Jika berpikir realistis sebenarnya kebijakan Pemerintah soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), harus dikritisi dengan cermat. Apalagi pengalaman kebijakan Pemerintah lain, banyak yang membuat blunder atau masalah.
Apalagi nantinya gaji para pekerja swasta, ASN dan pekerja mandiri akan dipangkas 3% untuk simpanan Tapera. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ini sebenarnya tidak tepat waktu, dan penuh risiko dipermainkan banyak kepentingan.
Mengingat bahwa, "luka pandemi yang menyayat ekonomi kelas bawah-menengah belum lagi kering". Dan janji sebelumnya soal Program Sejuta Rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya untuk kaum pekerja atau buruh juga belum kunjung terwujud.
Dan makin ditunggu terasa makin tidak realistis. Janji ini akan semakin sulit dengan kebijakan yang cenderung seperti formalitas, apalagi jika kita menyandingkannya dengan inflasi.
Pada kenyataannya kenaikan gaji para pekerja atau buruh selalu kalah langkah dari inflasi yang bergerak laksana deret ukur dan muncul tak kenal waktu.
Sedangkan gaji bergerak dengan deret hitung yang lambat dan konstan. Sehingga janji impian rumah, rasanya akan hanya tinggal janji yang sulit terwujud dari program yang tidak optimal.
Kini kebijakan pemotongan gaji buruh untuk mendukung program tabungan perumahan rakyat atau Tapera justru menuai masalah baru yang makin menjepit. Apalagi potongan gaji mencakup semua jenis pekerja, baik pekerja mandiri atau bukan penerima upah.
Meskipun potongan terus terjadi dalam ketidakpastian nasib para buruh, bukti rumah pun tak pernah terlihat wajahnya dengan transparan.Padahal paling tidak, bisa memberi harapan kepada para buruh, bahwa lambat atau cepat mereka bisa memiliki rumah impian dari tabungan potongan gajinya itu.
Jika belum terwujud juga, kemana mengendapnya triliunan dana milik para pekerja yang dikelola badan Tapera itu sekarang ini?.
Seperti Menabung di Bawah Bantal
Masalahnya yang juga krusial adalah bahwa para buruh itu kelompok yang paling rentan "ditendang" jika bermasalah, bagaimana jika kenyataan itu yang terjadi. Tentu akan makin menyulitkan para buruh sekedar menyimpan mimpinya itu. Belum lagi pada wujud rumah impian sebenarnya.
Dengan tekanan-tekanan tersebut, wajar jika para pekerja merasa was-was dengan kebijakan yang terlihat baik dan penuh harapan, namun sebenarnya menjadi beban berat. Seolah seperti menyimpan uang di bawah bantal,uang tak pernah bertambah, tapi sewaktu-waktu bisa hilang begitu saja!.
Kondisi buruh yang kini mudah di PHK dan terpaksa berganti-ganti perusahaan semakin menyulitkan buruh menggapai rumah lewat Tapera.
Kebingungan publik bertambah kuat karena meskipun Pemerintah telah mengalokasikan Rp 2,5 triliun sebagai modal awal program Tapera dalam APBN tahun 2018, ternyata suntikan modal itu masuk kedalam Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).