Meski ini bukan hal baru, namun para juri lebih melihat bagaimana kreatifitas memadupadankan sarung dengan berbagai jenis busana lain , seperi untuk pakaian kantor, pakaian pesta dan pakaian santai untuk berjalan-jalan.
Kreasi yang disesuaikan dengan selesa para anak muda menjadikan kreasinya bisa diterima tanpa melihat "kekurangan" sarung sebagai busana yang selama ini memang tidak diperuntukkan untuk kebutuhan pakaian kantor atau pakaian jalan-jalan.
Tentu kita ingat saat pergelaran Festival  Sarung Indonesia 2019 di Plaza Tenggara Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, ,festival yang ditujukan untuk menghidupkan kesadaran dan kebanggaan generasi muda akan kekayaan budaya Indonesia.Â
Bagi masyarakat Indonesia, sarung atau kain sarung memang bukan hanya digunakan sebagai pelengkap untuk beribadah, tapi juga dipakai untuk pelengkap berbusana, selimut ketika tidur, bahkan untuk bermain dan masih banyak lagi.Â
Dan jenis busana ini tidak mengacu pada satu identitas agama tertentu saja, tetapi dimiliki oleh semua kalangan, sifatnya plural, dan bisa digunakan oleh siapa saja, baik pria maupun wanita.
Sarung masuk ke Indonesia sekitar abad ke-14 dari Yaman. Kini, sarung sudah menjadi simbol budaya bangsa yang patut dibanggakan.Â
Dan daya tarik sarung memang tak sedetil Batik, jika ingin kualitas yang baik  beberapa hal yang menjadi pertimbangannya, cukup mempertimbangkan kualitas bahan, motif, kerapatan, jahitan, merek serta harganya.
Di Aceh kini menjadi salah satu cenderamata baru, kreatifitas yang memanfaatkan sarung dengan memberi motof atau sulaman yang berciri khas Aceh. Beberapa anak muda yang kreatif memanfaatkan sarung menjadi produk adi busana dan melabeli produknya dengan nama yang tak jauh dari nama sarong.
Di Aceh kain sarung di sebuh "Ija Kroeng" dan salah satu produk UMKM yang terkenal di Aceh juga mengambil nama tersebut dan memberi tanda produknya yang khas dengan motif bordiran Aceh.