Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belajar dari Pak Rektor ITB, Jadikan Kompasiana Gudang Arsip Artikel Editum

16 Maret 2024   09:23 Diperbarui: 27 Maret 2024   17:06 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berasal dari bahasa latin, "editum" secara harfiah bisa bermakna "yang diedit" atau "yang telah disunting". Dalam konteks bahasa Latin, "editum" juga merujuk kepada sesuatu yang telah diterbitkan atau dipublikasikan, atau yang telah melewati proses penyuntingan atau revisi.

Mungkin akan ada yang bilang, kan sudah berlalu jadi tak akan bisa berpengaruh apapun bagi si penulis kompasiana kalau harus dikaitkan dengan urusan K-reward dan sebagainya.

Termasuk, barangkali isunya yang tak lagi up to date dengan situasi kekinian. Tapi bagaimana jika alasan itu berkaitan dengan adanya usaha dari si penulis  "meningkatan kapasitasnya?", melalui proses "belajar".

Mungkin saat memasuki dunia Kompasiana dan menjadi Kompasianer pemula, banyak penulis yang memulainya hanya sekedar sebagai hobi. Lantas minat dan ekspektasinya berubah menjadi "penulis serius".

Bahkan tak sedikit yang belajar dari para seniornya yang sudah menerbitkan buku, agar terpancing ikutan bisa punya buku sendiri atau kolaborasi. (soal ganjalan ISBN yang masih krisis, mungkin bisa diupayakan jika memang diniatkan menulis dengan serius atau barangkali koleksi artikelnya keren dan bernilai komersil).

Seorang kenalan saya Direktur Gramedia Banda Aceh, almarhum Pak Kris pernah bilang, "ayolah Bu, nulis buku motivasi sebagai guru kan banyak tuh kisahnya, apalagi tiap hari berurusan dengan murid, kan?". Kami ketemu saat promo peluncuran buku Te O Terriate (genggam cinta) bersama Akmal Basery Nasral.

Pertemuan dan ajakan itu membuat saya kemudian memutuskan untuk segera menyelesaikan draft buku yang kadung sudah tersimpan di folder file di komputer dan blog. Tapi karena ingin sedikit lebih baik hasilnya, jadi sampai dengan saat ini masih menjadi folder kumpulan tulisan.

Karena harapan-harapan seperti itu, maka pada akhirnya semua artikel saya di kompasiana saya perbaharui editing-nya, berharap sebagai "ruang arsip" yang nantinya artikelnya bisa langsung siap pakai.

Jadi meskipun sudah lama dibuat, artikel-artikel itu tetap saya kuatkan dari esensi idenya, atau sekedar memperbaiki typo-nya.

Artikel Tanpa Label

Beberapa artikel lawas saya, terutama yang di awal "merintis karir menulis di kompasiana ;)," ada yang tak diberi label oleh admin. Bisa jadi substansinya ngawur atau memang terlalu bagus jadi admin kuatir nanti jadi viral, jadi tak diberi label ;),

Tapi memang ada artikel yang berasal dari kumpulan buku kolaborasi yang saya unggah ulang di kompasiana dengan banyak editing disana-sini, termasuk judulnya. Dan barangkali karena mencantumkan sumber asal tulisan dari buku kolaborasi, admin menganggap tak ada effort-nya, jadinya tak diberi label.

Setidaknya saya punya empat artikel tanpa label yang salah satunya karena "dikunci" admin saat ikut menulis dalam rangka lomba artikel yang bersponsor. Karena dikirim mepet waktu menjelang closing, sehingga admin tak sempat lagi memberi label ;),

Sekedar ingin berbagi, berikut 3 artikel saya tanpa label itu. Pecandu Kopi Bilang, Kopi Itu Digiling, Bukan Digunting!, Membangun OVOP "Page Gampong", Sebagai Destinasi Wisata Berbasis Masyarakat yang Unik, Dilema Diaspora, Jadi Isu Menarik Debat Capres Tapi Minim Realisasi, 

Ditambah lagi kan masih "anak bawang", sehingga tulisannya masih amburadul juga, seperti yang masih saya lakukan ;), dan sekarang juga masih terus belajar.

Tapi saya sudah mengenal beberapa penulis asal "rumah besar" kompasiana yang selalu memberi inspirasi via bukunya, karena menjadi salah satu referensi bacaan dan penambah semangat menulis yang "baik dan benar" ;).

Seperti buku Tanpa Gaptek dan Gupsos: Menuju Generasi Indonesia Bisa! karya Pak Kusmayanto Kadiman yang "menghuni" pustaka rumah, adalah karya seorang kompasianer yang juga merupakan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut penuturan beliau, karya tulisnya itu dikumpulkan selama ia menulis di Kompasiana.

Hingga akhirnya karena kesibukan yang tak tertahankan setelah menjabat sebagai Rektor, menulis di kompasiana di jeda, tapi menulis tetap menjadi salah satu kebiasaan yang terus dijaganya sebagai rutinitas.

Buku yang super keren itu sangat mencerahkan. Meskipun berlatar belakang ilmu sains, tapi ulasan Pak Kus soal masalah sosial, tajam dan keren banget.

Beberapa testimoni menyebut, bahwa  buku itu menguraikan apa itu Gagap Teknologi (Gaptek) dan Gugup Sosial (Gupsos). Kemudian menjelaskan mengapa Gaptek dan Gupsos menjadi batu sandungan bagi upaya anak negeri memberikan nilai tambah bagi kekayaan alam dan kekayaan hayati Nusantara. 

Nilai tambah ini yang berpotensi sebagai penjungkit dalam menggapai cita kesejahteraan rakyat dan kedaulatan berbangsa. Tanpa kesungguhan mengatasi gaptek dan gupsos akan sia-sialah menghasilkan Generasi Indonesia Bisa

Bahkan Faisal Basri, rekan dari fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, menyebut bahwa intelektual humanis seperti Pak Kus menjelaskan yang rumit menjadi gampang dicerna.

Apalagi ditengah desakan teknologi digital. Bahwa teknologi tak pernah berkembang dalam ruang vakum sosial. Ia senantiasa tumbuh sejalan dengan konteks perkembangan masyarakat. Sebaliknya, di zaman kini, sulit membayangkan masyarakat bisa tumbuh tapi abai pada teknologi. Inilah era digital society. 

Buku Pak Kus berusaha memotret hubungan resiprokal antara teknologi dan masyarakat itu dengan renyah dan memukau. Itu kata Sandrina Malakiano, Deputy CEO PolMark Indonesia Inc. Masih ingat kan siapa dia?.

Bahkan dengan memperkenalkan konsep kolaborasi tripartit pemerintah, peneliti, dan industri, Pak Kus memperlihatkan bagaimana Indonesia bisa jadi bangsa modern, bersih, dan terhormat bila seluruh kelompoknya bersatu, begitu kata Amir F. Manurung, penulis buku 'Komersialisasi Teknologi' 2012".

Coba bayangkan kompasianer setingkat Pak Kus yang rektor ITB, dan sibuk saja terus menulis dan membuat buku, tentu saja itu membuat saya dan mungkin banyak kompasianer akan merasa "disemangati" agar bisa berkontribusi lebih baik lagi untuk negeri.

Kata imam Al-Ghazali, salah satu seorang cendekiawan muslim yang terkenal, "Apabila engkau bukan putra raja atau putra ulama besar, maka menulislah!" . Menulis merupakan salah satu kegiatan yang bisa dilakukan oleh banyak orang, dan bisa membuat banyak orang mengingat kita dari karya yang dihasilkan.

Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan "karya terbaiknya" ;),, masa kalah sama harimau.

Buku karya penulis hebat seperti Pak Kus itu menjadi salah satu motivasi, agar kita memperlakukan tulisan kita tak sekedarnya. Karena kumpulan karya kita di kompasiana adalah "asset" besar kita.

Mungkinkah Editing dan Peluang Label Baru?

Sebenarnya apa sih enaknya punya tulisan berlabel?, jawabannya memang sangat subjektif, tergantung apa keperluannya. Karena toh bisa memiliki ruang menulis, bisa dinilai dan langsung bisa tahu "kualitas" secara tidak langsung, di kompasiana sudah sangat menggembirakan.

Tapi seandainya ada (mekanisme revisi), bisa menjadi "alat" memotivasi para penulis untuk selalu berusaha memperbaiki tulisannya yang telah pernah terbit agar menjadi lebih baik lagi. Dan "sim salabim "  dapat "label revisi" ;), dari artikel biasa jadi Bukan Artikel Biasa  alias BAB.

Dan label bisa menunjukkan bagaimana kualitas pembelajaran yang sudah kita lakukan (apapun jenis tulisan kita), menjadi makin baik, runut, sistematis atau bahkan kritis atau sebaliknya. Kecuali jika sudah berurusan dengan konten yang sensitif soal--pemikiran, politik, yang memang sulit dikompromikan harus berlabel pilihan atau utama.

Bagaimanapun ruang menulis kompasiana memang lebih menjadi ruang belajar. Dan segala sesuatu penilaiannya kita serahkan pada para pakar yang ada di kompasiana. Dan apapun hasilnya menjadi evaluasi bagi kita sendiri. 

Saya yang masih belajar juga selalu menyadari bahwa, tulisan pun sering tak sistematis, tak runut atau typo. Masih harus terus belajar dari kompasianer lain yang luar biasa.

Trims ya sudah membacanya. Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun