Zaman dulu, ada larangan untuk mengumbar yang saru-saru. La kok sekarang, malahan menjadi topik pilihan di Kompasiana.
Â
Sampai-Sampai yang perempuan menceritakan terbuka segala mules yang dirasakan, yang laki-laki berusaha memahami mules yang bagaimana yang dirasakan perempuan.
Ngomonginnya ga boleh terlalu gamblang. Nyebutnya juga satu huruf awal saja.Â
"Ssst "M" nduk, " kata si mbok "Semua sudah tahu tanpa bimbang."
Apabila telah tiba waktu, menjadi perawan ranum, si mbok sibuk menjahit popok kain untuk si genduk.
Bila "M" datang. Si mbok mengajarkan genduk mencuci popoknya dengan bersih.
"Lakukan sendiri dan klantang di matahari," kata si mbok.
Lalu harus diumpetin, seolah-olah benar-benar jangan terlihat oleh manusia dan dedemit.
Si genduk harus selalu menjaga agar popok tetap putih memplak, perlambang jiwa tetap kudus. Jangan tertinggal setitik pun noda.
Si mbok sudah untung, si genduk tidak ada gangguan perut. Banyak sekali perempuan repot mules bila menstruasi ... eh "M".
Si mbok rajin masak dengan bahan-bahan alami. Bumbu masak bikin sendiri, dari tanaman rempah yang berjejer di halaman rumah. Kunyit akan melancarkan darah yang keluar pada saat "M". Asam mengencangkan otot perut. Jahe menghilangkan sakit pada saat "M". Sereh meredakan perut kembung. Jadilah genduk tidak pernah ada gangguan pada saat "M". Selalu sehat.
*****
"Mengapa merenung terus-terusan mbok?" tanya si genduk melihat si mbok termenung di teras belakang.
"Si mbok itu banyak pikiran, nduk," jawab si mbok.
Zaman sekarang, popok putih buatan si mbok sudah berganti pembalut steril aneka macam. Sekali pakai langsung buang plok.Â
Membuangnya ada tata cara sih. Sama ... genduk harus mencuci dulu. Lalu melipat dan mengepal sampai kecil, lalu membungkus rapi. Barulah memasukkan ke tempat sampah.
Aduh ... janganlah menyumbat selokan, membuat air mengalir ke jalan raya. Banjir dimana-mana
"Nduk, apakah tidak malu dan takut Dedemit? tanya si mbok suatu hari.
"Malu dan takut karena apa, mbok? tanya si genduk balik.
"Itu lo, mengatakan dengan jelas M=menstruasi," jawab si mbok.
"Harus jelas untuk dapat hak cuti, mbok, " si genduk menjelaskan.
Si mbok manggut-manggut saja. Kalau si genduk tidak mendapat hak cuti, nanti tidak bisa mengajak dirinya jalan-jalan.Â
"Lalu membuang pembalut setiap bulan, apakah tidak takut Dedemit, nduk?"
"Ah itu takhayul, mbok."
"Tapi kan mengotori lingkungan, menyumbat selokan biÄ·in banjir," kata si mbok lagi, "apakah tidak ingin mbok buatkan popok lagi?"
"Ah harus adaptif, mbok," kata si genduk.
"Coba dipikirkan, nduk," kata si mbok sambil menatap si genduk serius.
"Apa sebaiknya aku jadi ahli mengolah pembalut menjadi batu bata ya mbok," kata genduk, "Nanti bermanfaat untuk proyek normalisasi sungai yang sampai sekarang belum terlaksana."
Si mbok memeluk si genduk dengan hangat, "Semoga angan-angan kita jadi kenyataan.Â
Si genduk mengelus punggung si mbok. Ibunya yang sudah tua, sering berpendapat zaman dulu lebih baik daripada zaman sekarang.Â
Bumi Matkita,Â
Bandung, 16/12/2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H