Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sastra Masuk Kurikulum Sekolah, Apa Sisi Baiknya?

17 Juni 2024   23:09 Diperbarui: 28 Juni 2024   16:36 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diskusi tentang sastra sumber gambarkemendikbud RI

Ada temuan menarik saat Masa Orientasi Siswa (MOS), saat saya memperkenalkan kelas jurnalistik, banyak siswa baru yang berminat bergabung. Ketika saya tanya minatnya menulis apa, dari 78 orang siswa, lebih dari setengahnya menyebut jika mereka menyukai  "genre" menulis  cerpen dan puisi.

Dan ketika saya tanya lebih jauh mengapa dua jenis tulisan fiksi itu jadi pilihan, jawaban mereka juga hampir sama; mudah, bisa jadi curhatan dan tak ada beban saat menulis.

Saya teringat ketika awal mula belajar menulis, dimulai dari menulis di buku harian atau diary. Karena dulu sebelum adanya gadget, buku harian menjadi salah satu tempat curhatan yang secara tidak langsung mengajarkan kita untuk menulis. Dan rata-rata, karena isinya adalah curhatan maka, jika bukan suara hati, tentu saja biasanya puisi.

Bahkan beberapa yang pernah saya buat dalam buku harian mirip cerpen yang berlatar belakang kisah pribadi. Panjangnya bisa berlembar-lembar dan pernah menyita satu buku harian tersendiri. Sayang sekali catatan tersebut hilang saat tsunami besar 26 Desember 2004 silam.

Intinya bahwa meskipun diary atau buku harian kini tak lagi populer di kalangan remaja atau siswa sekolah, namun curhatan dalam versi yang berbeda juga pasti dilakukan pada remaja. Barangkali karena itulah platform seperti Wattpad, Medium, Verse , Sweek , Commaful , Literotica, dan Poetry Foundation menjadi salah satu rujukan bacaan para remaja.

Bahkan saat saya berkunjung ke sebuah dayah atau pesantren  untuk menemani seorang guru kelas menulis kreatif, lebih dari 80 persen siswa yang masuk dalam kelas jurnalistik menyukai cerpen. Tentu ini menjadi sebuah fakta yang menarik. 

Apakah artinya para siswa di sekolah memang menyenangi tulisan fiksi seperti cerpen?. Apakah sastra menjadi sesuatu yang sebenarnya sangat disukai siswa disekolah?.

Salah satu buku yang masuk dalam kanon sastra masuk kurikulum sumber gambar BBC.com
Salah satu buku yang masuk dalam kanon sastra masuk kurikulum sumber gambar BBC.com

Sastra Masuk Kurikulum

Apakah revitalisasi sastra masuk kurikulum bisa memberi energi baru dengan memberi mereka waktu yang lebih banyak untuk mempelajari puisi, prosa, esai hingga cerpen?.

Mengapa isu ini tiba-tiba menyeruak muncul dan menjadi bahan diskusi yang hangat di ruang publik?.

Sejak Kemendikbudristek menginisiasi program Sastra Masuk Kurikulum, bertepatan dengan tanggal 20 Mei 2024 lalu, dan bersamaan pula dengan Perayaan Hari Buku Nasional, gagasan memasukan sastra dalam pembelajaran tiba-tiba menjadi sesuatu yang menarik.

Apakah ini sebuah kabar baik karena bisa menjadi jalan untuk mengenalkan kembali karya sastra untuk para siswa di era kekinian?.

Atau sebaliknya ini menjadi sebuah masalah atau beban baru bagi para siswa, karena dengan masuknya sastra melalui kurikulum artinya ada intervensi pemerintah yang "memaksa" siswa untuk belajar sastra, dan itu artinya menambah beban bagi para siswa yang sudah dipenuhi dengan berbagai  jenis pelajaran.Tapi bagaimana jika kita kaitkan dengan banyaknya minat siswa terhadap sastra seperti pengalaman saya di sekolah?.

Atau ini justru menjadi  sebuah kabar gembira bagi para sastrawan seperti penyair, cerpenis, maupun novelis yang selama ini berharap karya mereka tidak hanya menjadi penggembira dalam dunia karya tulis dan penerbitan sehingga mereka akan semakin bersemangat untuk berkarya.

Namun seperti banyak dianalisis media, isu ini sekaligus juga bisa menjadi berita buruk terutama bagi sastrawan yang karyanya tidak segmented untuk siswa. Terutama karena isinya yang mungkin tidak sesuai dengan materi pembelajaran di sekolah atau isinya yang hanya diperuntukan untuk kalangan umur 18 tahun keatas.

Sehingga banyak kalangan yang turut menyumbang suara dan urun pikir agar dalam pelaksanan program sastra masuk kurikulum tanpa adanya "politik kanonisasi", karena kanonisasi buku sastra bermasalah dan cenderung bisa menyesatkan. Bagaimana maksudnya?.

Ketika daftar buku sastra yang akan dimasukan dalam kurikulum (buku kanon) dipilih, maka tentu akan ada beberapa buku yang tidak akan pernah bisa masuk ke dalam bahan ajar kurikulum sastra bagi siswa di sekolah.

Pengalaman saya pribadi, sebagai pembaca aktif sejak lama, misalnya novel berjudul Harimau-Harimau (1975) karya Mochtar Lubis-yang dibuatnya di penjara Madiun sebagai bentuk perlawanan kepada Para pemimpin, adalah karya yang luar biasa, setting cerita, gaya penulisan, plot cerita dan segala sesuatu menjadi inspirasi kita dalam menulis sebuah novel.

Apalagi muatanya membicarakan kehidupan para pemimpin negara dan kaitan dengan sosial ekonomi masyarakat kita yang sangat menarik, namun dibalik itu ada beberapa bagian di dalam buku yang menurut saya sangat tidak sesua dibaca oleh anak-anak seusia sekolah.

Demikian juga di beberapa buku novel lainnya, sehingga inilah yang menjadi salah satu jebakan, buku kanon tidak seluruhnya bisa dimanfaatkan para siswa sebagai bahan ajar pendukung sastra masuk kurikulum.

Begitu juga buku-buku karya Pramoediya Ananta Noer, yang berselubung dengan narasi tentang politik yang kental sebagai bentuk pemberontakan  pemikiran terhadap pemerintah. Karya-karya tersebut sebenarnya justru bisa membuka wawasan sejarah baru.

Padahal kabar sastra masuk kurikulum awalnya dianggap sebagai kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kronis pelajaran satra yang selama ini diposisikan sangat lemah, hanya sebagai pelengkap penderita. Sedangkan di luar negeri pelajaran sastra, Literature Studies, Literary Studies, Literature Studies, dan Comparative Literature menjadi salah satu pelajaran yang sangat menarik dan dipelajari dengan suka cita.

Tentu kita mengenal karya William Shakespeare; Romeo and Juliet, Macbeth, Hamlet, Othello, King Lear. Atau karya Charles Dickens; Great Expectations, A Tale of Two Cities, Oliver Twist, dan karya Jane Austen; Pride and Prejudice, Sense and Sensibility. Atau karya George Orwell, Mark Twain, Emily Bront atau karya Homer;The Odyssey.

Karya-karya tersebut dipilih karena mereka tidak hanya menggambarkan kisah yang berharga secara moral dan historis, tetapi juga menawarkan pemahaman mendalam tentang gaya penulisan, tema universal, dan analisis karakter yang relevan bagi pengembangan pemikiran kritis siswa.

Studi atas karya-karya sastra klasik ini juga membantu siswa memperluas wawasan budaya mereka serta membangun apresiasi terhadap warisan sastra global.

Dalam beberapa dekade terakhir, negara kita sedang  memperluas akses pendidikan dasar secara signifikan. Harus diakui bahwa bersekolah tidak bersinonim dengan belajar. Masih cukup banyak anak Indonesia yang bersekolah tapi hasil belajarnya belum ideal, termasuk untuk kecakapan mendasar, seperti literasi membaca.

Ilustrasi diskusi tentang sastra sumber gambarkemendikbud RI
Ilustrasi diskusi tentang sastra sumber gambarkemendikbud RI

Polemik Sastra, Tantangan dan Solusinya 

Apakah nantinya revitalisasi sastra dalam kurikulum dapat menjadi berkah atau beban tergantung pada sudut pandang dan implementasinya. Tergantung pada seberapa besar minat siswa terhadap sastra.

Pengembangan keterampilan menulisnya yang tidak hanya membantu dalam pengembangan kemampuan menulis kreatif tetapi juga memperkaya literasi dan pemahaman bahasa. Ini penting dalam konteks pendidikan untuk membangun keterampilan berpikir kritis dan ekspresi diri yang lebih baik.

Demikian juga dengan implikasi kurikulum, masuknya sastra dalam kurikulum dapat memberikan nilai tambah dalam pengajaran yang lebih holistik dan beragam. Namun, ada kekhawatiran bahwa ini mungkin menambah beban belajar siswa jika tidak diintegrasikan dengan baik dengan materi pelajaran lainnya.

Berbagai solusi yang dapat ditawarkan salah satunya dengan mengintegrasikan sastra secara menyeluruh dalam konteks pembelajaran yang lebih luas, siswa bisa melihat relevansinya dengan mata pelajaran lain dan tidak merasa terbebani.

Namun yang terpenting, adalah memastikan implementasi program sastra dalam kurikulum tidak hanya menjadi formalitas belaka, tetapi juga diimplementasikan dengan cara yang memotivasi dan membangkitkan minat siswa secara nyata. Ini bisa dilakukan melalui pendekatan pembelajaran yang inovatif dan fleksibel.

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi mungkin bisa membantu mengintegrasikan sastra dengan mata pelajaran lain secara lebih organik. Misalnya, keterampilan menulis kreatif dari cerpen dan puisi dapat diintegrasikan dengan pembelajaran bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Ini tidak hanya meningkatkan keterampilan literasi siswa tetapi juga memperkaya pengalaman belajar mereka.

Memastikan bahwa buku-buku yang dipilih untuk kurikulum mengakomodasi berbagai minat, latar belakang, dan pengalaman siswa. Ini termasuk bukan hanya sastra klasik atau kanonik, tetapi juga sastra kontemporer dan karya penulis lokal yang relevan dengan realitas sosial dan budaya siswa saat ini.

Ini mungkin bisa mengakomodir persoalan terkait penggunaan buku-buku teks yang dipilih secara kanonik yang dapat menjadi kontroversial karena mungkin tidak sesuai dengan konteks dan minat siswa saat ini, namun dengan mempertimbangkan berbagai macam bahan bacaan yang relevan dan menginspirasi, yang  mencakup berbagai perspektif dan pengalaman kehidupan bisa menjadi jalan keluar.

implementasikarya sastra di panggung kreatifitas sumber gambar antaranews.com
implementasikarya sastra di panggung kreatifitas sumber gambar antaranews.com

Memahami Nilai-Nilai Ke-Indonesia-an dari Sastra

Sebenarnya yang diharapkan oleh sebagian kalangan, terutama dari kalangan pendidik dan sastrawan adalah sebuah momentum, dimana karya-karya sastra bisa dihadirkan secara lebih terbuka dan transparan. Terutama berkaitan dengan banyak pesan penting yang terkandung didalam karya sastra yang bisa memberi wawasan baru tentang ke-Indonesia-an pada generasi sekarang.

Ada sejarah yang harus diluruskan melalui karya-karya yang bisa dijadikan rujukan pendapat mereka tentang bagaimana Indonesia yang sebenarnya.

Kita bisa melihat dengan reaksi guru, bahkan para orang tua murid terhadap 177 buku sastra yang direkomendasi sebagai buku kanon untuk program sastra masuk kurikulum, termasuk buku karya Pramoedya yang pernah dianggap kontroversi dan sempat dilarang terbit.

Apa sebenarnya yang menjadi muatan karya-karya sastra tersebut?. Padahal didalamnya juga memuat tokoh-tokoh perempuan yang berdaya. Seperti dikemukakan oleh seorang guru di Maumere, NTT, “Justru dengan menghilangkan kisah-kisah sejarah itu, bangsa kita kehilangan jati diri, bangsa yang berdiri di atas narasi palsu. Saya kira sudah saatnya bangsa kita sudah harus lebih jujur akan eksistensi dirinya."

Dibutuhkan sosialisasi, pembinaan, pembekalan, kepada para tenaga pendidik, apalagi seperti dikemukakan Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud-Ristek, Anindito Aditomo, bahwa setelah peluncuran program Sastra Masuk Kurikulum, buku-buku yang direkomendasikan sudah resmi menjadi bagian dari bahan pembelajaran Kurikulum Merdeka.

referensi:1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun