Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Alternatif Co-Working Space dengan Siswa di Pustaka Daerah

28 Juni 2024   17:47 Diperbarui: 29 Juni 2024   23:38 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian ruang baca di pustakwil aceh sumber gambar AJNN net

Sebuah notifikasi yang saya dapatkan dari Quora menceritakan penuturan seorang siswa SMA yang karena tekanan kondisi ekonomi merasa tersisihkan dari teman-temannya. Meskipun tak di bully, namun keputusannya untuk memilih perpustakaan sebagai tempat belajar dan meluangkan waktu menjadi solusi yang menarik.

Menurut penuturannya, ada tiga tempat yang bisa membantunya mengatasi masalah yang dihadapi---Mushala, pustaka dan toilet. Namun pada akhirnya keputusannya itu, dan kondisi ekonomi keluarganya yang membaik akhirnya membuatnya bisa tetap berprestasi, tidak hanyut dengan situasi buruk, meskipun berada dalam tekanan-tekanan masa remaja yang pastinya sangat sulit harus dihadapinya.

Memang, kebutuhan orang untuk membaca memang masih kurang. Faktanya di Indonesia berdasarkan hasil survei Rakuten Insight, mayoritas atau 83% responden Indonesia sering membaca buku lewat smartphone.

Tingkat penggunaan smartphone sebagai media membaca tersebut lebih tinggi dibanding responden negara Asia lainnya, seperti Vietnam (80%) dan Filipina (72%).

Sedangkan responden Indonesia yang lebih sering membaca buku fisik hanya 12%, 

Sudut pustaka yang nyaman untuk bekerja sendiri sumber gambar popularitas.com
Sudut pustaka yang nyaman untuk bekerja sendiri sumber gambar popularitas.com
namun ada 1% yang biasa membaca lewat perangkat tablet. Sebaliknya di Jepang, justru lebih banyak membaca melalui buku fisik dengan proporsi 71%, paling tinggi di antara 13 negara yang disurvei.

Namun dukungan fasilitas yang memadai seperti perpustakaan wilayah yang saya kunjungi ternyata dapat menstimulasi animo masyarakat untuk berkunjung dan membaca buku.

Persentase pemustaka yang datang dari kalangan anak-anak muda yang secara sukarela hadir disana untuk menikmati banyak fasilitas yang ada termasuk buku-buku fisiknya menjadi sebuah trend yang menarik.


Ini bisa menjadi sebuah ruang yang menarik untuk memancing para remaja untuk mulai mencintai buku fisik, di saat kemudahan pencarian referensi bisa dibantu banyak platform yang mempermudah kerja-kerja mereka.

Seperti di banyak negara, kebiasaan membaca buku masih menjadi sebuah kebutuhan yang penting. Sehingga menjadi pemandangan yang biasa jika menunggu di halte atau ruang publik lain, mereka tak selalu memanfaatkan gadget, tapi diluangkan waktunya untuk membaca buku, meskipun hanya sekedar bacaan komik atau novel sebagai pembunuh waktu.

Saya pikir perpustakaan di sekolah juga harus difasilitasi dengan kenyamanan yang lebih baik agar bisa menjadi "alternatif" para siswa untuk "ngadem" saat jam istirahat sekolah atau "jamkos-jam kosong". Jika tidak memiliki pustakapun sekolah bisa menyediakan ruang baca seperti gubuk baca yang diisi dengan koleksi buku yang up date, agar para siswa menjadi tertarik membaca.

Namun yang terpenting memang harus ada kebijakan sekolah mengalokasikan dana secara khusus untuk menambah koleksi buku agar up date di perpustakaan, sehingga para siswa bisa menikmati perkembangan buku-buku bacaan yang baru dan menarik agar tidak bosan.

Selain itu penting juga penting untuk menggalang dukungan dari para alumni agar secara sukarela bersedia untuk menyumbang koleksi buku-buku baru, tidak selalu harus dalam bentuk uang (kuatir menjadi beban).

Sekaligus menjadi ruang silaturahmi, agar para alumni bisa terus terhubung dengan almamaternya dan bisa membantu adik-adik mereka yang masih bersekolah agar lebih berdaya dan bisa mencintai buku sebagai sebuah kebiasaan positif yang penting untuk perkembangan nalar intelektualitas mereka.  

Sehingga pustaka bisa menjadi tempat rileksasi bagi para siswa sekaligus menumbuhkan budaya baca yang masih harus kita kejar harapannya.

Sebuah studi tahun 2013 dari UNESCO menunjukkan, hanya 1 dari 1.000 anak di Indonesia yang senang membaca. Sedangkan studi tahun 2018 dari PISA (Program for International Student Assessment) menunjukkan, skor membaca siswa Indonesia adalah 371 (dibandingkan dengan skor rata-rata 487), dan kemampuan membaca keseluruhan anak Indonesia berada di urutan ke-74 dari 79 negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) . Jadi masih jauh jalan yang harus kita tempuh untuk menumbuhkan budaya baca tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun