Mungkin ada benarnya dan cukup logis, usulan kebijakan penghapusan pegawai non ASN atau tenaga honorer diperpanjang dua tahun lagi hingga 28 November 2025, dan setelahnya tak akan ada perpanjangan lagi, agar Pemerintah daerah punya waktu menata kembali kekacauan tenaga honorer di daerah.Â
Pemerintah Pusat juga tak sakit kepala karena sesaat lagi sibuk berpemilu, dan tenaga honorer tak dirugikan dengan dua kebijakan; Marketplace Guru dan PPPK Paruh Waktu (Part Time)Â yang belum teruji keandalannya.
Banyak Kasus yang Belum Tuntas
Sebenarnya pemerintah telah menetapkan batas waktu tahun 2018 sebagai deadline untuk penghentian penerimaan pegawai honorer.Namun, hingga saat ini masih terdapat sekitar 2,4 juta orang yang berstatus pegawai honorer, meskipun seharusnya hanya ada sekitar 400.000 orang yang masih tersisa.
Badan Pengawas Pemilu juga mengelukan kebijakan itu karena di setiap Bawaslu kabupaten/kota kemungkinan hanya tersisa 8-10 staf setelah 7.000 tenaga honorer itu tak lagi bertugas, paska penghapusan tenaga honorer. Padahal, masa kampanye Pemilu 2024 akan dimulai 28 November 2023.
Kabar dari Aceh, masih ada guru non-ASN di Aceh yang belum menerima gaji sejak awal tahun 2023. Sebanyak 2.016 guru kontrak atau non-ASN di beberapa sekolah swasta di Aceh ini menuntut hak mereka selama 4 bulan yang belum dibayarkan oleh instansi tempat mereka bekerja. Itu baru sedikit temuan, sedangkan lainnya?.
Demikian juga nasib tenaga honorer terutama di pelosok daerah. Seperti pekerja menara mercusuar, di berbagai daerah, banyak non-ASN yang nyatanya mereka membantu luar biasa. Apakah nasib mereka diabaikan?. Sementara itu, pemerintah tidak bisa mengangkat seluruh tenaga honorer menjadi ASN karena akan membebani APBN.
Beberapa teman tenaga honorer di sekolah sedang bingung dan cemas, seorang diantaranya bahkan sedang merasa menjadi "korban" karena setelah beberapa lama menjadi tenaga honorer ternyata digantikan begitu saja oleh tenaga lain yang dikirim dari Dinas, padahal beberapa minggu lagi surat resmi ajuannya sebagai PPPK Guru sudah masuk. Akibatnya ia harus mengalah pindah ke sekolah dipinggiran kota yang jauh.
Meskipun Pemerintah sudah menawarkan solusi Marketplace Guru dan PPPK Paruh waktu bagi para tenaga honorer, tapi tetap saja masih menjadi masalah. Terutama kebingungan para tenaga honorer yang senior. Dan solusi itu sekarang malah dilematis karena banyak kekuatiran baru yang terlihat akan dihadapi para guru honorer terutama yang sudah berusia lanjut. Salah satunya tentu saja soal persaingan antar guru pengampu mata pelajaran yang sama.
Dengan banyaknya tenaga honorer yang masih belum tertampung, apalagi seperti diberitakan oleh kementerian PAN RB, ada lebih dari 300 ribuan tenaga honorer belum terakomodir menjadi ASN padahal mereka seharunys mau pensiun. Bagaimana ini jadinya?.
Harusnya mereka sudah diangkat sejak 2015, namun kenyataannya nasibnya  masih terkatung-katung. Jika mereka ikut solusi Kemendikbud dan Kemenpan RB dengan marketplace guru atau PPPK paruh waktu, mereka tentu saja akan mendapat kesulitan baru.
Meskipun berstatus tenaga honorer "Senior", namun justru status itu juga bisa bermasalah. Sekolah-sekolah yang terhubung dalam satu database dalam Marketplace Guru, tentu saja akan memilih para guru honorer yang lebih muda, lebih kekinian dalam penguasaan ilmunya. Termasuk jika mereka menawarkan kelas daring, akan lebih besar lagi masalahnya jika terganggu soal teknologi!.
Para guru honorer senior, telah melewati lika-liku kehidupan disekolah dengan berpengalaman mengajarnya , tapi dari sisi performance mungkin kalah dengan saing dengan para juniornya.
Marketplace Guru Dibuka, Untung atau Buntung?
Usulan pemerintah dengan kebijakan Marketplace Guru dan memberikan izin kerja paruh waktu bagi aparat sipil PPPK, meski langkah ini dapat dianggap sebagai solusi terbaik bagi nasib tenaga honorer, perlu dilakukan evaluasi dengan cermat sebelum mengambil kesimpulan definitif.
Marketplace Guru adalah sebuah konsep revolusioner yang dirancang sebagai platform database untuk calon guru yang sudah lama dinanti solusinya. Melalui konsep ini, berbagai potensi calon guru dapat diakses oleh sekolah-sekolah yang membutuhkan tenaga pendidik dengan cepat dan efisien.