Ketidaktahuan para orang tua, atau informasi yang meragukan membuat banyak orang tua merasa gundah ketika akan memberikan pilihan kepada anaknya melalui jalur undangan atau prestasi.
Tanpa bukti apapun membuat orang tua merasa berkecil hati, apalagi anaknya sebagai siswa yang akan melanjutkan sekolah. Padahal kita meyakini bahwa banyak orang tua yang lebih memahami bakat anaknya.
Mereka, para orang tua berkeyakinan bahwa sertifikat tidak bisa dijadikan ukuran mutlak dan satu-satunya yang bisa menjelaskan kapasitas dan kompetensi anaknya.
Namun saat kita mengizinkan anak mengikuti jalur prestasi meski tak memilikisertifikat juara, namun berprestasi akademik dan memilki kapasitas dalam memahami berbagai masalah secara kritis, yakinkah anak untuk percaya diri dan berusaha optimal, tanpa perlu terbebani oleh masalah teknis ada atau tidak adanya sertifikat kejuaraan.
Beri dukungan dan motivasi untuk tidak mengecilkan harapannya. Bagaimanapun semua harus dicoba, namun juga harus disertai pengertian dari para orang tua tentang kemungkinan risiko yang dapat dialaminya jika terjadi penolakan dari sekolah yang melakukan seleksi.
Dengan orang tua memahami realitas bahwa sekolah-sekolah juga tak sepenuhnya bersikap kaku, menjadi motivasi tambahan untuk tidak lekas menyerah saat memberi kesempatan kepada putera-puterinya. Sikap orang tua yang demikian untuk mengakomodir keinginan anaknya agar mencoba optimal berkompetisi saat ingin mencapai harapannya. Karena kapasitas setiap anak berbeda.
Tentu kita masih ingat dengan sebuah WhatApss, yang dikirim seorang guru disebuah sekolah di Jakarta, saat hendak mengundang orang tuanya mengambil rapor.
Ia menuliskan pesan yang kurang lebih maksud dan intinya adalah, bahwa para orang tua dan anak-anak tidak perlu kuatir jika mendapatkan nilai pelajaran yang rendah untuk mata pelajaran tertentu.
Karena tak semua siswa memang berbakat menjadi seorang saintis. Diantara para siswa ada yang berbakat menjadi seniman, pelukis, sastrawan yang jauh dari ilmu saintis, namun mereka bukanlah siswa yang bodoh.
Kemampuan, bakat, dan minat setiap siswa berbeda-beda. Dan ukuran-ukuran yang objektif itulah yang mestinya harus menjadi pertimbangan juga ketika sekolah memutuskan akan menerima siswa saat PPDB agar lebih objektif hasilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H