna kompleks. Di satu sisi, ia mewakili fanatisme dan dedikasi suporter yang tak ternilai.Â
Di sisi lain, ia juga berpotensi dimanipulasi untuk kepentingan komersial.Â
Komitmen dari klub-klub tersebut tidak boleh main-main atau mengabaikan dedikasi para suporternya apalagi, dalam dunia suporter juga dikenal suporter Ultra yang memiliki fanatisme luar biasa terhadap klub-klub yang didukungnya. Bahkan mereka seolah rela bertindak atau melakukan aksi ekstrem, seperti suporter Polandia dan Italia atau Inggris.
Para supoter fanatik terkenal dengan chants dan koreografi mereka yang meriah, bahkan di ajang Euro 2024 juga terlihat. Ketika mereka menguasai jalan-jalan, berparade, mengenakan bendera atau pakaian tradisi yang mewakili kebangsaan mereka.
Fanatisme tersebut juga rentan menjadi tindakan destruktif, anarkis atau berubah menjadi aksi rasisme dan hooliganisme. yang bisa mancoreng nama baik klub atau negara darimana para suporter fanatik itu berasal.
Bagaimanapun fanatisme suporter, adalah salah satu elemen penting dalam sepak bola. Semangat dan dukungan mereka mampu membangkitkan semangat para pemain dan menciptakan atmosfer yang meriah. Tanpa sorak sorai mereka, pertandingan akan menjadi hambar!.
WAGs Suporter "Special"Â
Benar, para WAGs (Wives and Girlfriends of Sportsmen), khususnya para istri pemain sepak bola, kini tak hanya dikenal sebagai pendamping yang glamor karena popularitas dan citra yang dimilikinya. Bahkan juga berperan penting sebagai suporter setia bagi para suami mereka. Dukungan mereka melampaui sorak-sorai di stadion.
Sehingga FIFA membuat aturan baru agar para pemain hanya bisa bertemu dengan para istri yang berperan sebagai WAGs hanya sehari setelah bertanding.
Para WAGs  sebenarnya lebih berperan sebagai pemberi dukungan moral saat suami mengalami cedera, penurunan performa, atau masa-masa sulit dalam karir. Seperti kehadiran Coleen Rooney pendamping setia Wayne Rooney, atau Antonella Roccuzzo yang selalu menyemangati Lionel Messi dengan pesan dan kehadirannya.
Victoria Beckham yang mendongkrak karir David Beckham yang kehadirannya selalu menjadi magnet luar biasa dan di publikasi secara besar-besaran dan bombastis.
Di tanah air juga kita kenal Nurul Akmal yang intens mendukung Asnawi Mangkualam dan Sabrina Chairunnisa, istri Marc Klok aktif mendukung timnas di media sosial dan menunjukkan kebanggaan mereka.
Terlepas dari komersialisasi atau dampaknya yang lebih besar karena kehadirannya, WAGs memang bisa disalahartikan atau disalahgunakan sebagai bagian dari komersialisasi sebuah pertandingan.
Padahal selain itu, hal positif yang dilakukan para WAGs juga untuk membantu keseimbangan mental. WAGs bisa menjadi tempat curhat dan membantu suami mengelola stres dan tekanan mental yang tinggi dalam dunia sepak bola.
Bahkan dampak positif lain juga bisa berimbas pada kegiatan sosial yang dimiliki para pemain sepakbola seperti yang dilakukan Shakira dan Gerard Piqu, terlepas dari pemanfaatan sebagai ajang promosi bisnis.
 Karena tidak bisa dilepaskan antara popularitas dan bisnis yang dimiliki masing-masing WAGs atau pemain yang didukung suporternya.
Setidaknya mereka bisa menjadi role model yang positif jika dikaitkan dengan aktifitas Beberapa WAGs menggunakan platform mereka untuk menyuarakan isu-isu penting, seperti kesetaraan gender dan anti-rasisme.
Sejatinya dibutuhkan keseimbangan dalam melihat fenomena fanatisme suporter sebagai "pemain ke-12", agar dedikasi mereka yang totalitas tidak dicederai dengan nafsu komersialisasi yang berlebihan. Semoga
referensi; 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H