Apakah itu artinya ‘para pengganggu-si cerdas sosial’ akan lebih unggul secara kualitas di masa depan?. Lantas mengapa ilmu yang diperoleh para siswa cerdas selama proses belajar ‘keras’ di sekolah tidak berguna?.
Apakah benar paradigma, siswa yang sehat secara sosial akan lebih beruntung di masa depan mereka?. Dalam semua urusan, entah urusan percintaan, bisnis, tapi bukan studi.
Ada yang masih berpikir sembarangan, ketika orang-orang yang tak berpendidikan tinggi atau drop out, menggunakan pengalaman tokoh terkenal yang drop out, sebagai panutan dan ukuran kualitas mereka.
Atau justifikasi yang menyebut bahwa sekolah tak akan merubah nasib seseorang untuk kembali pada kodrat yang seharusnya. Seperti perempuan semestinya harus menjadi ‘penguasa rumah’, bukan jadi orang kantoran!.
Merenung sejenak melihat potret hidup Bill Gates, pendiri dan mantan CEO raksasa software, Microsoft, ia memang drop out!. Tapi tunggu dulu, ia drop out dari Harvard University (bukan kampus abal-abal), salah satu institusi pendidikan terbaik di dunia!. Apa itu jadi ukuran pembanding kita yang cuma drop out dari sekolah menengah?.Jelas aja beda!.
Drop out-pun dilakukan Gates di tahun kedua kuliahnya pada 1975, ketika ia harus fokus mengembangkan Microsoft, yang kemudian menjadi produk teknologi paling digjaya saat ini.
Meskipun begitu, jika ada siswaku yang cerdas sosial sekalipun, apalagi cerdas betulan tapi juga menyia-nyiakan masa depannya, aku juga tak akan membiarkannya begitu saja. Sekalipun ia berpikir tak akan melanjutkan kuliah. Aku punya sebuah kisah tentang yang satu ini. Apalagi ia murid pintarku.
Menarik Rayana Kembali Dalam Garis
Ini kisah tentang Rayana. Sore itu aku memutuskan mengunjungi rumahnya, muridku di kelas 12 IPS 1, kelas paling akhir di jenjang sekolah menengah. Mengapa harus Rayana dan mengapa kupaksakan datang ke rumahnya?.
Seminggu sebelumnya, aku menemuinya saat jam istirahat. Aku mendapat bocoran, jika Rayana memutuskan untuk tidak sekolah lagi dan ‘melupakan’ ujian akhir-nya. “Aku tak akan membutuhkan ijazah itu”, katanya ketika itu.
Tentu saja aku terperanjat. Ia termasuk anak pintar di kelas, setidaknya ada di lima besar, meski bukan juara satu di kelas. Cenderung sedikit cuek jika berbicara, dan sedikit pemilih untuk urusan berteman. Rayana jenis siswa yang suka belajar, tapi tekanan ekonomi meruntuhkan nalarnya. Aku pikir ia akan kuliah nantinya, ternyata ini sebuah pengecualian. Ia tak peduli dengan kecerdasannya sendiri.
Ketika aku cecar lebih jauh secara baik-baik, aku menemukan jawabannya, jika Rayana telah dilamar seorang pria kaya. Ia menganggap dengan kekayaan calon suaminya itu, ia bisa mendapatkan apapun yang selama ini tak dipunyainya.
Sebenarnya orang tuanya juga tak tergolong sangat miskin, ia memang dari keluarga kelas bawah. Jadi wajar jika ia kuatir dengan urusan keuangannya. Aku justru merasa lebih kuatir dan merasa ‘gagal’ jika salah seorang siswa di kelas-dan aku sebagai wali kelasnya, tak bisa membawanya keluar dari kelas dengan ‘selembar ijazah’.