Sore kemarin sejenak mampir rehat di dekat jalan underpass Beurawe, arah ke Simpang Surabaya--masih di pinggiran Koetaradja alias kota Banda Aceh. Di arah belokan kiri ada deretan kedai-kedai kopi yang tak mau berubah mengikut zaman. Dengan warna biru dongker kusam, atau merah juga  agak gelap, dengan deretan kursi plastik berkaki rendah dan meja tanggung.
Ternyata perjuangan harus dimulai dari mencari tempat parkir dulu, karena dipenuhi pengunjung yang rata-rata gaek dan sudah langganan dari waktu ke waktu.
Kami kebagian di halaman luar dibawah pohon seri, atau chery yang sedang ranum. Saya harus memesan langsung kopinya, karena tak ada waiters seperti di kafe sebelah yang dipenuhi para milenial. Yang jelas ini bukan dalam rangka menyamakan citarasa sesuai usia, sampai harus milih warung kopi jadul, ini semata karena rasa penasaran.
Seberapa asli rasa kopinya, apa masih seperti jaman dulu seperti kata suami saya. Kami memesan segelas kopi pancong, dan kali ini kopi artisanal. Racikan kopi spesial asli tanpa tambahan, dengan cara racik dan pengolahan yang konon katanya beda. Saya memilih Arabika.Â
Kebanyakan kedai kopi menyajikan robusta yang nikmatnya juga sama, tapi menurutku agak sedikit asam, dan sebagai cekgu atau guru dalam sebutan bahasa Aceh, saya kadang suka telat makan siang, jadi segan kalau harus berurusan dengan sakit lambung melilit.
Tapi yang pernah saya baca artikelnya dr Zaidul Akbar yang bilang, untuk menekan rasa lapar, kita bisa mengkonsumsi jenis minuman selain teh hijau, yaitu kopi pahit.
Tapi, ternyata masih ada tapinya, kalau tidak memiliki masalah di pencernaan. Jika punya masalah di pencernaan, dr Zaidul Akbar menyarankan untuk mengkonsumsi air mineral saja.
Aceh dan Kopi Artisanal
Tren menyeruput kopi di Indonesia menjelma sebagai gaya hidup. Kedai-kedai kopi tumbuh menjamur. Semua berlomba menawarkan rasa otentik dari aneka ragam kopi nusantara.
Artisan kopi adalah kedai yang menawarkan satu jenis kopi untuk pembeli. Sementara, manual brew adalah cara menyeduh kopi secara manual tanpa menggunakan mesin seperti dalam teknik espresso. Konsep kedai artisan kopi adalah suatu hal yang unik dalam industri kopi. Proses penyajian dan juga bentuk kedai, menjadi nilai jual dari kedai artisan kopi.
Beruntung di Aceh menjadi salah satu tempat spesial kopi artisanal Kopi Gayo, untuk jenis Arabica dan kopi luwak asli pegunungan dataran Tinggi Gayo, Bener Meriah hingga ke Gayo Lues.
Kedai kopi di Aceh kini menyediakan menu kopi makin beragam. Jika dari simpang tujuh pasar Ulhe Kareng ke arah kanan adalah pusat kedai kopi di awal merajalela di Aceh, kini telah menyebar ke seantero kota. Hingga ke batas kota di daerah Batoh di Arah Selatan.
Kafe ber-wifi kini juga banyak, meskipun sebenarnya nikmatnya ngopi ya menikmati kopi bukannya wifi, itu cuma sekedarnya, karena kita bisa bebas mengobrol dan menikmati makanan teman kopi yang di Aceh kebanyakan justru kue basah. Meliputi pulut panggang, ketan beulukat atau ketan dengan taburan kelapa yang telah dimasak dengan gula merah, dan roti selai asli Samahani--kota di Selatan ban Aceh arah ke Indrapuri di Aceh Besar. Atau makanan sedikit berat seperti mie Aceh atau martabak Aceh yang mirip martabak India.
Kopi Beurawe
Tempat yang sedang aku singgahi itu kedai kopi beurawe, terus terang memang jadul, tapi kopinya luar biasa. Rasanya kuat dan saya sebenarnya tak begitu terbiasa, karena saya jenis penggemar kopi sachetan sebagai "rekanan" kerja, pengurang kantuk, selain musik. Bisa susah tidur kata orang jika minum kopi jenis asli tanpa gula.Â
Segelas pancong kopi artisanal yang konon bijinya dirawat tanpa pestisida, tapi dengan pupuk dari cairan yang diperoleh dari limbah kayu sebagai pengusir hamanya. Aku tak ingat apa nama pestisida alami itu.
Hal lain yang bisa saya ceritakan karena ini cuma kunjungan sejenak, para penjualnya ternyata semuanya orang tua. Sebagiannya dulu malah bekerja sejak muda dan sampai sekarang sudah jadi legenda.
Jadi kalau diperhatikan di warung kopi yang katanya warung kopi pertama di Banda Aceh, para pelanggan tinggal menyapa si pembuat kopi yang telah bersiap dengan "saring kopinya" dan cukup bilang "pancong" untuk porsi kopi kecil. Atau cukup bilang" seperti biasa". Atau malah jika sudah akrab, si pembuat kopi yang bilang "seperti biasa" bukan si pemesannya.
Itu saja sudah menunjukkan betapa warung kopi di Aceh memang sebuah tradisi dan menjadi bagian dari budaya.
Memang harus diakui ada kenikmatan tersendiri, menikmati kopi Beurawe, ada rasa persaudaraan dan keakraban--bukan hanya akrab dengan hape dan wifi. Ini yang dirasakan kuat, sekental kopinya.Â
Tapi, ternyata lidah saya masih tetap kalah, maklum penggemar kopi sachet melawan kopi artisinal asli, pahit pula. Saya Menyerah kalah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H