Salah satu buktinya adalah data kajian yang menyatakan bahwa sektor bangunan menyerap sebesar 40% sumber energi dunia, bahkan di Indonesia, sektor ini bertanggungjawab terhadap 50% dari total pengeluaran energi, dan lebih dari 70% konsumsi listrik secara keseluruhan (EECCHI, 2012).Â
Dari besarnya penggunaan energi tersebut, sektor bangunan berkontribusi terhadap 30% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia.Â
Dampak konsumsi energi bangunan yang besar terhadap alam, tentunya menyebabkan kondisi sumber daya alam khususnya sumber – sumber tak terbarukan menjadi semakin langka dan akan sulit diakses dalam beberapa tahun mendatang.Â
Nah disinilah kita perlu pendekatan secara ramah (Eco-Friendly) bagi setiap perancangan bangunan.Â
Pendekatan bangunan secara ramah (Eco-Friendly Architecture)  disebut juga Arsitektur Hijau, yang menghasilkan beberapa konsep perancangan arsitektur seperti: Conserving Energy ( Hemat Energi), Working with Climate (memanfaatkan kondisi dan sumber energy yang alami), Respect for site (menanggapi keadaan tapak pada bangunan), Respect for User (memperhatikan pengguna bangunan), Limitting New Resources (meminimalkan sumber daya baru), dan Holistic.Â
Dengan latar belakang isu sumber energi tak terbarukan yang masih jarang dan dampak buruk akibat konsumsi energi  fosil bagi lingkungan, maka akan lebih baik bila dalam perancangan pembangunan lebih berfokus pada usaha konservasi dan efisiensi energi bangunan sehingga menjadi rancangan bangunan rendah energi.Â
Bahkan tidak hanya mampu menghemat energi tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri ( Bangunan Nol
Energi). Inilah gagasan yang terus didorong agar setiap rumah bisa memiliki listrip atap yang bisa menghasilkan energi untuk bangunan itu sendiri dari EBT.
Jadi, konsep Zero Energy Building (ZEB) adalah terciptanya bangunan hijau yang dapat menghasilkan energi terbarukan yang cukup secara lokal untuk menyamai atau melebihi penggunaan energi dalam periode yang ditentukan.Â
Pada dasarnya, dalam mengaplikasikan konsep ZEB yang harus diperhatikan adalah bagaimana menyeimbangkan antara jumlah sumber daya yang dipakai dengan jumlah sumber daya yang dihasilkan.Â
Dengan konsep tersebut, desain bangunan akan memegang peranan yang sangat penting untuk mengurangi konsumsi sumber daya sebanyak mungkin, dan beban untuk menghasilkan sumber daya menjadi lebih ringan.
Jika dianggap Zero Energy Building masih sulit diaplikasikan karena masih tekendala mahalnya ongkos pemasangan panel surya, kita bisa mengadopsi gagasan yang ramah energi seperti yang kita temui dalam model arsitektural bangunan rumah-rumah Belanda atau era Kolonial yang hingga saat ini masih banyak yang tersisa.
Arsitektur Hijau yang Ramah Lingkungan
Saat ini pun masih sering kita temukan adopsi bentuk arsitektur bangunan yang kadangkala tidak sesuai dengan gagasan ramah lingkungan. Bisa jadi karena pemahaman yang salah atau karena kondisi yang memaksa, seperti membangun rumah lantai dua tanpa void, karena keterbatasan lahan.Â
Namun dalam prakteknya perlu juga kita mengetahui tentang apa arsitektur hijau itu dan mengenai konsep-konsep perancangan arsitektur yang sesuai dengan pendekatan bangunan ramah lingkungan atau eco-friendly architecture:
Pertama; Conserving Energy (Hemat Energi): Fokus bentuk arsitektur ini ada pada efisiensi energinya dengan cara menggunakan teknologi dan desain yang mengurangi konsumsi energi. Misalnya dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti matahari, angin, atau energi geotermal.
Kedua; Working with Climate (Memanfaatkan Kondisi dan Sumber Energi yang Alami): Bangunan dirancang berdasarkan kondisi iklim setempat untuk memaksimalkan manfaat dari sumber daya alam, seperti sinar matahari dan angin.Â
Pengaturan orientasi bangunan untuk memaksimalkan pencahayaan alami dan mengurangi panas berlebih. Penggunaan material yang dapat mengatur suhu secara alami.
Banyak bangunan tradisional kita mengacu pada gagasan ini. Atau kita juga mengenal tentang konsep feng shui bagi masyarakat Thionghoa.
Ketiga: Respect for Site (Menanggapi Keadaan Tapak pada Bangunan): BEntuk artsitekturalnya berusaha menghormati dan mempertimbangkan karakteristik unik dari tapak atau lokasi bangunan. Melestarikan dan mengintegrasikan lingkungan sekitar ke dalam desain, termasuk tanaman, topografi, dan kondisi alam setempat.
Keempat: Respect for User (Memperhatikan Pengguna Bangunan): Saat membangun kita harus memahami dan memenuhi kebutuhan penghuni bangunan yang kita buat.Â
Menyediakan lingkungan yang nyaman dan sehat, termasuk kualitas udara dalam ruangan, pencahayaan, dan suhu yang baik. Melibatkan penghuni dalam proses perancangan untuk memahami preferensi dan kebutuhan mereka.