Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Marbut Masjid, Rahasia Rezeki Tak Terduga dan Aturan Kompensasinya

21 April 2024   18:45 Diperbarui: 21 April 2024   21:15 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi marbot di sebuah masjid | sumber gambar portal berita pemerintah kota jogja

Definisi/arti kata 'marbot' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ( marbut ) penjaga dan pengurus mesjid;

Sewaktu saya kecil, surau atau meunasah tepat berada di depan rumah dinas yang saya tinggali. Selain sebagai tempat shalat, juga menjadi balai pengajian.

Para ustadnya adalah para marbut masjid yang merangkap siswa dan mahasiswa perantau. Mereka hidup prihatin dan tinggal di rumah disisi masjid yang juga diperuntukkan sebagai gudang perlengkapan masjid, karena suraunya tidak terlalu besar. Tapi seiring waktu mereka semua pada akhirnya menjadi "orang besar yang terpandang".

Sanadi (70) menyapu beranda Masjid Nurul Iman Dusun Kuang Jukut, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menjalankan tugasnya dengan ikhlas s
Sanadi (70) menyapu beranda Masjid Nurul Iman Dusun Kuang Jukut, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menjalankan tugasnya dengan ikhlas s

Marbut adalah sebutan seseorang yang diberi tugas untuk merawat dan membersihkan masjid, mulai dari mengepel, menyapu lantai dan halaman, bahkan sampai bertanggung jawab dalam hal ibadah sholat. Selain bertugas untuk membersihkan masjid, marbot juga bertanggung jawab akan kelancaran shalat di masjid tersebut

Di kampus tempat saya tinggal, sebagian marbut adalah mereka yang berstatus mahasiswa. Bahkan mereka adalah para perantau yang mendedikasikan semua waktunya untuk studi dan bekerja sebagai marbut masjid.

Mereka mengatur waktunya bergantian. Siapa yang membersihkan, siapa yang azan, bahkan menjadi imam jika berkebetulan imam kampung tidak hadir.

Bukan itu saja, bahkan ternyata mereka juga para hafizh atau penghafal Al-Qur'an juga. Ketika mereka berkomitmen menjaga masjid dan tinggal di dalamnya, mereka bertanggungjawab mengelola manajemen masjidnya.

Ilustrasi marbot di sebuah masjid | sumber gambar portal berita pemerintah kota jogja
Ilustrasi marbot di sebuah masjid | sumber gambar portal berita pemerintah kota jogja

Apalagi saat ramadan. Mereka juga bekerja ekstra menyiapkan takjil untuk berbuka, persiapan tarawih dan witir, serta tadarus. 

Bahkan selama ramadan ada tambahan tugas menyelenggarakan Qiyamul Lail atau shalat malam. Itu artinya mereka juga mengatur jadwal shalat di tengah malam.

Tanpa disadari mereka berada di garda depan bagi keberlangsungan aktifitas dan kemakmuran di masjid. 

Namun banyak dari mereka mendapatkan penghargaan ala kadarnya. Selain fasilitas akomodasi tinggal dimasjid dan makan serta sedikit uang dari hasil tabungan atau sedekah jariah para jamaah. 

Bahkan ada yang hidupnya sama sekali tidak sejahtera dan memilih tetap bekerja sebagai ibadah dan pengabdian.

Namun niat utama mereka menjaga masjid, membuat mereka mengesampingkan kondisi tersebut dan memilih bekerja dengan ikhlas. Namun kondisi tersebut tentu juga tak boleh diabaikan, bagaimanapun kesejahteraan para marbut masjid harus mendapat prioritas.

Ilustrasi marbot di sebuah masjid | sumber gambar dream co.id
Ilustrasi marbot di sebuah masjid | sumber gambar dream co.id

Rezeki Tak Terduga

Setelah beberapa tahun pindah ke rumah dinas lain di Kampus, saya jarang bertemu dengan para marbut yang juga ustad mengaji saya itu.

Hingga kemudian secara tak terduga bisa bertemu kembali, dan yang mengejutkan hampir dari mereka semuanya menjadi orang penting di kampus, bahkan bisa melanjutkan studi hingga Strata Magister. 

Sebagian menjadi dosen, atau menjadi pegawai di kampus.Bahkan ada yang menjadi kepala dinas atau kepala sekolah dan pemilik dayah atau pesantren.

Ternyata selama mereka bekerja ikhlas di meunasah yang kecil itu, penghargaan yang di berikan Tuhan kepada mereka jauh lebih besar. Berupa kemuliaan yang tidak terduga.

Dari kampus sendiri, sebagai bentuk penghargaan memberi kesempatan mereka mendapatkan beasiswa pendidikan, sebagai pengganti dedikasi mereka menjadi ustad pengajar mengaji.

Mereka juga berkesempatan bisa bekerja di kampus di sela waktu kuliah dan waktu mereka bekerja menjaga masjid. Rezeki seperti itu tak pernah berhenti mengalir, seperti penuturan mereka.

Padahal awalnya mereka sama sekali tak pernah memikirkan adanya peluang itu. Semata hanya agar bisa memiliki tempat berteduh selama mereka merantau dan bisa mengajar mengaji. Karena mereka juga berasal dari dayah di kampung.

Ustad Armiadi Musa, kini Dr Armiadi Musa MA, adalah salah satunya, kini telah menjadi  Kepala Baitul Mal Aceh, dan telah menjadi pengajar di magister ekonomi Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry (UIN Ar-Raniry), begitu juga  dengan Dr. Mawardi dan deretan ustad lain yang kini telah menjadi pegawai dan dosen.

Kerja keras disertai keprihatinan mereka selama mereka tinggal di meunasah, hingga kemudian direhab perlahan menjadi bangunan yang lebih layak ternyata "dibayar" dengan limpahan rezeki dari Allah yang tidak terduga.

Saat bertemu mereka, dan bercerita saat tinggal di meunasah dengan perjuangan hidup sederhana, pada akhirnya banyak hikmah dan berkah yang mereka peroleh dari tempat yang tak disangka-sangka.

Begitulah, ketika kita mendedikasikan waktu dan kesempatan kita dengan ikhlas, akan ada rezeki yang diperuntukkan untuk kita.

Kini di sebagian besar masjid dan surau di kampus banyak diisi para hafizh yang memanfaatkan masjid menjadi tempat tinggal dan kesempatan mereka bisa merawatnya. Semoga semuanya didasarkan pada niat yang ikhlas, bukan karena ada niatan lain.

Seperti cerita dari seorang marbut tua dikampung, selain bisa mengurus masjid, baginya tugas itu menjadi sebuah bentuk pengabdian. Selain membuat hatinya menjadi lebih tenang. Bahkan ia mengaku salat lima waktunya semakin terjaga. Menjadi seorang marbut itu seperti menabung pahala.

Perlukah Mengatur Kesejahteraan Marbot?

Para marbut masjid perlu mendapat perhatian dan kesejahteraan khususnya dari pemerintah meski pekerjaan mereka bersifat sukarela. Pemerintah melalui Kementerian Agama berupaya menyejahterakan mereka salah satunya dengan menerbitkan pedoman pengupahan bagi marbut masjid.

Sebagaimana disampaikan Guru Besar Bidang Sosiolog Agama Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq, Jember, Khusna Amal, bahwa marbut umumnya merupakan orang-orang yang mampu mengisi sektor pekerjaan informal. Sama dengan pekerjaan informal lainnya, namun jaminan kesejahteraan marbut rendah.

Dengan adanya pedoman itu, maka kesejahteraan para marbut akan semakin bisa diberdayakan, bukan hanya sekedar pekerjaan sukarela dan pengabdian meskipun bernilai ibadah yang sangat besar, melebih inilai materi yang diterimanya.

Namun dalam konteks marbut sebagai sebuah pekerjaan informal, tetap membutuhkan dukungan finansial agar lebih fokus bekerja dan juga beribadahnya. 

Tentu saja pedoman itu nantinya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing masjid, tidak dimaksudkan sebagai aturan yang "memaksa". Seperti halnya aturan yang diberlakukan pada UMR atau Upah Minimum Regional yang juga berbeda-beda di setiap daerah.

Semoga pedoman itu bisa mendorong semakin diperhatikannya kompensasi dan kesejahteraan para marbut, agar bekerja dan beribadah dengan lebih tenang, untuk kemakmuran masjid kita.

Bahkan BPJS Ketenagakerjaan sejak tahun 2023 bakal memperluas jangkauan kepesertaan terutama untuk Bukan Penerima Upah (BPU) atau pekerja informal. 

Pemulung dan marbot masjid menjadi sasaran utama peserta baru. Jenis pekerja ini adalah salah satu yang sangat rentan mengalami kecelakaan kerja sehingga perlu sekali diberi perlindungan.

BPJS mendorong inisiasi tersebut,agar  mereka ikut serta dan keluarga mereka bisa sejahtera jika terjadi risiko. Tentunya hal itu masih membutuhkan kajian yang mendalam.

Bahkan berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, besaran iuran untuk BPU termasuk kecil, namun perlindungan yang didapatkan akan maksimal.

Misalnya, jika mengambil dua program seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) dengan asumsi gaji terendah Rp1 juta, maka iuran per bulan hanya Rp16.800.

Kemudian, jika mengambil tiga program, yakni JKK, JKM dan Jaminan Hari Tua (JHT) dengan asumsi gaji Rp1 juta, maka iuran ditambah Rp20 ribu menjadi Rp36.800 per bulan.

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Banyuwangi bahkan telah menginisiasi penyerahan secara simbolis bantuan BPJS Ketenagakerjaan kepada 800 marbot masjidnya (28/2/2024). Program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan bagi marbot adalah bagian dari komitmen Banyuwangi untuk melindungi warganya melalui program jaminan sosial.

Semoga orientasi orang bekerja sebagai marbut tak melenceng dari tujuan semula. Atau justru menimbulkan persoalan baru karena telah menjadi pekerjaan informal yang memiliki kompensasi yang menjanjikan kesejahteraan baru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun