Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mengaku Cawapres "Melek Lingkungan", Nafsu Kuat Tenaga Kurang!

28 Januari 2024   02:00 Diperbarui: 3 Maret 2024   08:28 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah  melihat hasil debat kemarin, saya tak tertarik untuk ikut-ikutan membahas soal gimmick dan soal recehan serta singkatan dalam konteks sebagai konten kampanye.

Menurut saya, kita justru harus mengkritisi soal solusi mengatasi masalah lingkungan. Para cawapres sudah menyampaikan gagasannya menurut versinya masing-masing.

Pemikiran Cak Imin

Cak Imin, lebih berkonsentrasi pada solusi mendasar soal "etika lingkungan" yang ujungnya pada "tobat ekologis". Tobat ekologis atau pertobatan ekologis (ecological conversion) sebenarnya konsep yang dipopulerkan Paus Fransiskus melalui Ensiklik Laudato si' bertanggal 24 Mei 2015. 

Dalam ensiklik itu Sri Paus menyoroti pemanasan global dan menyerukan "aksi global" untuk menyelamatkan lingkungan. Pada poin ke-217 Ensiklik Laudato si', Paus Fransiskus menyerukan "tobat ekologis" sebagai pertobatan pribadi di tengah kondisi krisis ekologis. 

Menurut saya dua hal yang disampaikan Cak Imin ini menarik. Mengapa?. Karena persoalan laten lingkungan kita sebenarnya bersumber pada dua hal tersebut.

hutan yang dirusak manusia sumber gambar grid kids-grid ID
hutan yang dirusak manusia sumber gambar grid kids-grid ID

Suasana debat keempat cawapres sumber gambar kompas.id
Suasana debat keempat cawapres sumber gambar kompas.id

Bukan pada bagaimana mengatasi banjir, seberapa besar dana penanggulangan bencana yang harus disiapkan negara untuk tanggap darurat bencananya saja yang krusial kita cermati. Tapi justru selama ini kita melupakan kebijakan yang menjadi akar solusinya.

Ketika kita memperlakukan lingkungan dengan etika yang baik, menjalankan Analisis Dampak Lingkungan (Andal) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sesuai dengan prosedur dan nilai-nilai lingkungan yang ideal, maka lingkungan terjamin kelestariannya.

Tapi jika etika lingkungan hanya dijadikan jargon, atau semboyan untuk kelestarian maka wajar jika lingkungan di dunia nyata rusak atau dirusak oleh oknum yang tidak menjaga lingkungan dengan etika. Merusak, membuka lahan tanpa ijin, melakukan konsesi, alih fungsi lahan, merebut tanah ulayat masyarakat adat dan sebagainya.

Artinya dengan melakukan tobat ekologis sebagai salah satu langkah mengembangkan tindakan umat dalam mengatasi masalah-masalah duniawi sebagai persembahan kepada tuhan kata Sri Paus, kita bisa menjamin lingkungan tetap baik-baik saja.

Pemikiran Prof Mahfud

Sesuai dengan kapasitas beliau yang selalu berkecimpung di bidang hukum, termasuk dalam posisi Kemekumham, Prof Mahfud lebih fokus pada bagaimana mengatasi persoalan lingkungan dari sisi penegakkan hukumnya.

Jangan tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas, jika kasusnya menyangkut rakyat kecil hukum bisa "menginjak", tapi jika lawannya orang besar dan para elit, hukum tiba-tiba menciut. Mengapa?. Apakah hukum hanya berpihak pada kalangan tertentu dan tidak bisa mengakomodir keadilan bagi semua warga negara secara inklusif?.

Sehingga wajar jika Prof Mahfud lebih tertarik membahas mengapa legalitas kepemilikan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memberi jaminan kepemilikan aset tanah masyarakat, sebagiannya justru dimanfaatkan untuk mengambil alih kepemilikan tanah berdasarkan legalitas yang bisa dibuat-buat.

Padahal jika masyarakat diberikan haknya, masyarakat adat dilegalkan status kepemilikannya, maka masyarakat adat yang selama ini tinggal di hutan menjadi penjaga kelestarian utan, pasti akan mempertahankan agar hutan-hutan tetap lestari. Namun dalam praktiknya mereka  justru terusir dari tanahnya.

Inilah yang sebagaian dikritisi dan menjadi tinjauan pemikiran Prof Mahfud, termasuk juga dalam mengatasi kasus persolan lingkungan lainnya.

Pekerja di pabrik nikel sulfat Maluku Selatan sumber gambar tempo.co/subekti
Pekerja di pabrik nikel sulfat Maluku Selatan sumber gambar tempo.co/subekti

Pemikiran Gibran

Ini sesuatu yang paling menarik dikritisi, persoalannya bukan berdasar pada persoalan bahwa Gibran adalah anak muda yang konon katanya masih belum diterima oleh banyak kalangan gaek. Termasuk karena caranya yang "prematur" dalam menaiki tangga posisinya sekarang.

Namun sebagian kalangan menilai karena kuatir dengan kapasitasnya yang masih belia, dikuatirkan tidak akan bisa mengakomodir ketika harus mengatasi berbagai persoalan negara yang membutuhkan kebijakan dengan pemikiran yang matang. Pemikiran tersebut sah-sah saja muncul dalam wacana debat atau dalam konteks perpolitikan.

Namun yang menarik adalah ketika berbicara soal lingkungan, ketika memunculkan istilah-istilah yang begitu menarik penasaran publik, tentang Greenflation-inflasi hijau, sesederhana itu saja", begitu menurutnya.

Banyak pengamat lingkungan ternyata tak begitu familiar dengan istilah tersebut, karena pembahasannya memang sanag jarang dalam  konteks persoalan lingkungan  di negara kita saat ini.

Greenflation berkaitan dengan transisi energi. Green Inflation terjadi karena adanya transisi energi untuk menjaga lingkungan tetap lestari seperpti peralihan dari brown energi-energi fosil seperti minyak bumi ke Energi Terbarukan (EBT) atau green energi, seperti energi surya, panas bumi.

Peralihan ini menyebabkan harga bahan mentah energi mengalami kenaikan akibat adanya permintaan (demand) dari penawaran (supply) yang terbatas, ini  berlangsung terus menerus.

Tapi sebenarnya kenaikan harga tersebut tidak selalu diakibatkan karena adanya transisi hijau, ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kenaikan harga barang.

Salah satunya menurut Philonomist, adalah adanya kebijakan pajak karbon yang sangat bermanfaat bagi lingkungan hidup, karena tujuan pengenaan pajak karbon untuk mengubah perilaku ekonomi tidak ramah lingkungan, beralih ke perilaku ekonomi ramah lingkungan serta rendah karbon. 

Kebijakan pengenaan pajak karbon ini selain bermanfaat bagi lingkungan hidup juga menyebabkan harga bahan bakar mengalami kenaikan.

Namun dalam praktiknya, sangat sulit menentukan kalkulasi karbonnya, dan hingga saat ini juga masih jadi problem yang besar. Bahkan sejak Indonesia turut meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agrement) pada tahun 2015, kemungkinan Indonesia bisa melaksanakan pajak karbon masih sangat panjang prosesnya.

Ilustrasi para pecinta lingkungan bekerja keras di garis depan sumber gambar dompet dhuafa
Ilustrasi para pecinta lingkungan bekerja keras di garis depan sumber gambar dompet dhuafa

Itulah mengapa istilah green inflation atau greenflation atau inflasi hijau menjadi istilah yang tidak populer, dan wajar jika Prof Mahfud tidak sepenuhnya menjawab secara rinci. Ditambah lagi soal gimmick dan etika yang bercampur di dalamnya.

Jadi pesoalan ini sangat tidak sederhana dan Indonesia masih harus menempuh jalan panjang dalam praktiknya.

Begitu juga ketika membahas tentang  "hilirisasi" yang menjadi core-nya kampanye Prabowo -Gibran. Apa itu hilirisasi sebenarnya?.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penghiliran atau hilirisasi adalah, proses pengolahan baku menjadi barang siap pakai.  Dengan begitu penhiliran atau hilirisasi berarti mengelola komoditas dari barang industri tertentu dengan tujuan mengoptimalkan produk yang bernilai jual lebih tinggi.

Sampai disini, siapapun dari kita tentu sepakat, karena hilirisasi berarti akan membutuhkan proses, dan proses itu harus dilakukan dengan pabrikasi, mesin, tenaga kerja. Artinya akan ada serapan tenga kerja, akan tumbuh industri, akan masuk investasi, akan membuka lapangan kerja, mengatasi problem kemiskinan.

Dalam kasus nikel yang selalu menjadi basis pembahasan, ternyata mendapat tentangan dari WTO (World Trade Organisation) mengenai kebijakan mengeskpor biji nikel mentah dan kebijakan hilirisasi. Karena mereka kesulitan mendapatkan biji nikel Indonesia.

Di sisi lain banyak negara yang kemudian melakukan inovasi mencari alternatif bahan pengganti untuk mengatasi sulitnya mendapatkan nikel Indonesia itu. Ini juga yang diprediksi menjadi akar turunya harga nikel kita.

Persoalan lain adalah mengapa Indonesia bersikeras terkait hilirisasi (untuk mendongkrak harga), ternyata juga berkaitan dengan persoalan politik dan lain sebagainya. Sehingga banyap pengamat yang menilai bahwa kebijakan ini banyak muatan masalahnya.

Bagaimana dengan "hulunya" sebelum didorong menjadi hilirisasi, apakah beanr sepenuhnya demi pembangunan dan kepentingan rakyat banyak. Seberapa besar serapannya tenaga kerjanya, siapa investornya, dan lain sebagaianya yang sangat panjang.

Jadi ini juga persoalan yang sederhana, sesederhana seperti menerjemahkan greenflation sebagai inflasi hijau. Praktiknya ribet sekali persoalannya.

Ada yang berpendapat bahwa Gibran menguasai banyak istilah yang "rumit" karena memang persoalan itu menjadi corenya para anak muda jaman now.

Terutama seperti remaja-remaja di Eropa dan Amerika yang kritis selalu mempertanyakan, bagaimana sebuah kayu diperoleh, apakah dari hutan konsesi atau dari hutan adat atau dari hutan liar, semua dikritisi, sehingga istilah-istilah yang masih asing justru lebih mereka kuasai, daripada istilah yang dalam realitasnya umum dipakai.

Menurut hemat para pengamat perpolitikan, bahwa memahami persoalan lingkungan bukan melulu pada persoalan-persoalany yang rumit dan tingkat tinggi. Justru persolan-persoalan yang lebih substansial seperti di bahas Cak Imin dan Prof Mahfud soal etika lingkungan dan upaya penindatakan hukum yang lebih kongkrit yang lebih dibutuhkan untuk mengatasi masalah lingkungan kita yang terus kritis dan menjadi  bahaya laten hingga saat ini.

Dan hal itulah yang selalu diabaikan Pemerintah, sehingga masalah lingkungan tak berkesudahan. Jadi siapa yang "melek lingkungan" sebenarnya. Para penonton debatlah yang bisa menilainya sendiri.

referensi; 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun