Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ketika Perempuan Diabaikan Karena Salah Kaprah Memahami Keadilan Restoratif Sebagai Solusi KDRT

5 Januari 2024   16:04 Diperbarui: 11 Januari 2024   19:38 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga sumber gambar artikel detail

Ketika seorang anggota keluarga terdampak KDRT, ada kalanya pihak keluarga memilih jalan restorative Justice, semata karena memiliki harapan agar konflik yang terjadi menjadi pembelajaran dan tidak akan berulang. Keluarga memilih menjaga "nama baik" keluarga daripada aibnya tersebar luas. 

Namun bagaimana dengan anggota keluarga yang menjadi korban, apakah mungkin hubungan yang telah didasari riwayat kekerasan dari pasangan yang dulu saling mencintai itu bisa dibangun kembali dalam puing-puing keluarga agar tetap harmoni?. Antara benci dan rindu itu beda tipis.

Tentu kita tidak bisa berandai-andai, bahwa setelah melakukan kesalahan dan dimediasi, dinasehati dan diberi "ancaman" pelaku akan menjadi baik, sementara si korban dengan segala tekanan psikologisnya justru harus belajar kembali untuk "menerima" dan "mencintai kembali" pasangannya yang telah melakukan kekerasan.

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga sumber gambar artikel detail
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga sumber gambar artikel detail

Kesalahan Memahami Keadilan Restoratif

Penerapan keadilan restoratif oleh penegak umum masih dinilai salah kaprah karena ketidakadilan masih belum berpihak pada wanita sebgai korban. Bahkan menurut Komnas Anak, banyak kasus kekerasan seksual selesai dengan keadilan restoratif. Bahkan 60 persen kasusnya merugikan perempuan.

Prakteknya tidak sejaln dengan konsep awalnya, seperti dilansir dalam buku Restorative Justive an Overview karangan Tony F Marshall, bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian kasus pelanggaran hukum secara kolektif oleh pihak yang terlibat unutk menangani pelanggarannya dan akibatnya di masa depan.

KOnsep ini adalah alternatif dari konsep atributif yang memberikan hukuman langsung pada si pelaku.Mestinya keadilan restoratif berpusat pada korban. Menyembuhkan korban dari dampak yang terjadi.  Sementara pelaku tetap diproses  ke pengadilan untuk menemukan kebenaran. Justru dalam kasus kekerasan seksual korbannya mengalami perulangan kekerasan.

Apalagi jika pelaku memiliki kekuasaan. Ujungnya biasanya menghentikan penangan perkara dan pelaku serta koraban berdamai dengan imbalan tertentu. Disinilah letak ketidakadilan dirasakan oleh korban.

Memang ada pembelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari keputusan restorative justice tersebut, namun tak semua berjalan mulus, atau bagaimana kita bisa tahu pasangan yang telah berkasus KDRT mengembalikan semua harmonisasinya.

Meskipun dianggap tak lazim, kasus Rizky Billar dan Lesty, menjadi sebuah pengecualian, ketika keputusan mereka untuk kembali pada akhirnya dianggap publik "berhasil". 

Tentu saja kita semua yakin banyak faktor di belakangnya yang menjadi pertimbangan, karena mereka adalah publik figur. Baik Lesty, apalagi Rizky Billar harus menimbang banyak hal demi popularitas mereka. Tapi bagaimana dengan keluarga "biasa"?.

Kita ingat bagaimana respon medsos menanggapi kasus mereka. Bentuk penolakannya hingga pemboikotan di media. Bahkan sampai ada tayangan FTV di salah satu stasiun televisi, seperti reka ulang kejadian KDRT Lesty, berikut nama tokohnya yang nyaris serupa. Mengapa publik mengganggap restorative justice sebagai "jalan salah" yang ditempuh Lesty?.

Apakah sebenarnya restorative justice itu?. Banyak publik yang masih merasa asing dengan istilah tersebut.

Keadilan restoratif atau restorative justice adalah sebuah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi diantara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.

Meskipun solusi "jalan damai" sebenarnya kerap ditempuh dalam banyak kasus perselisihan maupun kekerasan dalam relasi kasus toxic relationship atau hubungan yang diwarnai kekerasan. Namun sebenarnya itu menjadi solusi yang kurang baik bagi usaha kita memberantas KDRT.

Memang kasus KDRT tidak sesederhana yang kita bayangkan, karena kasus mereka menyangkut dua keluarga besar. Belum lagi jika dikaitkan dengan latar belakang masalah agama, sosial dan budaya, tradisi dan adat di masing-masing daerah yang berbeda dalam menyikapi pisahnya dua keluarga.

Tentu saja faktor budaya patriarki yang kuat juga ikut berpengaruh. Terkait faktor ini, perempuan sekali lagi menjadi korban yang tidak diuntungkan. 

ilustrasi pertengkaran suami istri karena masalah ekonomi sumber gambar ibupedia
ilustrasi pertengkaran suami istri karena masalah ekonomi sumber gambar ibupedia

Latar Belakang Kekerasan

Apa saja bisa menjadi sebab terjadinya KDRT, apalagi dalam kondisi perkembangan teknologi yang makin canggih. Sebab KDRT karena keberadaan teknollogi yang memudahkan komunikasi sering menjadi musabab, meskipun didasari sekedar kecurigaan tak beralasan, atau salah paham.

Namun faktor ekonomi sulit selama masa covid-19 hingga sekarang ini, banyak menjadi alasan pasangan terkena kasus KDRT. Sebab KDRT sangat kompleks, bukan sekadar urusan pribadi dan internal rumah tangga saja.

Dalam banyak kasus KDRT, perempuan sering menjadi korbannya. Selain faktor fisik yang kalah, sikap mengalah, toleransi atas tindak kekerasan, menjadi sebab penyelesaian KDRT sering tidak berimbang keadilannya bagi para perempuan.'

Hukum secara tegas mengatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pengertian yang dapat kita pahami adalah, kekerasan dalam rumah tangga, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam dalam lingkup rumah tangga. 

Sedangkan dari sisi agama, masalah ketidakharmonisan keluarga selalu diupayakan untuk bisa diselesaikan secara kekeluargaan, setelah tidak bisa diselesaikan diantara mereka sendiri, barulah berakhir dengan melibatkan pihak ketiga. Sebelum diputuskan apakah bisa diselesaikan atau justru dibawa menjadai masalah pidana.

Namun pemahaman dari sisi agam yang demikian juga dapat membuat masalah tak selesai tuntas. Perempuan yang menjadi korban akan merasa terus dalam tekanan dan ketakutan. Apalagi ia harus hidup bersama dengan pasangan yang telah melakukan kkekerasan terhadapnya.

Alasan anak-anak mungkin menjadi pertimbangan terberat untuk terus bertahan. Toleransi penyelesaian KDRT berdasarkan agama harus dipertimbangkan dengan serius, terutama dengan melihat dampaknya secara fisik dan psikologis yang dialami oleh korbannya.

Solusi menggunakan restorative Justice memang masih banyak menimbulkan perdebatan. Mengapa dan bagaimana restorative justice menjadi rujukan penyelesaian kasus?.

Pilihan yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan sebagai bentuk hukum dalam masyaraka, juga harus sangat hati-hati.

Pendidikan sebagai Solusi Atasi KDRT

Edukasi menjadi solusi meminimalisir kasus agar tidak berulang. Apalagi KDRT sebenarnya juga luas, meliputi:kekerasan fisik (kekerasan), psikis (munculnya ketakutan, hilangnya rasa percaya diri), seksual (pemaksaan hubungan seksual, termasuk untuk tujuan komersil), dan ekonomi (penelantaran kewajiban-nafkah fisik).

Dan kasus tersebut terjadinya dalam rumah tangga.

Jika kita memutuskan melalui restorative justice dan kemudian hari muncul kasus berulang menajdi lebih keras barulah kita memutuskan lebih tegas?.

Konflik dalam sebuah rumah tangga memang bagian dari dinamika rumah tangga, namun bukan KDRT bentuknya. 

Pendidikan dan pemahaman tentang relasi antar pasangan harus dimulai sejak awal, hal ini penting agar menjadi bagian dari komitmen ketika mereka di kemudian hari menjadi pasangan suami istri.

Jadi pendidikan yang diterima oleh para pasangan itu bukan hanya soal hukum saja, atau soal agama saja. Bahwa agama juga tak sepenuhnya bisa dijasdikan alasan seorang suami melakukan kekerasan kepada istrinya karena "dibawah" tanggungjawabnya. 

Sekalipun pasangan melakukan tindakan menyimpang, solusinya tetap harus merujuk pada hukum, agama dan kesepakatan kelaurga dan mediasi pihak ketiga jika diperlukan. 

Ketika pasangan memahami hak-haknya dan kewajibannya, maka mereka dapat lebih bijak dan waras dalam mengambil solusinya yang bisa memberikan jalan keluar terbaik diantara mereka. Termasuk jika mereka hendak melakukan KDRT.

Bayangkan bahwa pasangan adalah seseorang yang telah kita pilih dari sekian banyak pilihan, paling kita cintai, dan menjadi harapan ketika memutuskan hidup bersamanya. Dan pasangan akan menjadi "teman" sepanjang hayat. Apakah layak kita melakukan kekerasan terhadapnya?.

referensi : 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun