Teman-teman di sekolah jika sedang bercanda melihat temannya stress berat sering bilang, "stres boleh tapi jangan sampai diantar ke Jalan Kakap". Pasalnya di ujung jalan itu bercokol rumah sakit jiwa milik Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, rumah sakit terbesar di propinsi Aceh.
Padahal ketika kita mengalami depresi, kecemasan, gangguan stres akut, sebenarnya kita telah masuk dalam kategori orang kena gangguan--mental breakdown atau nervous breakdown.
“Nervous breakdown” adalah istilah yang secara umum digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seseorang mengalami tingkat stres yang sangat tinggi atau tekanan mental yang luar biasa sehingga mereka tidak lagi mampu berfungsi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah ini tidak digunakan secara klinis dalam diagnosis medis resmi, dan biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk menyatakan situasi ketika seseorang mencapai titik batasnya dalam menanggung stres atau tekanan psikologis.
Meskipun tak semua orang tahu istilah mental breakdown, namun mengalami gejalanya mungkin bukan sesuatu yang asing, seperti stress berat contohnya.
Bagaimana jika hal itu juga dialami oleh guru atau siswa kita di sekolah?
Saat diberlakukan Full day School, sistem pembelajaran yang dilakukan hampir seharian penuh di sekolah, ternyata berisiko membuat anak merasa bosan dan jenuh sehingga pada akhirnya membuat anak tersebut menjadi stres.
Stres Merupakan keadaan dimana tekanan yang dialami oleh individu tidak sebanding dengan kemampuan individu dalam menghadapi tekanan tersebut.
Hasil Penelitian Yuniar Manse dkk dalam Jambura Nursing Journal, menunjukan tingkat stres siswa pada sekolah dengan sistem full day school bahwa dari 100 sampel siswa 60 (60%) siswa mengalami stres ringan, 39 (39%) siswa mengalami Stres sedang dan 1 (1%) mengalami stres berat.
Sewaktu saya masih bersekolah, teman sekelas yang juara di sekolah, tiba-tiba menunjukkan gejala depresi berat saat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Bertingkah aneh dengan menjawab semua soal ujian hanya dalam beberapa menit, dan langsung menyerahkan kertas jawabannya.
Saat ditanya panitia, ia hanya bilang, "soalnya terlalu mudah, apa nggak ada yang lebih sulit lagi". Dan saat kesadarannya kembali membaik, ia baru menyadari kesalahannya.
Secara fisik ia sehat dan bugar, hanya mentalnya karena merasa cemas berlebihan dan akut tidak lulus di Universitas, maka ia mengalami depresi.
Jadi, meskipun namanya menggunakan istilah mental, sebenarnya mental break down bukan istilah medis atau diagnosis penyakit mental. Seperti kasus yang dialami teman saya itu. Makanya kita tak boleh abai dengan kondisi tersebut.
Mengapa orang dengan gejala mental breakdown patut diwaspadai?
Orang yang mengalami depresi atau stres berat dalam kategori mental breakdown, menunjukkan ciri gangguan kesehatan mental, seperti tak mau berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan keluarganya sendiri, dan cenderung menyendiri.
Mengalami gejala insomnia (tidak bisa tidur atau tidak nyenyak), cenderung jorok tak memperhatikan tubuhnya, sering mengalami sakit, dan memilih mengurung diri di rumah.
Meski yang termasuk gangguan kesehatan mental jenisnya banyak (depresi, gangguan bipolar, gangguan kecemasan, PTSD, OCD, dan psikosis.), termasuk yang hanya dialami kelompok orang tertentu seperti postpartum depression yang hanya terjadi pada wanita setelah melahirkan.
Mungkin kita tak asing dengan istilah baby blues?
Baby blues syndrome adalah gangguan kesehatan mental yang dialami wanita pasca melahirkan. Gangguan ini ditandai dengan munculnya perubahan suasana hati, seperti gundah dan sedih secara berlebihan. Umumnya, gejala baby blues syndrome dapat memburuk pada hari ke 3-4 setelah melahirkan dan berlangsung selama 14 hari
Meski yang terkena mentalnya, tapi dampaknya terhadap kesehatan fisik juga bisa mengkuatirkan. Itulah sebabnya orang dengan gangguan kesehatan mental sering mengeluhkan gejala yang mengganggu kehidupan dan pekerjaan mereka.
Untuk lebih jelasnya agar kita juga waspada, beberapa gejala yang cenderung muncul tiba-tiba, saat mengalami mental breakdown biasanya:
Muncul rasa cemas berlebihan wujudnya yang bisa terlihat langsung adalah otot tegang, gelisah, emosi sulit dikendalikan, tangan berkeringat, pusing hingga kram atau sakit di perut.
Gejala lainnya tentu saja depresi, tandanya merasa sedih yang berlarut, dan cenderung terlihat putus asa, merasa tidak berharga atau selalu merasa bersalah, mudah lelah dan kehilangan semangat beraktivitas. Bahkan dalam kasus yang lebih fatal bisa melukai diri sendiri, termasuk keinginan bunuh diri.
Mengalami panic attack atau serangan panik secara tiba-tiba yang ditandai dengan gejala ketakutan berlebihan, sulit bernapas, gemetar, detak jantung berdebar hebat dan keringat deras mengucur.
Dan seperti kasus para caleg gagal paska pemilu, sebagian dari mereka juga mengalami Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD), seperti, sering mimpi buruk, menghindari tempat atau situasi yang memicu ingatan buruk, menyalahkan diri sendiri, dan bertindak ceroboh di luar nalar.
Mereka juga berkecenderungan bersikap labil, sulit mengendalikan emosi, halu, dan paranoid hingga gangguan sulit tidur.
Pada intinya ketika seseorang mengalami mental breakdown atau kondisi stress berat yang membuatnya tak konsentrasi dan beraktifitas secara normal.
Untuk mencari solusinya, penting untuk mengidentifikasi dan mencari bantuan profesional yang bisa memahami apa yang menyebabkan atau berkontribusi pada perasan mental breakdown-nya.
Beberapa peristiwa besar dalam hidup kita, sering menjadi akar masalah penyebab seseorang mengalami kejadian traumatis yang berujung pada mental breakdown.
Termasuk beberapa sebab lainnya, seperti ; Konflik di tempat kerja, kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, atau orang yang dicintai, Pekerjaan menyebabkan stres dan tekanan tinggi, Memiliki riwayat keluarga yang mengalami kondisi gangguan mental, Mengalami penyakit kronis , Mengalami peristiwa traumatis, Tidak pernah mendapatkan dukungan dari lingkungan, Trauma dan Stres terus-menerus.
Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi mental breakdown yang bisa saja kita alami atau dalam kasus di sekolah dialami oleh siswa karena tekanan ekonomi, keluarga, lingkungan pertemanan, bullying.
Mengubah gaya hidup, mengurangi jadwal kerja yang overload dengan mengaturnya lebih rileks, menjaga asupan makanan sehat, menjalankan pola hidup sehat dengan menyempatkan berolahraga, dan istirahat yang cukup.
Atau dengan terapi perilaku kognifit atau cognitive beharvioral theraphy (CBT) yang biasanya direkomendasikan untuk mengatasi kecemasan, depresi, dan kondisi kesehata mental lainnya.
Terapi perilaku kognitif melibatkan identifikasi pola pikir yang bermasalah dan mempelajari ketrampilan untuk mengatasi gejala yang berulang.
Dan jika sakitnya masih tetap berlanjut, konsultasikan dengan dokter.
Seperti dilansir dari WebMD, adanya sindrom kelelahan bisa disebabkan karena pekerjaan, dan memicu terjadinya mental breakdown.
Dan bukan tidak mungkin tekanan belajar yang berlebihan yang dialami siswa sebagiannya bisa berdampak kepada mental breakdown.
Apalagi gejala sindrom kelelahan memiliki tiga tanda utama yang mirip seperti yang dialami oleh seseorang yang mengalami mental breakdown. Kelelahan yang ekstrim karena menghabiskan waktu selama berjam-jam melakukan sesuatu yang dapat bersifat fisik dan emosional.
Kelelahan ekstrim ini umumnya terjadi pada seseorang yang memiliki pekerjaan dalam merawat orang, seperti bekerja di bidang perawatan kesehatan yang memiliki banyak kemungkinan mengalami kelelahan emosional.
Kinerja yang memburuk akibat kelelahan, serta gangguan depersonalisasi yang membuat seseorang menjadi datar, apatis, dan sulit merasa bahagia, sedih, dan perasaan lainnya.
Namun, beberapa gejala dari keadaan ini bisa didiagnosis, seperti merasa kewalahan oleh stres, memiliki perasaan cemas, atau merasa tidak mampu menjalani kehidupan sehari-hari.
Dokter akan mengidentifikasi faktor atau kondisi medis apa pun yang menjadi penyebabnya terhadap masalah mental yang dialami.
Biasanya, dokter akan melakukan pemeriksaan,termasuk dengan cara melakukan pemeriksaan menggunakan DSM-5 (DSM-5-TR adalah klasifikasi standar gangguan mental yang digunakan oleh para profesional kesehatan mental di Amerika Serikat), diharapkan dapat membantu pasien untuk mengidentifikasi penyebab gangguan yang dialami dan pengobatan yang sesuai.
Terapi keluarga dapat menjadi medium. Terapi keluarga adalah jenis konseling psikologis (psikoterapi) yang bisa membantu anggota keluarga meningkatkan komunikasi, menyelesaikan konflik atau masalah. Terapi keluarga biasanya disediakan oleh psikolog, pekerja sosial klinis, atau terapis berlisensi.
Kita juga bisa melakukan relaksasi, termasuk dengan pendekatan ibadah, mendekatkan diri pada Tuhan sebagai solusi dukungan mental terbaik. Apalagi di bulan ramadan sekarang ini.
Menengok Realitas Mental Breakdown di Sekolah
Dalam prakteknya ada sedikit siswa yang mengalami mental breakdown meskipun kadarnya tidak serius, tapi butuh penanganan melalui perhatian yang intens.
Bagaimanapun kehidupan yang serba cepat dan kompetitif, tekanan menjadi hal yang lumrah dialami siapapun termasuk siswa di sekolah.
Sekolah bisa menjadi salah satu tempat utama munculnya tekanan dirasakan secara intens oleh siswa. Mulai dari tuntutan akademis yang tinggi, hingga masalah sosial seperti bullying dan tekanan dari lingkungan pertemanan, berbagai faktor di sekolah dapat menyebabkan stres yang berat bagi siswa.
Kisah-kisah tentang siswa yang menunjukkan gejala depresi atau kecemasan yang serius di sekolah tidaklah langka. Seperti kasus di atas. Gejalanya tidak terdeteksi sejak awal karena ia siswa yang pintar dan tak menunjukkan gejala aneh.
Bayangkan seorang siswa yang, di tengah ujian masuk perguruan tinggi, menunjukkan perilaku aneh dengan menjawab semua soal hanya dalam beberapa menit dan kemudian menyerahkan kertas jawabannya.
Ketika ditanya, ia merasa soalnya terlalu mudah dan tidak ada yang lebih sulit lagi. Ini adalah contoh nyata dari bagaimana tekanan akademis dapat menyebabkan stres berat dan bahkan menyebabkan depresi.
Mengapa Perlu Bertindak?
Perlu dipahami bahwa kesehatan mental siswa memiliki dampak penting pada kesejahteraan mereka. Siswa yang mengalami stres berat atau gangguan kesehatan mental cenderung mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, termasuk keluarga dan teman-teman mereka.
Mereka mungkin menarik diri dari aktivitas sosial, memilih untuk menyendiri, dan bahkan mengalami gangguan tidur dan masalah fisik lainnya. Cenderung menjadi introvert.
Selain itu, mental breakdown di kalangan siswa juga dapat berdampak pada kinerja akademis mereka. Seorang siswa yang mengalami stres berat atau depresi mungkin kesulitan berkonsentrasi di kelas, menyelesaikan tugas, atau bahkan hadir di sekolah.
Hal ini dapat mengganggu proses pembelajaran mereka dan menghambat kemajuan akademis mereka secara keseluruhan. Dalam kasus ketika siswa membolos, bisa jadi bukan cuma karena malas, mungkin ia tengah bermasalah di rumah dan membuatnya tak konsentrasi belajar.
Tak sedikit kita temukan kasusnya. Dan saat kita mengantisipasinya bisa menimbulkan benturan, sehingga sekolah, guru dan teman sebaya perlu diberi pemahaman tentang pendekatan yang tepat untuk mengatasinya.
Kita butuh langkah tindakan pencegahan dan intervensi untuk membantu siswa mengatasi stres dan mencegah mental breakdown. Memberikan arahan pentingnya meningkatkan kesadaran semua komponen, baik guru, orang tua, maupun siswa sendiri, untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan cara mengenali tanda-tanda masalah.
Menyediakan dukungan emosional dengan menciptakan lingkungan yang mendukung di sekolah, di mana siswa merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah mereka dan mendapatkan dukungan dari guru dan konselor.
Bagaimanapun Mental breakdown di kalangan siswa bisa menjadi masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H