"Udah, terima aja amplopnya, soal milih kan "dia" nggak tau". "Biar aja jadi pelajaran buat yang suka bagi amplop, ambil isinya buang amplopnya, biar tau rasa!".
Rasanya kita pernah mendengar dialog itu. Entah saat bercanda, atau pernah mengalaminya langsung.
Jadi, apakah sebaiknya memang hal itu yang kita lakukan, sebagai cara membuat efek jera, atau justru  nanti malah menumbuhsuburkan budaya "serangan fajar" atau politik uang?.Â
Lalu bagaimana sebaiknya menyikapi "amplop" pemberian dari konstituen "petualang politik", yang suka nyamar jadi caleg itu?.Â
Antara Pembelajaran dan Kebiasaan Buruk
Sore tadi seorang kenalan datang ke rumah, ada yang spesial dibawanya. Bukan oleh-oleh sih, tapi undangan dari seorang caleg yang ikut dalam kontestasi politik 2024.Â
Saya hanya dipersilahkan mengisi daftar dukungan, disertai sedikit data dan tentu saja nomor kontak. Katanya biar mudah dihubungi jika nanti diperlukan penggalangan dukungan.
Berikut pesan, yang cukup membingungkan, "catat saja nama di formulir, nanti akan ada hadiah yang bisa diambil, soal pilihan jangan kuatir itu mah rahasia masing-masing orang". Kata kenalan saya yang ternyata menjadi "kurir politik".
Dengan pesan itu seolah kesan yang ingin ditunjukkan, si caleg tak memaksa siapapun untuk memilihnya, dan hadiah itu "sekedar" tanda terima kasihnya, jika memilih atau tidak memilih. Begitulah kurang lebih terjemahannya.
Dalam banyak kampanye dan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menghilangkan praktik "politik uang", pesan yang bisa kita terima adalah agar kita menolak praktik itu dengan apapun caranya.
Artinya jika ada yang main-main dengan uang saat masa kampanye harus ditolak tegas.
Tapi dalam prakteknya yang banyak terjadi justru sebaliknya, masyarakat memanfaatkan momen tersebut untuk "mengeruk keuntungan" sekaligus "memberi pelajaran" bagi para pelaku politik yang nakal dan culas. "Siapa sih yang tak mau duit," kata teman saya suatu kali.
Sikap tersebut seolah telah menjadi kebiasaan yang permisif dilakukan. Dan kita juga yakin bahwa para konstituen yang ikut dalam pemilu juga menyadari fenomena tersebut.Â