Sore itu hari agak mendung menjelang waktu berbuka puasa, ketika seorang perempuan dengan seorang gadis kecil tiba-tiba berdiri di depan rumah saat saya membuka pintu. Ia menawarkan beberapa bungkus "tiram". "Belilah bu, untuk beli baju lebaran", katanya memohon.Â
Sebenarnya saya baru pulang belanja, jadi semua jenis belanjaan telah lengkap. Agak sedikit  ragu saya bilang, saya baru pulang belanja. Tapi hati kecil memberontak, akhirnya saya bilang,"tunggulah sebentar", dan saya segera masuk kedalam untuk mengambil uang berencana membeli tiramnya.
Tak lama saya keluar, perempuan itu telah pergi. Â Saya berlari kejalan di depan rumah, tak ada lagi tampak ia berjalan atau memakai kendaraan. Begitu juga ketika saya lihat ke kekejauhan karena jalanan itu melingkar tak berbatas pandangan. Ia hilang misterius. Saya masuk ke dalam rumah dengan perasaan tidak karuan.
Mungkinkah ia "malaikat" yang menguji kebaikan kita. Dalam hati saya hanya berucap syukur karena saya tak menolaknya.
Jika  mengingat kejadian di sore ramadan beberapa tahun lalu, saya selalu tergetar, dan peristiwa itu selalu menguatkan saya untuk berbuat kebaikan. Kata banyak orang bijak, bukan besar atau kecil pemberiannya, tapi pada bentuk pemberian kita yang tulus.
Setiap tahun, saat bulan Ramadan tiba, kita selalu diingatkan agar bersedekah, berbagi dan peduli terhadap sesama, terutama mereka yang kurang beruntung.
Apalagi di tengah riuh rendahnya persiapan menjelang Idul Fitri, ada satu sisi yang sering kali luput dari perhatian kita, para dhuafa, orang-orang yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan sosial.
Lebaran mestinya menjadi  saat yang penuh makna bagi setiap orang. Selain sebagai waktu untuk merayakan kemenangan spiritual setelah berpuasa sebulan penuh, Lebaran juga menjadi ajang untuk menyebarkan kebahagiaan kepada sesama.Â
Dhuafa, yang seringkali terpinggirkan dalam keramaian Lebaran, adalah orang-orang yang pantas mendapat perhatian dan kasih sayang kita di momen yang penuh berkah ini.Â
Mereka, dengan segala keterbatasan dan kesusahan hidupnya, juga berhak merasakan kehangatan dan kebahagiaan Lebaran.
Ketika tinggal diperumahan yang berbatas kampung, seringkali mereka datang menawarkan pisang, sayuran kebun, atau ikan hasil tangkapan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk membantunya adalah dengan "membeli" dagangannya . Bentuk kepedulian kita
Menapaki Jejak Kebaikan
Sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW, kepedulian terhadap dhuafa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran beliau. Rasulullah sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat dermawan, selalu siap membantu mereka yang membutuhkan, terutama dalam menyambut momen-momen penting seperti Lebaran.Â
Akan sangat menyedihkan jika kita bisa menikmati lebaran, sementara tetangga kita justru berada dalam kekurangan. Dulu bentuk undangan makan bersama di pagi Idul Fitri kepada para tetangga dikampung pinggiran yang dekat rumah menjadi kebiasaan orang tua saya.Â
Kami menikmati opor, ketupat atau lontong bersama-sama. Sebuah hikmah penuh kenikmatan yang luar biasa yang diajarkan orang tua saya.
Dalam konteks yang lebih luas, memberikan bingkisan Lebaran kepada dhuafa adalah cara kita untuk mengikuti jejak Rasulullah dan menerapkan ajaran-ajaran agama dengan nyata dalam kehidupan sehari-hari.Â
Ini adalah bentuk konkret dari keimanan kita, bukan sekadar ritual rutin, tetapi sebuah wujud kasih sayang dan solidaritas yang sungguh-sungguh.
Para mahasiswa di kampus di dekat rumah kini juga menjalankan program berbagai untuk dhuafa berbentuk paket yang donasinya berasal dari para jamaah masjid dan para dosen di lingkungan kampus. Dan dibagikan lebih cepat dari zakat agar mereka bisa memanfaatkan bantuan barang dan uang untuk keperluan menyambut lebaran.
Bingkisan Lebaran Sebuah Harapan dan Kebahagiaan
Bagi para dhuafa, menerima bingkisan Lebaran bukan hanya sekadar menerima paket sembako atau barang-barang material. Lebih dari itu, bingkisan tersebut membawa makna yang sangat mendalam, harapan, kebahagiaan, dan rasa dihargai.Â
Bagi mereka yang mungkin jarang merasakan sentuhan kasih sayang dan perhatian dari orang lain, menerima bingkisan Lebaran adalah suatu kejutan yang menggembirakan, bahkan bisa menjadi titik balik dalam hidup mereka.
Apalagi bingkisan tersebut di bagi jauh hari sebelum lebaran, sehingga kebahagiaan lebih mereka rasakan karena bisa menikmati lebaran.
Bayangkan betapa besar artinya bagi seorang anak dhuafa yang menerima pakaian baru sebagai hadiah Lebaran, atau seorang ibu yang menerima bahan makanan untuk menyajikan hidangan Lebaran kepada keluarganya.
Bahkan dalam tradisi Mak Meugang, daging dibagikan kepeda para dhuafa agar mereka juga bisa menikmati sajian makanan spesial saat Idul Fitri.
Membangun Kembali Rasa Kemanusiaan
Mengirimkan bingkisan Lebaran kepada dhuafa juga memiliki nilai-nilai yang mendalam dalam membentuk perspektif kemanusiaan kita.Â
Terlalu sering kita terjebak dalam rutinitas kehidupan sehari-hari yang fokus pada diri sendiri dan kepentingan pribadi, sehingga kita lupa bahwa ada banyak orang di sekitar kita yang membutuhkan uluran tangan kita.
Dengan berbagai meski sedikit dan terbatas, namun bentuk perhatian itulah yang menunjukkan sisi kemanusiaan kita yang sejati. Membentuk sikap empati dan kepedulian.
Dengan memberikan mereka dukungan dan perhatian, kita membantu mereka untuk termotivasi dan bersemangat untuk gigih berusaha.Â
Lebaran menjadi waktu yang tepat merenungkan kembali,apakah kita telah menjadi pribadi yang peduli pada sesama. Di balik keramaian perayaan dan kesibukan persiapan, kita jadikan Lebaran sebagai momen untuk menyebarkan kebaikan dan kebahagiaan kepada mereka yang membutuhkan, serta memperkuat tali silaturahmi .
Semoga Lebaran kali ini menjadi berkah bagi kita semua, dan semoga bingkisan Lebaran yang kita berikan bisa membawa senyum dan kebahagiaan kepada mereka yang membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H