Sewaktu kunjungan sekolah ke Jakarta kemarin, saya mendapati pengatur lalu lintas liar di simpang jalan, menurut teman sebangku saya waktu itu, sebutannya Pak Ogah, alasannya karena selalu minta "cepek", setiap kali membantu para pengendara saat memintas jalur atau akan keluar dari parkiran, tapi terkendala lalu lintas yang menganggunya. Apalagi di persimpangan.
Sama seperti kasus di atas sebenarnya di daerah kita juga banyak kita temukan para tukang parkir liar, bersaing dengan petugas parkir resmi yang dikelola oleh masing-masing Pemerintah Daerah.
Sebenarnya ada dua jenis parkir di Indonesia, yaitu Parkir on street dan parkir off street. Untuk parkir yang berpeluang liar dan mengantongi penghasilan besar yaitu parkir on street, yaitu parkir yang menggunakan badan jalan sebagai lahannya. Biasanya dikelola oleh pemerintah daerah dengan menggunakan tarif parkir yang telah ditentukan. Namun tidak jarang, para juru parkir yang dipekerjakan, menarik tarif lebih mahal dari yang sudah ditentukan.
Seperti untuk wilayah Jakarta, melalui Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko mengatakan, pihaknya hanya berhak mengelola lahan parkir yang sudah diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 188 Tahun 2016. Di luar lahan parkir yang sudah ditetapkan itu, kewenangan bukan pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Artinya jika ada tukang parkir beroperasi diluar kewenangan mereka berada diluar tanggung jawab mereka.
Namun ini juga menjadi masalah yang tidak sederhana dan tidak bisa kita abaikan begitu saja. Maraknya lahan parkir liar sering memicu gesekan warga, apalagi seperti di Jakarta seperti saat kunjungan saya kemarin. Gesekan ini dipicu oleh gangguan pejalan kaki, lalu lintas kendaraan, tawuran karena rebutan lahan parkir, hingga terakhir pengeroyokan. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab menertibkan juru parkir liar ini jadinya?.
Perlu ada ketegasan dari Pemerintah, untuk mengatur masalah ini agar tidak terus menjadi masalah yang tidak ada ujungnya. Bahkan jika dibiarkan akan menambah banyak masalah sosial yang timbul.
Memang harus diakui, petugas parkir menjadi salah satu jenis pekerjaan yang menarik bisa mengatasi masalah sosial. Hanya saja masalahnya adalah para tukang parkir liar yang selama ini telah menguasai tempat-tempat tertentu juga tidak mudah singkirkan hanya dengan aturan biasa.
Bukan rahasia lagi jika para tukang parkir liar, bisa berasal dari kelompok preman tertentu yang menguasai suatu wilayah, sehingga dengan alasan menjaga keamanan wilayah mereka menawarkan jasa sebagai tukang parkir. Padahal intinya mereka mengharapkan seluruh hasil retribusi itu akan jatuh ke tangan mereka.
Karena pungutan parkir liar dengan pemaksaan dapat diadukan kepada kepolisian menggunakan pasal pemerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Pasal 368 ayat (1) KUHP, tindakan pemerasan tersebut dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun