Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Mengetatkan Aturan Main Pada Industri Buku agar ISBN Lebih Produktif

2 Desember 2023   22:21 Diperbarui: 7 Desember 2023   12:01 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aturan tersebut setidaknya akan memaksa para penulis untuk menuntaskan bukunya terlebih dahulu barulah dapat memperoleh ISBN. Jika saat ini kita bisa mendapatkan ISBN hanya dengan melampirkan cover dan daftar isi, hal itu mungkin menjadi salahs atu sebab banyaknya buku yang kemudian memperoleh ISBN namun kemudian tidak jadi terbit.

Pembatasan yang bersifat teknis tersebut lebih bijaksana dan menarik dalam mengatasi permasalahan ISBN yang tidak produktif. Bukan membatasi peruntukan atau kategorinya, karena siapapun berhak membuat buku dan apapun jenis serta isinya, sejauh tidak melanggar aturan.

Ilustrasi: Buku produksi berbagai penerbit di toko buku. (Sumber gambar: bintangpustaka.com)
Ilustrasi: Buku produksi berbagai penerbit di toko buku. (Sumber gambar: bintangpustaka.com)

Persoalan lain adalah meskipun banyak bermunculan penerbit independen atau independent publisher/self-publisher di Indonesia, tampaknya sebagian besar tidak murni benar sebagai pebisnis penerbitan. 

Ternyata sebagian besar penerbit independen atau penerbit mandiri di Indonesia masih menggantungkan pengelolaan penerbitannya kepada penerbit berbayar 'vanity publisher'. Sehingga sering kita mendapati para penyedia jasa untuk urusan editing, tata letak halaman, desain kover, hingga promosi dan penjualan yang langsung ditangani oleh si vanity publisher tadi. 

Sedangkan penulisnya yang mengaku sebagai self-publisher hanya menunggu semuanya beres, bahkan tidak ikut berpromosi dan menjual bukunya lewat event pelatihan dan bedah buku. Sebenarnya ini juga sepenuhnya menjadi masalah selama buku-bukunya bermanfaat luas dan bisa menutupi kekurangan buku yang ada di negara kita.

Penerbitan independen menjadi populer di Indonesia sejak ada lembaga-lembaga jasa penerbitan yang kemudian berubah menjadi vanity publisher yang menawarkan banyak kemudian kepada para penulis untuk menerbitkan bukunya sendiri dengan cara memodali editorial dan pencetakannya. 

Namun, hal yang keliru adalah bahwa penerbitan tersebut masih menggunakan nama lembaga si vanity publisher yang juga menggunakan nomor ISBN milik si vanity publisher. Padahal pengertian penerbitan independen sebenarnya penulis harus menggunakan nama penerbit sendiri, memiliki nomor ISBN atas penerbitan sendiri, mengontrol semua pekerjaan editorial secara mandiri, dan tentunya juga hanya menerbitkan bukunya sendiri--tidak buku orang lain.

Namanya juga penerbitan independen jadi penerbitannya mestinya dijalankan secara personal oleh sang penulis tanpa ia harus bergantung dengan penerbit konvensional.

penerbit masih didominasi di jawa sumber gambar data diolah dari IKAPI 2015
penerbit masih didominasi di jawa sumber gambar data diolah dari IKAPI 2015

Bahkan seperti pembahasan diawal, keberadaan penerbitan independen sebenarnya sangat ampuh untuk menggempur pasar terbatas (captive market) dan pasar ceruk (niche market) yaitu buku-buku yang hanya segelintir orang memerlukannya, termasuk buku anak. Tak perlu dicetak banyak atau dicetak by order jika ada pesanan masuk, meskipun ongkosnya jadi lebih mahal sedikit.

Dengan memanfaatkan teknologi cetak terbatas 'print on demand', penulis bisa memulakan bisnis penerbitan independen tersebut dengan biaya sangat hemat dalam hitungan Rp3 s.d. Rp5 juta rupiah.

Menurut praktisi penulis Bambang Trim, Penerbitan independen juga bisa dimulai dari e-Book yang pasti penulis tidak perlu mengeluarkan biaya cetak. Ia hanya perlu mengeluarkan biaya untuk editing, tata letak halaman, dan kover langsung kepada pekerja lepas. 

Para penulis bisa melakukan tes pasar bukunya lewat e-Book dan jika ada permintaan edisi cetak, ia bisa mencetaknya secara manasuka mulai 1 eksemplar hingga 200 eksemplar dengan POD.JIka sudah besar dan populer bisa dilanjutkan dengan cetak hardcopy-nya untuk pasar langsung di toko buku, seperti Gramedia, yang juga menerima pasokan buku dari penerbit independen.

Agar mendapatkan legitimasi tadi, tentulah penerbit independen perlu menyisihkan uang untuk biaya pengurusan legilitas perusahaan penerbitan, seperti akta notaris, SIUP, SITU, dan pendaftaran keanggotaan di Ikapi (karena sampai saat ini belum ada asosiasi penerbit independen di Indonesia yang mapan). Hal ini juga berhubungan dengan pengurusan ISBN di Perpusnas yang sudah semakin ketat dengan mempersyaratkan juga adanya akta notaris dan kelengkapan perusahaan lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun