Diantara dampak yang paling menarik dari kebijakan tapera adalah  berkurangnya jumlah tenaga kerja. Bagaimana Tapera bisa berdampak sejauh itu sebagaimana dianalisis ekonom dan Direktur Center of Economic and Law StudiesÂ
Dalam situasi ekonomi sedang kusut, pilihan para pekerja tentu memanfaatkan uang yang ada di tangan untuk memenuhi kebutuhannya mereka yang mendesak, daripada memikirkan tabungan untuk rumah yang  mungkin belum urgen dan tak jelas kepastiannya sekarang ini.
Apalagi bagi mereka yang sejak lama telah menabung rumah sebelum ada instruksi pemotongan dari Pemerintah. Tentu saja akan memilih tak ikut program potongan Tapera jika memang boleh dikecualikan.
Sehingga kebijakan Pemerintah pukul rata kepada seluruh pekerja menjadi kebijakan yang kemudian menuai polemik. Apalagi kebijakan lama yang dirubah dengan wajah baru yaitu Bapetarum juga masih menyisakan masalah yang belum tuntas.
Wajar jika kemudian memunculkan praduga bahwa dana segar hasil potongan akan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yang mungkin belum dikabarkan kepada publik. Karena dana yang mengendap hingga triliunan rupiah tentu saja tak mungkin dibiarkan menjadi dana abadi yang hanya akan dimanfaatkan bagi hasil atau bunganya saja.
Ancaman Daya Beli dan Lesunya Pertumbuhan EkonomiÂ
Kekuatiran itu menjadi sebuah realitas yang wajar dan mungkin bisa terjadi. Dengan "pemaksaan" pemotongan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3 persen dari gaji  para pekerja, berpotensi mengurangi daya beli masyarakat atau kekuatan belanja karena sebagian gajinya telah berkurang. Dan implikasinya adalah menurunnya konsumsi masyarakat.
Dampaknya secara makro, ekonomi akan mengalami lesu darah-anemia dan akan tumbuh negatif. Apakah dampaknya memang akan seburuk itu?. Bisa saja, apalagi dalam situasi ekonomi yang kusut sekarang ini. Sehingga kebijakan ini dinilai oleh banyak pengamat ekonomi hadir disaat yang tidak tepat.
Tentu ingat ingat bagaimana transisi setelah pandemi diguncang dengan geopolitik perang di Balkan yang berdampak pada naiknya dari US$ 82 menjadi US$ 85 per barel. Â Sebelumnya kita juga diguncang dengan lenyapnya minyak goreng sehingga memicu kenaikan inflasi yang meluas.
Apalagi jika kita jeli mengkalkulasi, potongan 3 persen jika tidak diikuti dengan dukungan bunga yang tinggi atas tabungan, tidak bisa mengganjal nilai inflasi.
Saat ini saja, BI rate yang masih tinggi, yakni di angka 6,25 persen, sehingga beban-beban yang terjadi semuanya mengurangi daya beli.
Ketentuan tentang Tapera, Â kebijakan pemerintah yang mewajibkan potongan gaji sebesar 3 persen bagi pegawai negeri sipil dan karyawan swasta untuk iuran yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Pasal 15 ayat (2) PP menyebutkan besaran simpanan peserta Tapera untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen. Setiap pekerja wajib menjadi peserta Tapera, termasuk pegawai negeri sipil (PNS), karyawan swasta, dan pekerja mandiri (freelancer) yang tertuang dalam Pasal 7 PP Nomor 25 Tahun 2020.
Masyarakat terlanjur telah kehilangan kepercayaan yang meluas terhadap berbagai jenis kebijakan Pemerintah yang dinilai tak sejalan dengan situasi krisis yang sedang terjadi saat ini.
Bahkan hantamannya yang akan dirasakan oleh para pekerja jauh lebih besar dari itu. Sebagaimana analisis yang disampaikan oleh ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, bahwa kebijakan Tapera dianggap memberatkan pekerja.
Efek paling jelas adalah berkurangnya jumlah tenaga kerja, bagaimana penjelasannya?. Kebijakan Tapera bisa menghilangkan 466,83 ribu pekerjaan karena iuran Tapera mengurangi konsumsi dan investasi oleh perusahaan. Ini tidak seimbang dengan penerimaan negara sebesar Rp 20 miliar, dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain, Â saat daya beli turun dan ekonomi melesu.
Bahkan menurut Celios, kebijakan Tapera dari hasil simulasi ekonomi menyebabkan penurunan produk domestik bruto atau PDB sebesar Rp 1,21 triliun. Artinya, kebijakan ini menunjukkan dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.
Rincian perhitungan menggunakan model input-output menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp 1,03 triliun. Sementara, pendapatan pekerja turut terdampak dengan kontraksi sebesar Rp 200 miliar.
Pemerintah Harus Mendengarkan Suara Publik dan Transparan
Berbagai narasi menyikapi kebijakan kebijakan patut menjadi renung kaji kita secara mendalam dan kritis. Dan beberapa catatan  berikut adalah sebuah hasil analisis yang sangat logis menjadi jalan keluar dari buntunya masalah tabungan Tapera yang masih menyisakan polemik dan pro kontra hingga saat ini.
Jadi bagaimana cara mengatasi masalah backlog perumahan?. Kebijakan tersebut tidak boleh pukul rata, terutama agar Pemerintah mempertimbangkan pemberlakuan tabungan Tapera hanya diperuntukkan untuk ASN dan TNI/Polri. Sedangkan  pekerja formal dan mandiri diberi pilihan yang bersifat sukarela.
Pertimbagan bahwa hingga saat ini masih muncul pro kontra, salah satunya disebabkan akrena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah sedang terjun bebas.Â
Sehingga transparansi pengelolaan dana Tapera termasuk asesmen imbal hasil (yield) dari tiap instrumen penempatan dana harus dijelaskan secara detil dan butuh sosialisasi yang luas, agar penerimaan dan kepercayaan publik kepada pemerintah bisa kembali.
Apalagi jika tata kelola dana Tapera didukung oleh keterlibatan aktif  KPK, dan BPK, sehingga pemeriksaan internal dan eksternal serta audit dapat dilakukan untuk memastikan transparansinya.
Seiring dengan meningkatkan tabungan dari hasil potongan, tentu akan berdampak pada demand terhadap rumah yang meningkat , sementara dari sisi supply penyediaan tanah justru tidak akan bertambah, sehingga bisa memicu kenaikan harga tanah yang tidak sehat.
Terutama berkaitan dengan spekulasi tanah yang menjadi dasar kenaikan ekstrem harga hunian.Â
Dan kebijakan penurunan tingkat suku bunga KPR baik fixed (tetap) maupun floating (mengambang) dengan efisiensi NIM perbankan dan intervensi kebijakan moneter Bank Indonesia harus menjadi kebijakan yang tak boleh diabaikan.
Apalagi jika seperti prasangka publik, bahwa kehadiran tabungan Tapera ini sarat dengan banyak kepentingan lain yang tersembunyi, meskipun kemungkinan itu masih harus dibuktikan, tidak boleh hanya berupa prasangka. Dan jangan sampai di lain hari terbukti semuanya benar.
Pada siapa lagi rakyat akan menaruh kepercayaan jika terus diberi janji, tapi juga terus diingkari?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H