Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rayana, Ibu Akan Selalu Menunggumu

4 Agustus 2022   15:06 Diperbarui: 8 Juni 2023   12:24 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar: perempuan berhijab.merdeka.com

Aku menyukai pemandangan ini. Ketika kelas begitu hening karena setiap siswa sibuk menulis. Aku memandangi wajah setiap siswa, dan mencoba mereka-reka, akan jadi apa mereka nantinya.

siswa-dalam-kelas-jpg-62eaa9243555e437ce4d8be4.jpg
siswa-dalam-kelas-jpg-62eaa9243555e437ce4d8be4.jpg

ilustrasi gambar: siswa dalam kelas. diolah via merdeka.com


Si pintar, si pendiam, si pengganggu yang hanya akan hilang suaranya, jika aku menyuruhnya keluar kelas untuk mengambil spidol boardmarker di kantor sekolah.

dsc-0304-jpg-62eaa010a51c6f7e321782d2.jpg
dsc-0304-jpg-62eaa010a51c6f7e321782d2.jpg

ilustrasi gambar: para siswa eskul menulis-dokumen pribadi


Aku memahami, bahwa begitu banyak siswa yang tekun disekolah pada akhirnya bisa mencapai impiannya. Tapi tak sedikit yang harus mengubah rencana masa depannya. Begitupun dengan siswa yang dianggap tak beruntung karena tidak pintar eksakta, termasuk ilmu sosial, tapi ia "kaya" dan "cerdas" sosial. Beberapa dari mereka ternyata kemudian menjadi pedagang sukses, dan ada yang jadi politisi. Luar biasa rasanya.

Belakangan aku menyadari para siswa juara kelas, tentu saja karena mereka belajar, tapi di sisi lain aku melihat, anak-anak cerdas itu tak suka risiko. Segala sesuatu di ukur dari ‘kesiapan belajar’. Jika tidak, ia kehilangan rasa percaya diri.

Sebaliknya siswa biasa, menggunakan peluang interaksi sosialnya agar bisa diterima orang lain dengan mudah. Ia berbaur, berekspresi, tanpa peduli  apakah harus punya ilmu sosialisasi, Just do it’s!. Mereka terlihat lebih bebas dan tanpa beban, meskipun harus aku akui prestasi belajarnya pas-pasan.

Rileks Saja Nak!

Tapi bukan berarti para siswaku yang berada di lima besar tak punya rasa sosial, mungkin mereka belum biasa bersikap ‘just do it’s. Mereka terlalu banyak menimbang sebelum berbuat, jika merasa tak sanggup langsung mundur. Tak terbiasa bermain tanpa aturan!. Itulah mengapa mereka tak terbiasa untuk bertindak spontan, selalu serba terukur. Inilah yang membuat mereka terlihat seperti penakut.

Aku terkejut ketika menemukan buku Robert T. Kiyosaki, kurang lebih judulnya, “Mengapa Siswa Nilai A Bekerja Pada Siswa Nilai C”. Setelah membacanya, aku tak akan berpikir siswa tidak boleh cerdas, tidak boleh belajar serius, atau harus mengejar nilai terbaik. Jika akan begitu akhirnya.

Buku itu, seperti ‘buah apel’ yang jatuh dan melawan gravitasi, tak seperti yang dipikirkan dan dibayangkan logika berpikir kita.

img20220519084713-62eb84093555e454b8111d32.jpg
img20220519084713-62eb84093555e454b8111d32.jpg
ilustrasi gambar: siswa sman 5 belajar di labkom- dokpri

Apakah itu artinya ‘para pengganggu-si cerdas sosial’ akan lebih unggul secara kualitas di masa depan?. Lantas mengapa ilmu yang diperoleh para siswa cerdas selama proses belajar ‘keras’ di sekolah tidak berguna?.

Apakah benar paradigma, siswa yang sehat secara sosial akan lebih beruntung di masa depan mereka?. Dalam semua urusan, entah urusan percintaan, bisnis, tapi bukan studi.

Ada yang masih berpikir sembarangan, ketika orang-orang yang tak berpendidikan tinggi atau drop out, menggunakan pengalaman tokoh terkenal yang drop out, sebagai panutan dan ukuran kualitas mereka.

Atau justifikasi yang menyebut bahwa sekolah tak akan merubah nasib seseorang untuk kembali pada kodrat yang seharusnya. Seperti perempuan semestinya harus menjadi ‘penguasa rumah’, bukan jadi orang kantoran!.

Merenung sejenak melihat potret hidup Bill Gates, pendiri dan mantan CEO raksasa software, Microsoft, ia memang drop out!. Tapi tunggu dulu, ia drop out dari Harvard University (bukan kampus abal-abal), salah satu institusi pendidikan terbaik di dunia!. Apa itu jadi ukuran pembanding kita yang cuma drop out dari sekolah menengah?.Jelas aja beda!.

Drop out-pun dilakukan Gates di tahun kedua kuliahnya pada 1975, ketika ia harus fokus mengembangkan Microsoft, yang  kemudian menjadi produk teknologi paling digjaya saat ini.

Meskipun begitu, jika ada siswaku yang cerdas sosial sekalipun, apalagi cerdas betulan tapi juga menyia-nyiakan masa depannya, aku juga tak akan membiarkannya begitu saja. Sekalipun ia berpikir tak akan melanjutkan kuliah. Aku punya sebuah kisah tentang yang satu ini. Apalagi ia murid pintarku.

Menarik Rayana Kembali Dalam Garis

ilustrasi gambar: peremuan berhijab.merdeka.com
ilustrasi gambar: peremuan berhijab.merdeka.com

Ini kisah tentang Rayana. Sore itu aku memutuskan mengunjungi rumahnya, muridku di kelas 12 IPS 1, kelas paling akhir di jenjang sekolah menengah. Mengapa harus Rayana dan mengapa kupaksakan datang ke rumahnya?.

Seminggu sebelumnya, aku menemuinya saat jam istirahat. Aku mendapat bocoran, jika Rayana memutuskan untuk tidak sekolah lagi dan ‘melupakan’ ujian akhir-nya. “Aku tak akan membutuhkan ijazah itu”, katanya ketika itu.

Tentu saja aku terperanjat. Ia termasuk anak pintar di kelas, setidaknya ada di lima besar, meski bukan juara satu di kelas. Cenderung sedikit cuek jika berbicara, dan sedikit pemilih  untuk urusan berteman. Rayana jenis siswa yang suka belajar, tapi tekanan ekonomi meruntuhkan nalarnya. Aku pikir ia akan kuliah nantinya, ternyata ini sebuah pengecualian. Ia tak peduli dengan kecerdasannya sendiri.

Ketika aku cecar lebih jauh secara baik-baik, aku menemukan jawabannya, jika Rayana telah dilamar seorang pria kaya. Ia menganggap dengan kekayaan calon suaminya itu, ia bisa mendapatkan apapun yang selama ini tak dipunyainya. 

Sebenarnya orang tuanya juga tak tergolong sangat miskin, ia memang dari keluarga kelas bawah. Jadi wajar jika ia kuatir dengan urusan keuangannya. Aku justru merasa lebih kuatir dan merasa ‘gagal’ jika salah seorang siswa di kelas-dan aku sebagai wali kelasnya, tak bisa membawanya keluar dari kelas dengan ‘selembar ijazah’.

Aku tak berkepentingan apapun dengan masa depannya, selama ia bahagia, tapi setidaknya dengan selembar ijazah-nya, mungkin Rayana jadi bisa ‘memilih’ masa depannya. Setidaknya ia punya harapan untuk membuat sebuah perubahan nasib dalam hidupnya.

Bagi seorang guru, pencapaian terbaik adalah ketika ia menjadi guru yang dapat diterima oleh semua siswanya, menjadi guru sekaligus sahabat. Bukan sekedar menjadikan mereka pintar, tapi mengarahkan minat, bakat, dan kepintarannya pada tujuan yang tepat. Menjadikan mereka bermanfaat dan bermartabat. Bukan sekedar soal baik dan buruk.

Jadi kemudian aku ingatkan kembali Rayana  tentang cita-citanya menjadi seorang perawat, kuliah profesi yang bisa langsung memberinya "uang". Aku bilang, “apa Rayana nggak mau jadi perawat?”, tanyaku mencoba mengganggu pikirannya. “Bagaimana kalau bosan jadi ibu rumah tangga?”, kataku menggodanya sambil menatap matanya.

“Terus kalau suatu saat impian menjadi perawat itu datang. Apa Rayana punya pilihan lebih baik, dibanding jika punya selembar ijazah sekolah sekarang?. 

Begitulah, tapi aku tak mendesaknya terlalu jauh. Aku cuma bilang, jika ia berubah pikiran, mulai Senin minggu ini, aku akan menunggunya di gerbang sekolah, meneleponnya setiap pagi untuk menguatkan mood-nya untuk kesekolah. 

Dan mengiriminya pesan singkat; kamu akan menerima ijazah sekolahmu cuma tinggal 35 hari lagi , dari 365x3 hari-harimu yang sudah kamu jalani. Begitu seterusnya, hingga H minus 1, hari ujiannya.

ilustrasi gambar: siswa masuk sekolah.berita minang
ilustrasi gambar: siswa masuk sekolah.berita minang

Tak berselang lama sebuah notifikasi masuk. Ia meminta waktu untuk berbicara denganku, jadi aku mencoba menjadi pendengar terbaik, dengan tak menanyakan, “mengapa kamu menelepon, dan ada apa”?.

Aku hanya sedikit berteriak gembira (akan terdengar nadanya hanya di telepon-karena itu suara hati), meskipun diliputi rasa penasaran, dengan berkata, “Apa kabar Rayana?”. Dan ketika ia memulai bicara, aku mencoba menahan diri untuk tak berkomentar apapun,  tapi hanya meng-iyakan untuk mendukungnya.

“Begitulah bu”, kata Rayana di akhir pembicaraan. Aku mendengar suaranya sedikit serak.  Ternyata calon suaminya mengijinkannya menunda pernikahan, ketika ia mengatakan butuh ijazahnya, meskipun entah untuk apa nantinya, daripada sama sekali tak memilikinya. “Hanya sebulan saja”!, katanya ketika ia menekankan alasan untuk bisa mendapatkan ijazahnya kepada calon suaminya.

Tentu saja aku yang di seberang telepon melompat kegirangan. Rasanya seperti sebuah 'ledakan' di kepala.

----

Lama kemudian aku tak mendengar kabar, karena kesibukan yang menggila di sekolah. Beberapa agenda undangan yang aku tempel di ruang kerja, nyatanya bukan terlupa, tapi tak bisa kupenuhi karena harus keluar kota.

Tapi  pada bulan Desember, empat bulan setelahnya, Rayana meneleponku. Aku bisa mendengar suaranya yang riang di telepon, ia ingin menemuiku. Katanya dengan suara gembira mengabarkan, kalau ia telah menjadi seorang perawat di sebuah rumah sakit di ibukota.

Entah kenapa aku menjadi orang paling sentimentil, aku tak bisa berkata-kata, karena tangisku nyaris meledak. “Selamat Rayana sayang”, kataku seperti layaknya kata-kata seorang  ibu kepada anaknya sendiri.

“Terima kasih Tuhan, anakku telah mendengarkan suara hatinya sendiri, dan ia memenuhinya impiannya”. Lantas pikiranku melayang  ke masa empat bulan lalu. Ketika Rayana berkeras tak mau melanjutkan sekolah, dan tak butuh ijazahnya!. Aku tersenyum, tersipu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun