Arti kata keki menurut - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, keki/ke*ki/ /kki/ a 1 merasa tidak senang, mendongkol, kesal (terhadap orang lain): ia merasa -- karena tidak satu pun pekerjaannya yang mendapat pujian
Persis seperti pertanyaan yang selalu bikin traumatis para jomblo, saat lebaranpun yang sudah keluarga apalagi yang mudik pasti juga kena semburan banyak pertanyaan.
Ada yang bikin keki, gara-gara "gaya" berbeda sedikit saatlebaran ditanya soal kesuksesan. Mau dijawab iya salah, dijawab tidak juga "sudah dibuktikan" dengan penampilan. Karena selain keluarga atau teman, kadang-kadang suka ada yang aneh dengan pertanyaanÂ
Saat mudik lebaran menjadi kesempatan kita bisa bertemu dengan anggota keluarga lain atau teman lama. Pertanyaan paling sering tentu soal "pekerjaan". Apalagi yang bisa jadi bahan diskusi paling seru saat ketemuan dengan keluarga atau teman lama.
Maka tak heran jika cerita kita "ketinggian" maka dampaknya saat arus balik lebaran akan ada orang yang "nempel" ikut ke kota. (persis seperti cerita disinetron).
Pertanyaan Paling Favorit
Jika yang jomblo tentu harus bersiap dengan pertanyaan, "Kapan Nikah?". Jika belum punya pasangan bisa jadi alasan untuk menjodohkan. Atau seperti biasa berbasa-basi dengan bilang "Nanti nikahnya bulan Mei--Meibe yes-Meibe No!". Atau malah dijodohkan dengan anak saudara atau teman atau malah tetangga sendiri.
Kemarin saja saat ketemu "reuni bukber" dengan teman lama, pertanyaan "Bagaimana dengan anak gadisnya, apa sudah ada calon--siapa tau bisa besanan?", jadi pertanyaan basa-basi yang paling banyak ditanya teman. Padahal si anak saya, baru tahun ini masuk SMA.
Tapi bagi teman yang jomblo, memang menjadi saat yang "menegangkan" jika ditanya soal yang satu ini. "Belum ada yang cocok", kata teman saya yang sudah kepala empat yang masih tetap jomblo, menjawab dengan santai karena orangnya memang tak pernah "seriusan".
Tapi juga ada pertanyaan lain yang sering jadi bahan candaan juga diantara teman lama saat ketemu mudik. Apalagi kalau bukan soal anak. Meskipun bercampur antara risih dan candaan, "sudah berapa anaknya?" jadi pertanyaan lainnya yang sering ditanya jika kita pulang kampung atau main ke rumah teman cuma berdua.
Bagi yang benar-benar tidak tau mungkin akan menjadi pertanyaan biasa, tapi bagi yang tau juga kadang masih dibawa lucu--syukur-syukur sambil didoakan. Malah ada yang sambil ditambahi celetukan, "eh semoga nanti langsung dapat anak kembar".Â
Tapi bagi anak saya yang tahun ini selesai kuliahnya, pertanyaannya jadi tambah banyak saat bertemu dengan para saudara dan  teman. Dimulai dari basa-basa, "Wah sudah besar ya, ganteng lagi", "Sudah selesai kulihanya?", dilanjutkan dengan pertanyaan "sudah punya pacar?". Jika sudah begitu, anak saya cuma senyum-senyum saja, dan akhirnya berberbasa-basi.Â
Makanya ia paling malas diajak jalan ke rumah teman, dan memilih jalan-jalan sendiri ketemu teman.
Menjawab dengan Baik dan Bijak dan Perlunya Silaturahmi
"Iya tante, Om, kuliahnya belum selesai--nanti cari kerja dulu, baru melamar anak orang" jawab anak laki-laki saya berusaha menjawab sambil--menjawab pertanyaan lain soal, "sudah punya pacar apa belum?". Sekali dayung dua tiga  pulau terlampaui.Â
Tapi jika temannya sudah dikenal dan dikenal suka humor, jawaban Meibe Yes dan No biasanya akan jadi bahan candaan yang "baik dan benar" untuk ice breaking.
Saya bilang  meskipun kesal dan harus berbasa-basi, menjawab pertanyaan para orang tua juga harus tetap baik. Belajar menjawab dengan bijak akan lebih baik. Seperti jawaban di atas tadi.
Sebenarnya jenis pilihan jawaban sangat tergantung seberapa kita mengenal anggota keluarga lain atau teman tersebut. Semakin baik dan dekat serta akrab hubungannya akan semakin mudah menjawabnya pertanyaan yang lucu dan "sensitif".
Makanya perlu bagi para orang tua membawa anaknya turut serta saat ketemu keluarga lain atau teman kita. Pertama tentu saja untuk silaturahmi atau menjalin atau mempererat pertemanan atau persahabatan agar tidak terputus.
Kedua; bisa menjadi jalan mendapat rekomendasi yang diperlukan, meskipun bukan tujuan utama. Seperti saat bertemu dengan anggota keluarga yang lama tak ketemu karena bersekolah dan bermukim di Jerman, menjadi kesempatan ketika anak ditanya apa spesialisasinya dan apa rencana lanjutan kuliahnya.
Dengan tau portofolio, bisa menjadi peluang dan kesempatan ketika akhirnya diajak untuk berkesempatan kuliah di negeri orang mengikuti jejaknya. Atau ketika mengetahui kemampuan kita, kita mendapat tawaran pekerjaan atau kerjasama dari anggota keluarga jauh atau teman lama.
Itulah gunanya silaturahmi, makanya benar jika ada orang bijak bilang,"pertemanan bisa membawa rezeki". Jadi saat bertemu keluarga lain atau teman, berusaha menjaga agar tetap baik dan bijak. Meski dihujani pertanyaan yang lucu, aneh atau bikin keki, bisa saja membawa "keberuntungan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H