Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Mengetatkan Aturan Main Pada Industri Buku agar ISBN Lebih Produktif

2 Desember 2023   22:21 Diperbarui: 7 Desember 2023   12:01 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pameran buku. (Foto: KOMPAS/RYAN RINALDY)

Jumlah nomor ISBN yang tersedia saat ini terbatas, yaitu hanya 377.000. Jumlah ini setara dengan rata-rata 67.340 judul buku per tahun hingga 2028. 

Tapi rasanya memang jadi aneh karena ternyata dari jumlah tersebut tapi tidak berbanding lurus dengan banyaknya produk buku yang ada di pasaran.

Bisa jadi problemnya adalah banyak buku yang telah ber-ISBN tapi tak jadi terbit atau hanya di cetak terbatas. Mungkin ini ada kaitannya dengan geliat tumbuhnya inisiatif orang untuk menerbitkan bukunya sendiri, tidak melalui penerbit mayor. Banyak persoalan yang menjadi ganjalannya. Termasuk keberadaan vanity publisher yang bertindak salah kaprah.

Penerbit yang mayor tentu tidak sembarang memilih buku untuk diproduksi, mereka akan benar-benar selektif memilih buku yang kemungkinan diprediksi akan memenuhi minat para pembaca dan kelak mungkin bisa viral dan menjadi best seller.

Apalagi kalau tidak salah didalam dunia penerbitan juga punya momok yang dikuatirkan oleh para penulis buku. Saat penerbitan pertama sebesar 3.000 eksemplar, jika tidak tembus tiras penjualannya maka akan turun kelas. Sehingga penerbit dan penulis sama-sama merasa kuatir soal berhasilnya buku pilihan terbitan mereka.

Sehingga wajar jika banyak penolakan oleh penerbit, bahkan penulis sekaliber JK R0wling saja saat menerbitkan Harry Potter pada awalnya ditolak oleh pulluhan penerbit, hingga akhirnya bisa terbit dan menjadi best seller di seluruh dunia.

Ilustrasi Anak membaca buku di toko buku. (Sumber gambar: gramedia.com)
Ilustrasi Anak membaca buku di toko buku. (Sumber gambar: gramedia.com)

Bahkan kisahnya berulang dialami oleh JK Rowling saat menerbitkan novel detektifnya CB Strike-detektif cormoran strike yang menggunakan nama alias. Setelah ditolak sana-sini akhirnya juga terbit, padahal ia penulis terkenal. Ketika JK Rowling membocorkan identitasnya banyak penerbit yang merasa sangat menyesal telah menolaknya. Begitulah kerasnya dunia penerbitan.

Bahkan bukunya yang berada diperingkat 1.000-an pada awal terbit, sejak bocor identitas, langsung memuncaki peringkat pertama dan buku sekuelnya langsung diburu para penerbit dan pembacanya.

Disisi lain masih banyak masalah yang berkaitan dengan penerbitan buku itu sendiri. Padahal dalam kondisi dimana minat baca di negara kita masih rendah sebenarnya kita masih membutuhkan banyak penulis dan penerbit yang bersedia menerbitkan buku-buku untuk memenuhi kekurangan di pasaran. Apalagi inisiatifnya mandiri dan tidak harus dalam jumlah produksi yang massal dan besar.

Meskipun hal itu menjadi sebuah dilema tersendiri saat ini. Menurut data direktori penerbit buku pada laman Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menunjukkan 90 persen dari seluruh penerbit (264 penerbit) berada di pulau Jawa. DKI Jakarta adalah kota dengan jumlah penerbit terbanyak. DI Yogyakarta berada di urutan kelima, dengan 44 penerbit.

Perpusnas mencatat ada 690 penerbit di seluruh Indonesia. Sisanya, 66 penerbit, tersebar di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. 

Lebih dari separuh jumlah ini berada di Pulau Sumatera. Data ini berbeda dengan versi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Dalam situsnya, IKAPI mencatatkan ada 1.506 penerbit di seluruh Indonesia. 

Penerbit buku di Indonesia sumber gambar diolah dari lokadata
Penerbit buku di Indonesia sumber gambar diolah dari lokadata

Menerbitkan Buku via Penerbit Mana?

Jika kita punya buku, dan kita hanya seorang penulis pemula-debutan, sebaiknya pilih penerbit mana? Apakah kita PD mengirimkan naskah kenerbit besar? Jika tidak lantas kemana buku karya kita harus dikirim dan dicetak?

Sebenarnya kita perlu memahami bahwa ada beberapa jenis penerbit yang bisa menjadi tumpuan kita untuk menerbitkan buku kita. Pertama penerbit mayor; sebutan itu karena memiliki jangkauan nasional. Buku-buku yang diterbikan, akan dipasarkan secara nasional. Sekali cetak, satu judul buku langsung dicetak dalam jumlah besar. Hasil buku-bukunya dijual ke toko-toko buku yang tersebar ke seluruh pelosok negeri. Contohnya Penerbit Gramedia.

Bahkan dengan kualitas penerbit standar mayor, mereka memiliki aturan lebih ketat. Kualitas kelengkapan naskah sanagt diperhatikan yaitu yang ada nilai selling point dan gagasannya asli. Jadi buku kita harus masuk dalam standar mereka baru bisa diterbitkan. Jika tidak maka naskah yang masuk, akan ditolak dan dikembalikan. INIlah yang mmebuat penerbit mayor menjadi sangat bergengsi-sekaligus ditakuti para penulis pemula.

Kedua; Selain itu juga dikenal Penerbit indie, jika penerbit mayor sekali cetak berani mencetak banyak, maka penerbit indie hanya mencetak buku dalam jumlah sedikit. Umumnya mencetak berdasarkan preorder atau berdasarkan permintaan dari pihak penulis.

Kelebihan menerbitkan buku di penerbit indie memiliki efisiensi waktu. Setidaknya buku yang masuk langsung akan diproses, dan dicetak dengan harga lebih terjangkau. Tapi penting bagi penulis untuk mencari penerbit yang bermutu bagus.

Ketiga, Vanity publisher; sebenarnya penerbit ini mirip dengan penerbit indie, bedanya hanya pada fasilitasnya, karena Penerbit indie biasanya menyerahkan segala urusan seperti layout, cover buku dan editing ke penulis langsung. Sedangkan vanity publisher memberikan fasilitas dan paket penerbitan. Penerbit vanity juga memberikan fasilitas dan layanan, seperti gratis layout, cover dan gratis ISBN bagi penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Jadi, pastikan kita harus memilih penerbit indie yang menguntungkan.

Itulah jenis penerbit buku yang sebenarnya penting kita ketahui. Salah satu manfaat menerbitkan bagi penulis adalah melindungi hak cipta sang penulis. Tidak dapat dipungkiri, ada banyak sekali kasus plagiarisme. Bahkan ada pula yang mencuri naskah kita, jadi ketika kita bisa menerbitkan buku kita akan punya payung hukum yang jelas.

Pada intinya, sebenarnya tidak ada yang salah dengan adanya inisiatif orang untuk menulis dan menerbitkan bukunya sendiri, karena hal itu menunjukkan adanya motivasi orang untuk menulis, dan tentunya membaca buku sebelum akhirnya menerbitkan buku miliknya sendiri.

Ilustrasi: Pembeli di toko buku. (Sumber gambar: bintangpustaka.com)
Ilustrasi: Pembeli di toko buku. (Sumber gambar: bintangpustaka.com)

Akan menjadi dilematis justru ketika ada pembatasan terhadap penerbitan buku mandiri, termasuk jika ada pembatasan jumlah eksemplarnya. Karena para penerbit independen yang awalnya bisa mencetak buku hanya beberapa eksemplar pada akhirnya akan terkendala oleh kebijakan pembatasan tersebut.

Ini akan semakin mempersempit usaha kita untuk memperbanyak sumber bacaan berupa buku yang memang selama ini masih langka jumlahnya.

Mungkin akan lebih bijaksana jika pembatasannya pada persyaratan penerbitannya, sebagaimana persyaratan untuk produk bku final saja yang dapat memperoleh ISBN, agar tidak terjadi kasus dimana ISBN telah banyak dikeluarkan namun produknya justru tidak muncul dipasaran.

Aturan tersebut setidaknya akan memaksa para penulis untuk menuntaskan bukunya terlebih dahulu barulah dapat memperoleh ISBN. Jika saat ini kita bisa mendapatkan ISBN hanya dengan melampirkan cover dan daftar isi, hal itu mungkin menjadi salahs atu sebab banyaknya buku yang kemudian memperoleh ISBN namun kemudian tidak jadi terbit.

Pembatasan yang bersifat teknis tersebut lebih bijaksana dan menarik dalam mengatasi permasalahan ISBN yang tidak produktif. Bukan membatasi peruntukan atau kategorinya, karena siapapun berhak membuat buku dan apapun jenis serta isinya, sejauh tidak melanggar aturan.

Ilustrasi: Buku produksi berbagai penerbit di toko buku. (Sumber gambar: bintangpustaka.com)
Ilustrasi: Buku produksi berbagai penerbit di toko buku. (Sumber gambar: bintangpustaka.com)

Persoalan lain adalah meskipun banyak bermunculan penerbit independen atau independent publisher/self-publisher di Indonesia, tampaknya sebagian besar tidak murni benar sebagai pebisnis penerbitan. 

Ternyata sebagian besar penerbit independen atau penerbit mandiri di Indonesia masih menggantungkan pengelolaan penerbitannya kepada penerbit berbayar 'vanity publisher'. Sehingga sering kita mendapati para penyedia jasa untuk urusan editing, tata letak halaman, desain kover, hingga promosi dan penjualan yang langsung ditangani oleh si vanity publisher tadi. 

Sedangkan penulisnya yang mengaku sebagai self-publisher hanya menunggu semuanya beres, bahkan tidak ikut berpromosi dan menjual bukunya lewat event pelatihan dan bedah buku. Sebenarnya ini juga sepenuhnya menjadi masalah selama buku-bukunya bermanfaat luas dan bisa menutupi kekurangan buku yang ada di negara kita.

Penerbitan independen menjadi populer di Indonesia sejak ada lembaga-lembaga jasa penerbitan yang kemudian berubah menjadi vanity publisher yang menawarkan banyak kemudian kepada para penulis untuk menerbitkan bukunya sendiri dengan cara memodali editorial dan pencetakannya. 

Namun, hal yang keliru adalah bahwa penerbitan tersebut masih menggunakan nama lembaga si vanity publisher yang juga menggunakan nomor ISBN milik si vanity publisher. Padahal pengertian penerbitan independen sebenarnya penulis harus menggunakan nama penerbit sendiri, memiliki nomor ISBN atas penerbitan sendiri, mengontrol semua pekerjaan editorial secara mandiri, dan tentunya juga hanya menerbitkan bukunya sendiri--tidak buku orang lain.

Namanya juga penerbitan independen jadi penerbitannya mestinya dijalankan secara personal oleh sang penulis tanpa ia harus bergantung dengan penerbit konvensional.

penerbit masih didominasi di jawa sumber gambar data diolah dari IKAPI 2015
penerbit masih didominasi di jawa sumber gambar data diolah dari IKAPI 2015

Bahkan seperti pembahasan diawal, keberadaan penerbitan independen sebenarnya sangat ampuh untuk menggempur pasar terbatas (captive market) dan pasar ceruk (niche market) yaitu buku-buku yang hanya segelintir orang memerlukannya, termasuk buku anak. Tak perlu dicetak banyak atau dicetak by order jika ada pesanan masuk, meskipun ongkosnya jadi lebih mahal sedikit.

Dengan memanfaatkan teknologi cetak terbatas 'print on demand', penulis bisa memulakan bisnis penerbitan independen tersebut dengan biaya sangat hemat dalam hitungan Rp3 s.d. Rp5 juta rupiah.

Menurut praktisi penulis Bambang Trim, Penerbitan independen juga bisa dimulai dari e-Book yang pasti penulis tidak perlu mengeluarkan biaya cetak. Ia hanya perlu mengeluarkan biaya untuk editing, tata letak halaman, dan kover langsung kepada pekerja lepas. 

Para penulis bisa melakukan tes pasar bukunya lewat e-Book dan jika ada permintaan edisi cetak, ia bisa mencetaknya secara manasuka mulai 1 eksemplar hingga 200 eksemplar dengan POD.JIka sudah besar dan populer bisa dilanjutkan dengan cetak hardcopy-nya untuk pasar langsung di toko buku, seperti Gramedia, yang juga menerima pasokan buku dari penerbit independen.

Agar mendapatkan legitimasi tadi, tentulah penerbit independen perlu menyisihkan uang untuk biaya pengurusan legilitas perusahaan penerbitan, seperti akta notaris, SIUP, SITU, dan pendaftaran keanggotaan di Ikapi (karena sampai saat ini belum ada asosiasi penerbit independen di Indonesia yang mapan). Hal ini juga berhubungan dengan pengurusan ISBN di Perpusnas yang sudah semakin ketat dengan mempersyaratkan juga adanya akta notaris dan kelengkapan perusahaan lainnya. 

Jika memang menjadi sebuah kebutuhan yang mutlak, Purpenas mau tak mau memang harus menerapkan kebijakan yang lebih ketat.

Namun, tidak membelenggu semangat para penulis dan penerbit independen untuk terus membantu Pemerintah menyediakan stok buku bagi kebutuhan buku nasional dan untuk terus mendorong tumbuhnya minat baca dengan banyaknya varian buku yang tersedia unutk semua segmentasi yang ada.

Mengendalikan Vanity Publisher

Bagaimanapun industri penerbitan buku telah mengalami transformasi signifikan dengan munculnya berbagai model penerbitan, termasuk hadirnya fenomena "vanity publisher" atau penerbit vanity. Apakah keberadaan vanity publisher memang berpotensi berbahaya bagi industri buku dan sejauh mana keterbatasan ISBN dapat memengaruhi keberlanjutan dan identifikasi buku di berbagai negara?

Pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang penting untuk dijawab, agar kita mendapatkan pemahaman yang benar tentang fenomena penerbit vanity tersebut.

Sebenarnya kehadiran Vanity publisher, semakin memungkinkan banyak penulis bisa menerbitkan bukunya dengan membayar sendiri biaya produksi. Namun salah satu kekhawatiran utama adalah karena kualitas karya penulis mungkin tidak melewati seleksi editorial ketat pada akhirnya juga berpengaruh pada kualitas buku yang diproduksinya, sehingga merugikan reputasi industri buku secara keseluruhan.

Banyak buku yang dicetak asal-asalan, baik dari segi editorial maupun desainnya. Membuat banyak buku pada akhirnya hanya menjadi sampah--dalam arti akrena kualitas isi dan cetaknya buruk.

Kekuatiran lain adalah bahwa kehadiran penerbit vanity juga bisa menciptakan persaingan yang tidak sehat dengan penerbit tradisional yang melakukan seleksi ketat terhadap karya yang mereka terbitkan. Ini dapat mengarah pada banalitas pasar dan membuat sulit bagi penulis berbakat untuk mendapatkan perhatian dari penerbit yang lebih mapan.

Belum lagi soal keterbatasan International Standard Book Number (ISBN) yaitu sistem identifikasi unik yang diberikan kepada setiap buku. Meskipun ISBN memberikan keuntungan besar dalam pelacakan dan pengelolaan inventaris buku, keterbatasan sistem ini bisa memberikan dampak pada penyebaran buku di tingkat internasional.

Beberapa negara memiliki kebijakan khusus terkait pemberian ISBN, dan keterbatasan ini dapat menjadi hambatan bagi penulis independen yang ingin mengakses pasar global. Beberapa penulis mungkin kesulitan mendapatkan ISBN tanpa dukungan dari penerbit tradisional, sehingga menghambat potensi internasionalisasi karya mereka.

Jadi bagaimana seharusnya yang dilakukan untuk mengatasi potensi dampak negatif dari vanity publisher?

Penting bagi penulis dan pembaca untuk memahami peran penerbit dalam menentukan kualitas suatu karya. Mendorong transparansi dan memberikan penulis akses ke sumber daya editorial dapat meningkatkan kualitas keseluruhan produksi buku.

Seiring itu, keterbatasan ISBN dapat diatasi dengan mendorong standarisasi proses pemberian ISBN di tingkat internasional. Langkah-langkah ini bisa menciptakan lingkungan yang lebih adil bagi penulis independen dan memfasilitasi akses global terhadap karya mereka.

Dengan mempertimbangkan keseimbangan antara inovasi dan kualitas dalam penerbitan serta peningkatan aksesibilitas global, industri buku bisa terus berkembang secara positif tanpa mengorbankan kualitas atau identitas unik dari masing-masing karya.

Bagaimana menurut kalian?

referendsi; 1,2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun