Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Menikah Bukan "Maybe Mei", Lakukan 3 Langkah Ini Biar Tak Panik

13 Januari 2024   10:20 Diperbarui: 13 Januari 2024   23:49 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan sumber gambar bridestory

Ketika mendengar kabar sahabat atau teman kita menikah, ternyata ada yang ikut gembira, tapi ada yang sedih bahkan panik, sampai tak berani menghadiri resepsi karena khawatir di tanya ini itu, terutama "kapan menikah, kapan menyusul?"

Apa urusannya? Ini kan masalah pribadi, ranah privat. Barangkali ada yang akan menjawab ketus begitu, meski dalam hati.

Meskipun sebenarnya pertanyaan itu bagian dari rasa empati orang lain terhadap kita. Tapi kok terasa "menyentuh" dan menyakitkan karena meskipun ada yang ingin sekali cepat menikah tapi ternyata belum ada yang pas di hati.

Ilustrasi Sahabat yang menikah sumber gambar bridestory
Ilustrasi Sahabat yang menikah sumber gambar bridestory

Atau masih trauma melihat temannya menikah tapi bubar di tengah jalan. Atau ada yang lebih ekstrim lagi, takut punya anak, khawatir dapat fenomena baby blues.

Teman saya pernah bilang dengan penuh semangat, "saya mau menikah ah bulan depan, tapi masalahnya aku nggak tahu mau menikah sama siapa", katanya. Dasar!, itu tandanya cuma mau menikah tapi belum siap menikah.

Ilustrasi pasangan yang menikah sumber gambar republika online
Ilustrasi pasangan yang menikah sumber gambar republika online

Ada bedanya, siap menikah dan yang hanya ingin menikah. 

Bagi banyak orang, terutama mereka yang sudah memasuki usia dewasa, menikah adalah salah satu hal yang paling diimpikan. Pernikahan dinilai akan menjadi momen yang paling membahagiakan dalam hidup, tentu jika dilakukan pada waktu dan dengan orang yang tepat. 

Menjadi sepasang suami istri bukan hanya sekadar melengkapi atau mengikuti standar kehidupan, apalagi hanya ingin menikah untuk mengikuti desakan sekitar.

Pertimbangan secara agama, karena menikah adalah sunnah, namun juga jangan tergiur untuk menikah muda hanya karena banyaknya kerabat atau teman yang melakukannya. 

Diri sendiri adalah ukurannya, jika niatnya sudah bulat maka menikahlah dengan orang yang tepat. Banyak orang menikah karena ketakutan atau persaingan di lingkungan sekitar. Takut dibilang terlambat, takut kita didahului orang lain, akibatnya, banyak pernikahan yang tak bertahan lama atau mudah kandas. 

Bagi mereka yang punya genk persahabatan, mungkin menikah akan menjadi problem yang "mengguncang", meskipun saat mereka sedang kumpul dan kompak berjanji, akan menikah pada waktu yang telah disepakati, pada akhirnya juga sangat tergantung problem yang dihadapi oleh masing-masing orang.

"Nanti kita nikahnya janjian ya, siapa duluan lainnya menyusul, jangan kelamaan", itu kata adik saya ketika hendak menikah dulu. Seolah menikah seperti bersiap mau jalan-jalan.

Beruntung teman-temannya kompak, tak berselang lama setelah satu anggota perkumpulan persahabatan itu menikah, yang lainnya menyusul, kebetulan juga tak berjauhan, jadi tak ada yang merasa berkecil hati.

Ilustrasi persahabatan sumber gambar sonora.id
Ilustrasi persahabatan sumber gambar sonora.id

Fase yang Berganti

Memang benar bahwa, ketika kita mendapat kabar anggota keluarga yang mungkin sebaya akan menikah, atau sahabat satu sekolah atau satu kampus, akan sedikit banyak "menyenggol" psikologis seseorang.

Artinya bahwa ditinggalkan teman yang menikah memang bagian dari perubahan fase atau tahapan kehidupan yang memang harus atau akan dijalani seseorang.

Dulu sendiri dan tinggal dengan orangtua, seiring bertambah kedewasaan kita kita harus memikirkan kehidupan kita yang lebih mandiri dan berharap bisa mencari pasangan hidup yang dapat diajak menjadi teman hidup dan membentuk sebuah keluarga baru sebagai cara kita mewujudkan dan mengeksplorasi rasa tanggung jawab yang kita miliki.

Memiliki keluarga kecil seperti orang lain, terutama memiliki dan memilih pasangan. Ini adalah wujud dari tahapan baru kehidupan sosial kita. 

Pada akhirnya masing-masing orang akan memiliki jalan hidupnya sendiri-sendiri tak bisa selalu dalam bentuk pertemanan yang bebas, seperti saat remaja.

Sehingga kekhawatiran akan berpisah, ditinggal teman, merasa kecil hati karena teman duluan menikah, atau malah sahabat tapi menikah, seperti dalam film-film.

Saat di fase tersebut akan menjadi saat penuh problematik pada setiap orang yang berbeda-beda solusinya.

Ada teman saya yang kalau ditanya, "kapan menikah?", selalu dijawab dengan enteng,"Maybe Mei nanti lah, habis belum ada kepastian, Mei be "Yes", Mei be "No", katanya lagi.

Semua hanya cara untuk "menyenangkan dan menenangkan" perasaan yang galau karena mendapati teman-temannya mulai beranjak masuk ke fase lain, sementara dirinya masih belum bisa memutuskan, atau malah masih sendiri.

Mungkin setelah seseorang mengunjungi temannya yang menikah ia harus mulai memikirkan 3 hal. Pertama; berusaha untuk menjadi bagian dari kebahagiaan orang yang menikah. Kedua; tetap menjaga hubungan baik, dan Ketiga: yang terpenting mulai membuat resolusi untuk diri sendiri, tanpa harus panik.

Ilustrasi pernikahan sumber gambar bridestory
Ilustrasi pernikahan sumber gambar bridestory

Langkah Pertama; Jadilah Bagian dari Kebahagiaan Sahabat yang Menikah 

Ketika sahabat adik satu "klub" sejak mereka di sekolah dasar hingga ke kuliahan menikah, mereka tetap menjalin hubungan silaturahmi yang baik. Ketika teman menikah duluan, mereka saling support memberikan dukungan dan bantuan,

Berusaha menjadi bagian dari kebahagiaan sahabatnya, tanpa merasa berkecil hati karena merasa "ditinggalkan". 

Bagaimanapun, meski sebuah pernikahan direncanakan, tetap saja akan kembali kepada problem yang dihadapi oleh masing-masing pasangan yang juga akan sampai ke jenjang menikah.

Justru dalam situasi tersebut, teman yang sudah menikah atau menikah duluan menjadi supporting bagi teman lainnya, dengan memberi dukungan moril maupun "materil" jika memungkinkan. Bukan justru menjadi "kompor". 

Tentu mereka telah saling memahami bagaimana situasi yang dihadapi oleh masing-masing orang.

Langkah Kedua; Tetap Menjaga Hubungan Baik

Meskipun sahabat telah memiliki pasangan dan memiliki privasi, serta bisa menyebabkan hubungan tak lagi sebebas dulu, namun tetap menjaga hubungan baik dengan teman yang telah menikah dapat menjadi bentuk dukungan mental yang positif.

Perlahan tapi pasti pengalaman sahabat yang telah menikah dapat menjadi stimulan yang memotivasi sahabat lainnya untuk bersiap. 

Bentuk dukungan dengan meluangkan waktu sesekali bisa berdampak positif pada banyak hal, termasuk menjadi bentuk dukungan psikologis, bahwa menikah tak serta merta membuat seseorang tak lagi punya waktu luang dan kebebasan seperti dulu.

Pengalaman tentang kekhawatiran ketika masuk dalam kehidupan pernikahan juga bisa menjadi "cerita' positif yang dapat didengarkan. 

Bahwa kehidupan setelah menikah ternyata juga tetap bisa seru, tetap bisa beraktivitas, selama dikompromikan melalui komunikasi yang baik dengan pasangannya, tak serumit yang dibayangkan oleh banyak orang, dan bisa menjadi pembelajaran.

Langkah Ketiga; Membuat Resolusi Baru

Bagi mereka yang telah "ditinggalkan" oleh teman atau sahabatnya yang telah menikah duluan, membuat resolusi menjadi sebuah kebutuhan yang urgen dilakukan, tak perlu harus panik.

Tahapan perencanaan resolusi itu harus realistis, apalagi jika telah memiliki calon. Pembicaraan tentang tahapan rencana ke jenjang yang lebih serius bisa dilakukan secara santai tapi serius, termasuk mempersiapkan segala sesuatu--mentalitas juga.

Pada saat kita melihat teman menikah, kedewasaan kita juga ikut berproses. Kita yang awalnya suka jalan, mungkin akan sedikit mengerem kebiasaan itu dan mulai serius memikirkan memanfaatkan waktu yang lebih positif dan produktif, demi persiapan fase kehidupan baru yang akan dijalaninya.

Kita yang biasanya suka belanja, mungkin akan mulai memikirkan untuk menabung atau belajar mengalokasikan pengeluaran, membeli hanya yang dibutuhkan, bukan lagi sekedar keinginan, mulai membatasi diri dan berusaha menjadi bijak.

Resolusi yang utama tentu kemungkinan rencana untuk menikah. Dengan membicarakannya dengan calon, kapan kesiapan yang bisa direncanakan lebih konkret, diantara kesibukan masing-masing.

Apalagi yang sudah bekerja atau dalam situasi long distance relationship (hubungan pasangan jarak jauh) yang kompleks dan tidak mudah, terutama soal risiko-risiko yang kelak akan dihadapi.

Termasuk pembicaraan pra nikah, sejauh bisa disepakati sebagai dukungan melancarkan rencana ke jenjang lebih serius. Hal ini penting sebagai bentuk pembelajaran kita berkomunikasi dengan calon pasangan.

Bahkan resolusi persiapan teknis juga diperlukan, untuk mengantisipasi segala kemungkian yang terlewat namun penting didiskusikan dengan pasangan. 

Kesiapan kita dalam bentuk resolusi yang terukur bisa menjadi stimulan yang memberikan ketenangan secara psikologi, sehingga ketika ditanya "kapan menikah?" kita tak merasa "kosong" dan tak ada persiapan sama sekali. Serta tak perlu harus menjawab, "Maybe Mei!", karena tak siap sama sekali dan panik!.

Tak perlu panik, karena mestinya yang lebih tahu kesiapan mental dan lain-lainnya ya diri kita sendiri, bukan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun