budaya Jepang berbeda-beda. Saya berusaha melihatnya dari perspektif yang lebih bersahabat.
Mungkin perspektif orang dalam melihat wibu sebagai sebuah fenomenaDalam prakteknya "menjadi wibu" juga bukan pilihan seseorang meskipun ia menyukai sesuatu atau segala sesuatu tentang Jepang. Preferensinya terhadap budaya Jepang  bisa jadi hanya karena filosofinya yang baik tentang etos kerja, seni dan lainnya yang menurutnya menarik dan bermanfaat positif.Â
Meskipun Wibu dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya Jepang, tetapi pada kenyataannya, apakah Wibu bisa dianggap sebagai fenomena budaya Jepang sejati ataukah sekadar obsesi yang berlebihan?. Apakah bisa dianggap sebagai representasi yang akurat terhadap budaya Jepang secara keseluruhan?. Beberapa orang berpendapat bahwa Wibu hanyalah fenomena subkultur dan bukan bagian integral dari budaya Jepang yang sebenarnya.
Sebaliknya, Wibu mungkin dapat dianggap sebagai hasil dari globalisasi budaya, di mana elemen-elemen budaya Jepang telah tersebar dan diterima di berbagai belahan dunia. Ini menciptakan kesempatan bagi individu di luar Jepang untuk mengalami dan menikmati berbagai aspek budaya Jepang, seperti anime dan manga.Â
Namun, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah Wibu benar-benar mencerminkan atau justru menyimpang dari nilai-nilai budaya Jepang itu sendiri.
Apa "wibu" itu sebenarnya?.
Budaya pop Jepang telah menjadi bagian integral dari panggung global, dengan pengaruh yang semakin meningkat di berbagai belahan dunia. Salah satu aspek menarik dari fenomena ini adalah kemunculan kelompok penggemar fanatik yang dikenal sebagai "Wibu." yang mengacu pada seseorang yang sangat terobsesi dengan budaya Jepang hingga mengadopsi perilaku dan gaya hidup yang terlalu berlebihan.
Wibu adalah kelompok penggemar budaya Jepang yang mencakup berbagai elemen, termasuk anime, manga, musik J-pop, permainan video, dan gaya hidup Jepang pada umumnya. Mereka tidak hanya menikmati karya-karya seni populer dari Jepang, tetapi juga mengadopsi bahasa, pakaian, dan adat istiadat Jepang.Â
Wibu seringkali memiliki pengetahuan mendalam tentang budaya Jepang, termasuk sejarah, tradisi, dan bahasa. Mereka menciptakan komunitas online yang besar di mana mereka dapat berbagi minat dan pengetahuan mereka. Wibu dapat dilihat sebagai agen positif dalam memperkenalkan budaya Jepang ke dunia luar.
Namun, di balik antusiasme mereka, beberapa elemen dari subkultur Wibu dapat dianggap sebagai penyimpangan. Beberapa individu Wibu dapat terjebak dalam dunia imajiner dan mengalami kesulitan beradaptasi dengan realitas. Selain itu, fenomena ini dapat menciptakan stereotip negatif terhadap penggemar budaya Jepang secara umum yang terlalu ter-obsesi atau semacam fanatisme berlebihan.
Fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan.
Obsesi adalah kecenderungan untuk memikirkan atau memfokuskan perhatian secara berlebihan pada suatu hal atau pikiran yang terus-menerus, sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari dan berpotensi mengganggu kesehatan mental seseorang.
Adopsi yang berlebihan terhadap budaya Jepang juga dapat dianggap sebagai bentuk apropiasi budaya,(Mengutip dari britannica.com apropriasi budaya adalah perbuatan seseorang atau suatu kelompok yang meniru atau menggunakan budaya suatu daerah untuk kepentingan pribadi tanpa memahami dan menghormatinya).
Tentang Wibu vs Otaku
Sebagai pemahaman kita, sebenarnya selain "wibu" juga dikenal "Otaku".  Wibu dalam bahasa Inggris yaitu Weeaboo. Istilah ini muncul pertama kali di komik Perry Bible Fellowship karya Nicholas Gurewitch. Awalnya, Weeaboo tidak memiliki makna apapun.Â
Namun, pada tahun 2000-an, sebuah forum online 4Chan ramai menggunakan Weeaboo untuk mengejek orang-orang yang terobsesi pada segala hal yang berbau Jepang. Orang-orang non-Jepang yang terobsesi berlebihan dengan budaya Jepang, sering dijumpai bergaya seperti layaknya karakter anime favorit (cosplay).
Wibu cenderung terobsesi dengan budaya Jepang, dari cara pandang hingga cara berpakaian, atau memakai kosakata Jepang seperti ohayo, konichiwa, arigatou hingga gomenasai.Â
Menyukai anime, memasang  karakter anime di media sosial dan bahkan kerap mencampurkan nama mereka dengan nama jepang, atau bahkan menggunakan aksara jepang untuk menulis nama mereka. Para wibu juga memiliki pasangan khayalan yang berupa karakter anime atau game itulah yang disebut Wibu pacar khayalan dan disebut waifu atau husbando.
Sedangkan  Otaku adalah versi hardcore dari wibu. Otaku muncul di era tahun 90-an. Istilah ini digunakan bagi orang yang menekuni suatu bidang secara mendalam. Otaku cenderung fanatik pada satu hal, sedang wibu fanatik pada segala yang berbau Jepang.
Sebutan lain dari wibu adalah Japanofilia, bentuk ungkapan yang ditujukan kepada seseorang terutama orang-orang Barat yang menyukai budaya populer dari Jepang. Japanofilia dianggap terbelakang karena mereka dianggap kurang menghargai budaya bangsa dan negaranya sendiri . Japanofilia merupakan kebalikan dari Japanofobia (Japanophobia) yaitu seseorang yang memiliki sifat anti-Jepang.
Tetapi dalam beberapa keterangan, Japanofilia tidak terlalu sama artinya dengan wibu karena pada dasarnya, Japanofilia dikatakan memiliki minat yang sangat luas tentang budaya Jepang, sedangkan wibu hanya terfokus pada budaya populer Jepang seperti anime dan manga.
Dalam masyarakat khususnya para pecinta anime di Indonesia, penggunaan kata wibu sendiri masih dianggap menjadi sebuah ejekan dan kebanyakan dari mereka memilih menggunakan kata ganti lain, yaitu "animers". Namun meskipun begitu, animers dan wibu merupakan suatu komunitas yang sama.
Artinya bahwa wibu sebagai sebuah "budaya baru" juga masih penuh kontradiksi dalam penerimaannya, bahkan oleh kalangan masyarakat Jepang sendiri. Mereka yang menyebut dirinya sebagai wibu dipandang eksklusif bahkan di negaranya sendiri.Â
Menemukan Nilai Dalam Wibu
Pencarian filosofi budaya Jepang dalam Wibu bisa dilihat sebagai upaya untuk memahami dan mengadopsi nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya. Budaya Jepang terkenal dengan nilai-nilai seperti kesederhanaan, rasa hormat terhadap orang lain, dan dedikasi terhadap pekerjaan. Dalam konteks ini, apakah Wibu hanya mengadopsi elemen hiburan semata, ataukah mereka juga merenungkan dan menerapkan filosofi budaya Jepang dalam kehidupan sehari-hari mereka?.
Sejauh mana Wibu mencerminkan atau menyimpang dari nilai-nilai budaya Jepang tergantung pada motivasi dan pendekatan individu masing-masing dan motivasi yang melatarbelakanginya.Â
Pencarian filosofi budaya Jepang oleh sebagian Wibu dapat dianggap sebagai langkah positif menuju pemahaman yang lebih mendalam dan penghormatan terhadap budaya yang mereka kagumi. Bagaimanapun juga, fenomena Wibu menunjukkan kompleksitas dalam cara budaya Jepang diadopsi dan diinterpretasikan di luar negeri.
Jadi sebenarnya seberapa wibu seseorang juga tergantung seberapa besar motivasi dan obsesi yang mempengaruhinya, hanya sekedar menjadikannya sebuah obsesi atau apropiasi-meniru tanpa menghargai nilai-nilai filosofi positif dari budaya Jepang yang bisa meningkatkan kualitas personality-nya.
referensi: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H