Teman saya itu memutuskan untuk membeli sebidang tanah setelah ditawari seorang tetangganya yang pindah keluar kota. Sepetak tanah itu tak terlalu luas. Lantas ia membeli sebuah rumah bongkar pasang bekas shelter pengungsi tsunami.
Ia juga memperluas dapur agar area sumur bisa masuk didalamnya dengan tambahan seng bekas.Â
"setidaknya untuk tahun depan tak lagi pusing mikirin mau kontrak rumah dimana, dan harus perpanjang lagi", ujarnya dengan muka lebih berseri.
Meskipun sedikit jauh dari tempat kerja, namun jika dihitung semua pengeluarannya untuk alokasi bensinnya setiap hari, masih bisa tertutup dibanding mengontrak rumah lagi. Dan setelah "rencana besar" itu terwujud, ia semakin bersemangat menambah pundi-pundi tabungannya.
Ia menggunakan sisa waktunya dirumah bekerja sebagai tenaga paruh waktu di sebuah peternakan kambing perah. Sedangkan istrinya sekarang lebih serius dengan hobi kulinernya, menitipkan kue di beberapa titik pusat jajanan.Â
Padahal selama ini, ide itu tak pernah terpikirkan, namun keputusan untuk bisa memiliki rumah sendiri yang "dipaksakan", akhirnya membuat mereka berjuang lebih keras agar impiannya terwujud.
Di waktu akhir pekan, menjadi waktu mereka mengotak-atik rumah mungil itu. Selain mengisinya dengan berkebun menanam tanaman di polibag karena halamannya terbatas, mereka mengecat dan memperbaiki sendiri apa yang bisa mereka lakukan.
Bahkan kini mereka menjadi lebih kreatif. Kotak buah yang bisa mereka peroleh gratis, mereka sulap menjadi seperangkat meja dan kursi taman, setelah di beri tambahan kain perca yang tak terpakai, dan dibalut dengan bekas spanduk yang berwarna-warni. Unik sekali.
Dimulai dari rumah mungil, rumah tumbuh itu terus bertambah besar seperti impian mereka.
Bukan Impian yang Tak Mungkin