Mohon tunggu...
Rini DST
Rini DST Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga - Seorang ibu, bahkan nini, yang masih ingin menulis.

Pernah menulis di halaman Muda, harian Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Mengguyur Malam

28 Januari 2022   22:40 Diperbarui: 28 Januari 2022   22:49 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air mengguyur dari langit. Menbasahi pepohonan, dahan, ranting dan dedaunan. Bunyi gemericik terdengar di atas genteng, mengalir menderu melalui talang yang di pasang pada pinggir genteng. Dan sengaja digerojokkan ke dalam selokan yang siap membawa air ke lautan lepas. 

Malam semakin larut. Helen sudah terbaring di tempat tidurnya. Sejak tadi mencoba memejamkan matanya. Tetapi sebentar terbuka, berkedip-kedip, sambil mendengarkan gerojokan air yang jatuh di sebelah jendela kamarnya. 

Telinganya mendengarkan dengkur nyaring suaminya yang sudah tidur lelap di sampingnya. Sesekali ditengoknya tubuh suaminya dalam gelap. Selimut berwarna gelap menutupi hampir seluruh tubuh. Sedangkan Helen lebih menyukai selimut berwarna cerah. 

Geluduk terdengar bagaikan akan memecah langit. Apalagi jika didahului oleh cahaya berkitat yang menghadirkan terang di gorden biru jendela kamarnya. 

Helen kurang suka hujan. Dia takut pada geluduk dan petir yang kadang bukan saja berbunyi dan berkilat. Namun  juga bisa menyambar bagian rumah yang tinggi, terutama yang terbuat dari logam.

Pada masa kecil, diingatnya bunyi geluduk yang menggelegar di tengah deru air yang tercurah dari langit. Bersama kakak-kakak dan adik-adiknya , langsung menghambur mencari ayah dan ibu. Ternyata keadaan aman-aman saja. Tak ada kejadian yang membuat celaka. Tetapi hari-hari esoknya, pohon cemara yang menjadi pohon jalan di depan rumah kering kerontang. Daunnya yang hijau berubah menjadi coklat-kekuningan. "Disambar petir," kata para tetangga yang melihat.

Pohon cemara itu ujungnya bukan logam. Tetapi berdirinya yang tegak dan sangat tinggi yang menyebabkan disambar petir. Malahan menjadi pelindung bagi rumah-rumah yang ada di sekitarnya. 

Berbeda dengan Helen, suaminya sangat suka hujan. Hujan adalah berkah. Air berlimpah dari langit akan memberikan kesuburan, bagi segala yang ada di bumi. 

Tanah yang luas segar bermandikan air hujan. Sawah dan ladang menghasilkan pangan yang membuat tiadanya kelaparan. Asalkan ... asalkan ... jangan ada banjir yang menhanyutkan  dan meluluhlantakkan tanaman dan harapan.

Anak-anaknya menurun kepada ayahnya. Tak pernah takut hujan. Tak pernah takut geluduk dan petir. Pun tak pernah takut banjir.

Untung ada Helen yang bawaannya takut hujan. Sehingga rumahnya selalu dilengkapi berbagai bentuk pelindung akibat hujan. Ada penangkal petir. Tiang logam yang ditancapkan di atas wuwungan, bagian tertinggi dari rumah. Lalu menghubungkan dengan kabel tembaga ke tanah. Helen mengharap. Seandainya ada petir lewat. Segera menyambar tiang logam yang tinggi dan terkendali  menjalar ke bumi. Tak sempat menyambar bagian lain.

Sebelum musim penghujan September hingga April datang, semua selokan sekitar rumah dibersihkan. Bebas alang-alang dan sampah-sampah lain. Air mengalir lancar dalam selokan, menuju laut lepas. Biarkan laut mengolah air, yang nantinya menjadi hujan membasahi bumi lagi. 

Malam ini, anak-anaknya sudah tak tinggal bersamanya lagi. Hanya berdua dengan suami. Helen masih seperti dulu. Menjaga rumahnya dari musim hujan yang baginya menakutkan. 

Suaminya juga masih seperti dulu, menyukai kedatangan hujan. Dia menangkap air hujan dengan membiarkan halamannya yang luas ditanami aneka pepohonan. 

Gemuruh air hujan mengguyur malam. Gerojokan air membuat Helen susah tidur, tetapi sebaliknya membuat suaminya tidur dengan nyenyak. Dililitkannya lengannya memeluk suaminya, mengusir takut walau kantuk tak kunjung datang. 

Bumi Matkita,

Bandung, 28/01/2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun