Jika itu disebut mudik atau wo gampong, rasanya seperti JJS saja karena, bisa jadi malamnya kami langsung pulang atau menginap jika ada keseruan di kampung seperti ramainya pedagang keliling yang menambah semarak.Â
Apalagi jika ada yang memasang meriam bambu yang masih ada dikampung-kampung (dan diperbolehkan lagi setelah konflik), maka acara "mudik singkat" itu menjadi lebih seru.
Itulah mengapa saya hanya bisa merasakan hebohnya suasana mudik dari televisi yang menyampaikan laporan pandangan mata dari situasi terkini di setiap titik mudik yang dianggap rawan atau  paling padat.Â
Sementara laporan di daerah lebih melaporkan kemeriahan jalanan di jalur Timur dan Barat yang biasanya sunyi dari kendaraan, dimalam lebaran menjadi ramai dan meriah. Laporan justru menceritakan ramainya warung kopi di jalur Barat dan Timur yang dipenuhi pemudik yang istirahat.
Atau si daerah Saree,dimana pemudik di jalur Timur membeli oleh-oleh Tape Lembah Seulawah yang terkenal nikmat serta keripik pisang yang langsung bisa dioder langsung begitu di entas dari penggorengan. Selebihnya tak ada jalur macet. Semuanya aman terkendali.
Suasana "pulang kampung atau jak Wo Gampong alias mudik" menjadi liputan kemeriahan menyambut lebaran saja. Itulah mengapa saya tak sepenuhnya bisa merasakan bagaimana "mudik"yang sebenarnya. Entahlah jika nanti berkunjung ke Bandung, Jakarta atau Jogja saat lebaran?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H