Aku tak berkepentingan apapun dengan masa depannya, selama ia bahagia, tapi setidaknya dengan selembar ijazah-nya, mungkin Rayana jadi bisa ‘memilih’ masa depannya. Setidaknya ia punya harapan untuk membuat sebuah perubahan nasib dalam hidupnya.
Bagi seorang guru, pencapaian terbaik adalah ketika ia menjadi guru yang dapat diterima oleh semua siswanya, menjadi guru sekaligus sahabat. Bukan sekedar menjadikan mereka pintar, tapi mengarahkan minat, bakat, dan kepintarannya pada tujuan yang tepat. Menjadikan mereka bermanfaat dan bermartabat. Bukan sekedar soal baik dan buruk.
Jadi kemudian aku ingatkan kembali Rayana tentang cita-citanya menjadi seorang perawat, kuliah profesi yang bisa langsung memberinya "uang". Aku bilang, “apa Rayana nggak mau jadi perawat?”, tanyaku mencoba mengganggu pikirannya. “Bagaimana kalau bosan jadi ibu rumah tangga?”, kataku menggodanya sambil menatap matanya.
“Terus kalau suatu saat impian menjadi perawat itu datang. Apa Rayana punya pilihan lebih baik, dibanding jika punya selembar ijazah sekolah sekarang?.
Begitulah, tapi aku tak mendesaknya terlalu jauh. Aku cuma bilang, jika ia berubah pikiran, mulai Senin minggu ini, aku akan menunggunya di gerbang sekolah, meneleponnya setiap pagi untuk menguatkan mood-nya untuk kesekolah.
Dan mengiriminya pesan singkat; kamu akan menerima ijazah sekolahmu cuma tinggal 35 hari lagi , dari 365x3 hari-harimu yang sudah kamu jalani. Begitu seterusnya, hingga H minus 1, hari ujiannya.
Tak berselang lama sebuah notifikasi masuk. Ia meminta waktu untuk berbicara denganku, jadi aku mencoba menjadi pendengar terbaik, dengan tak menanyakan, “mengapa kamu menelepon, dan ada apa”?.
Aku hanya sedikit berteriak gembira (akan terdengar nadanya hanya di telepon-karena itu suara hati), meskipun diliputi rasa penasaran, dengan berkata, “Apa kabar Rayana?”. Dan ketika ia memulai bicara, aku mencoba menahan diri untuk tak berkomentar apapun, tapi hanya meng-iyakan untuk mendukungnya.
“Begitulah bu”, kata Rayana di akhir pembicaraan. Aku mendengar suaranya sedikit serak. Ternyata calon suaminya mengijinkannya menunda pernikahan, ketika ia mengatakan butuh ijazahnya, meskipun entah untuk apa nantinya, daripada sama sekali tak memilikinya. “Hanya sebulan saja”!, katanya ketika ia menekankan alasan untuk bisa mendapatkan ijazahnya kepada calon suaminya.
Tentu saja aku yang di seberang telepon melompat kegirangan. Rasanya seperti sebuah 'ledakan' di kepala.
----
Lama kemudian aku tak mendengar kabar, karena kesibukan yang menggila di sekolah. Beberapa agenda undangan yang aku tempel di ruang kerja, nyatanya bukan terlupa, tapi tak bisa kupenuhi karena harus keluar kota.
Tapi pada bulan Desember, empat bulan setelahnya, Rayana meneleponku. Aku bisa mendengar suaranya yang riang di telepon, ia ingin menemuiku. Katanya dengan suara gembira mengabarkan, kalau ia telah menjadi seorang perawat di sebuah rumah sakit di ibukota.
Entah kenapa aku menjadi orang paling sentimentil, aku tak bisa berkata-kata, karena tangisku nyaris meledak. “Selamat Rayana sayang”, kataku seperti layaknya kata-kata seorang ibu kepada anaknya sendiri.
“Terima kasih Tuhan, anakku telah mendengarkan suara hatinya sendiri, dan ia memenuhinya impiannya”. Lantas pikiranku melayang ke masa empat bulan lalu. Ketika Rayana berkeras tak mau melanjutkan sekolah, dan tak butuh ijazahnya!. Aku tersenyum, tersipu sendiri.