Suatu ketika Nabi di tanya, "siapa orang yang pertama harus aku sayangi dan hormati?". Nabi menjawab tiga kali "Ibumu!" dan barulah di jawaban keempat, "Ayahmu!".
Sebenarnya aku ingin menceritakan tentang  "Lagu Religi" yang dinyanyikan oleh Melly Goeslaw yang berkolaborasi dengan Anto Hoed tentang Ramadan yang indah, datang, dan lalu dilupakan dengan kehidupan kita sediakala. Tapi tiba-tiba aku justru teringat lagu "Bunda", gara-gara sebuah reel yang menyentuh hati melintas di laman media sosialku.
Setiap kali Melly Goeslaw menyanyikan lagu "Bunda" salah satu karya dari Potret, band miliknya, yang resmi dirilis pada tahun 1997, aku selalu merasa terhanyut.
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang
Nada-nada yang indah
Selalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
Telah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang
Oh, bunda ada dan tiada
Dirimu 'kan selalu ada di dalam hatiku
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang
Oh, bunda ada dan tiada
Dirimu 'kan selalu ada di dalam hatiku
Bocah, Permen Karet dan Buket Bunga
Bocah laki-laki itu sedang berada di pinggiran jalan, ketika seorang laki-laki menawarinya dua buah barang pilihan, sebuah boneka mainan figur Batman dan sebuah buket bunga beserta sejumlah uang yang disembunyikan di baliknya.
Ia sempat berteriak kegirangan saat dilihatnya boneka figur Batman, tapi tiba-tiba tangannya justru meraih buket bunga. "Mengapa buket bunga yang kamu pilih?", tanya si laki-laki itu keheranan.
"Ibuku hari ini berulang tahun, jadi aku akan memberikannya hadiah", katanya tersipu. "Aku menjual permen karet hari ini, untuk bisa mendapatkan uang, dan akan aku belikan bunga untuknya", akunya sambil menunjukkan sekotak permen karet.
"Kamu bersama Ibumu?", tanya si laki-laki itu. "Ya, akan aku tunjukkan dimana ibuku, ia tak jauh dari tempatku menjual permen dan kios tempat ayahku bekerja."lanjutnya.
Mereka berdua menyusuri trotoar, lumayan jauh jaraknya tapi masih dalam blok bangunan yang tak berjauhan.
"Itu disana ibuku", kata si bocah laki-laki menunjuk sebuah titik. Padahal tak terlihat siapapun ada disana, hingga akhirnya si bocah laki-laki duduk di sebuah bangku semen. "Ibuku disini tinggalnya, ia sakit kanker, dan belum lama pergi meninggalkan aku dan ayahku. aku sangat menyayanginya, dan ia berulang tahun hari ini."Â
Laki-laki itu yang tak lain adalah John Milyader, merasa tak kuasa menahan haru. Begitupun aku yang menonton video reel-nya.
Tiba-tiba kejadian itu mengingatkanku dengan ibuku. Setiap hari ibu masih ada disampingku, meski sesekali masih bisa mengobrol, bercanda menggodanya dan bermanja bercerita tentang pekerjaan, tapi aku masih merasa kurang memperhatikannya.
Jika adik menelepon dari jauh menanya kabar, aku seperti tersadar bahwa ibu baik-baik saja. Mungkin karena aku setiap hari berada didekatnya, karena ibu memilih tinggal bersamaku.
Menurut yang pernah aku dengar, sebuah rumah akan selalu dipenuhi berkah jika ada ibu kita didalamnya dan kita merawat serta menyayanginya dengan sepenuh hati. Aku bersyukur karenanya.
Aku merawat dan menyayanginya dengan sepenuh hati, tapi rasanya perhatianku tetap masih selalu kurang.
***
"Bu! Gimana hari ini"Â tanyanya manja berbasa-basi sepulang sekolah. Ia tersenyum dan akhirnya tertawa," biasa, kenapa tanya-tanya", ujarnya mungkin keheranan atau aku dianggap tumben karena tak seperti biasanya.
Tapi sebenarnya itulah yang sering aku lakukan ketika aku sadari aku kurang memperhatikannya, membiarkannya dengan kesibukannya sendiri di rumah sejak pensiun dan ayah pergi meninggalkannya bertahun-tahun lalu.
"Ibu masak apa hari ini?", tanyaku lagi mengulang basa-basa. "Ada dimeja semuanya, muge ungkot hari ini tak lewat, jadi masak apa yang ada---balado telor".
"Makan ah!," aku bergegas turun dari tempa tidur ibuku, diikuti pandangan mata ibuku sambil tersenyum. Aku suka suasana dan saat-saat seperti itu, seperti kembali ke masa lalu.
Mengingatkan saat kecil merengek minta dibuatkan "cang jo" sebutanku untuk bubur kacang hijau kesukaanku, dan biasanya ibuku cuma tersenyum. "Dah main sana" seolah mengusir, tapi tak lama ia keluar kamar bergegas ke dapur. Menakar segelas kacang hijau, merebusnya.
Dan harum dapur berubah menjadi aroma kacang hijau bercampur wangi pandan yang dimasak dengan santan kental.
Karena video John itu, aku seperti terngiang-ngiang kata-kata bocah laki-laki ketika mengatakan, "aku akan membelikannya buket bunga karena ibuku hari ini berulang tahun."
Mungkin ia tak seberuntung aku, karena di usiaku kini aku masih bisa mendengar suara ibu, mendengar suara langkah menyusuri dapur, dentang panci dan piring yang dipakainya saat masak. Ibuku masih bersamaku, hingga detik ini. Tapi menurutku bocak laki-laki terasa lebih menyayangi ibunya daripada aku.
Aku tak pernah membelikannya hadiah, buket bunga. Kecuali hanya selalu ingat kapan ibuku berulang tahun.
Saat ibuku ulang tahun, pagi sekali ketika ia sedang berbenah di dapur, aku memeluknya. "selamat ulang tahun Bu, semoga Allah selalu menyayangimu selalu", begitu ucapku. Biasanya ibu akan mengelak dengan alasan bau baru bangun tidur.
Tapi aku tak peduli, karena itu bau ibuku. Orang yang telah melahirkanku, merawatku dengan segala macam bau bayi yang kupunya saat itu. Ibu akan membalas pelukanku setelahnya. "Terima kasih, kok ingat ibu ulang tahun?",tanyanya menyelidik seolah seperti berharap tak ada yang ingat, tapi saya tahu ia begitu bahagia.
Begitulah ibu dengan hati dan kehidupannya, dengan caranya ia menyayangi kita.
Saat ada bersama kita kehadirannya terasa biasa, tapi mengingat kisah bocah laki-laki itu, aku merasa kini harusnya aku semakin bisa menyayanginya, semakin bisa punya waktu dengannya.
Apalagi ketika pagi aku hendak sekolah dan mencium tangannya, tatapan matanya yang riang membuatku begitu bahagia. Tentu ia juga merasakan yang sama, ketika dilihatnya gadis kecil yang dulu ditimangnya kini menjadi seorang guru seperti mimpinya.
"Dah, nanti terlambat absen," katanya ketika melihatku masih berdiri termangu menatapnya. "Pergi ya Bu". Aku berharap aku tak akan mendengar kata itu lebih cepat diucapkan ibuku.
Aku masih ingin selalu menyayanginya, bersama-sama mengisi hari dan masih bisa mendengar suara nafasnya saat bicara berdua diteras belakang rumah kala sore, ketika kami merasa begitu dekatnya.
Aku ingin Ibu tau gadis kecilnya kini telah memberinya cucu yang lucu yang bergantian menggodanya, dan membuat hari-harinya berwarna-warni, dan aku sudah menunaikan cita-citanya menjadi guru.
Selalulah sehat ya Bu, biar aku tetap bisa melihat, menyayangi dan memelukmu. Salam sayangku selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H