Topil kompasiana mempertanyakan, di mana kompasianer ingin menghabiskan hari tua? Waduh, pas sekali. Itulah yang menjadi pokok bahasan aku dan suami.Â
Hampir setiap pagi, hampir setiap duduk untuk sarapan bersama. Kebetulan posisi duduk suami memandang langit melalui jendela. Dan aku menghadap ke dalam ruang makan.
Suami membuat berbagai bahasan, yang diakhiri dengan kesimpulan "jangan tercerabut dari rumah kita".Â
Sedangkan aku membayangkan, Â kalau sudah harus sendiri aku ingin tinggal di panti jompo. Â
Kami mempunyai 2 putri. Alhamdulillah kami sudah mengantar menamatkan pendidikan. Berlanjut mengantar menuju pernikahan. Â Keduanya, masing-masing telah menghadirkan seorang cucu bagi kami. Dan semuanya sudah tidak tinggal bersama kami.
Apa makna tercerabut dari rumah?
Aku menikah dengan suami yang sudah ditinggalkan ayahnya. Dan ibunya merupakan sosok  orang tua yang berhasil menghindari tercerabut dari rumah.Â
Beliau tinggal sendiri di rumahnya. Dalam keseharian hidupnya ada pembantu yang bekerja pagi hingga siang hari. Malam hari ada pekerja sawah yang berjaga di rumah.
Sebagai seorang yang telah ditinggal ibu sejak kelas 2 SD, aku sangat mengagumi hidup ibu mertua.Â
Cukup mengagumi dalam diam, aku tak pernah mengganggu teritori ibu. Sebaliknya ibu juga. Kata orang karena kami sama memiliki shio ular.Â
Kembali ke masalah tercerabut dari rumah. Ada beberapa teman suami yang dijadikan contoh.Â
Sebut namanya Sultan, yang tentunya bukan nama sebenarnya. Sultan mengajak ibunya yang sudah sendirian untuk menjual rumahnya. Setelah ibunya yang tinggal di kota Surabaya, menjual rumah. Sebagian uang hasil penjualan untuk menambahi pembangunan rumah Sultan dan rumah kakak Sultan di Jakarta.Â
Kondisi keuangan Sultan lebih baik dari kakaknya. Hal ini terlihat dari ibunya yang lebih sering berada di rumah Sultan, yang hidup bersama istri dan anak angkatnya.
Kadang saat kami main ke rumah tersebut. Ibunya bercerita, yang dalam pandangan kami dengan nada sedih. Tentang rumah Surabaya dan liku-liku perjalanan hingga tinggal di rumah anaknya di Jakarta.
Ada cerita lain, tentang teman yang juga meminta ibunya yang juga sudah tinggal sendiri, untuk menjual rumahnya yang di Blok M Jakarta. Dan sekarang ibunya berpindah-pindah dari rumah anak yang satu ke anak yang lain. Dan tampak rumah anak-anaknya satu persatu menjadi lebih bagus.Â
Hampir di semua rumah anak-anaknya ada paviliun tambahan untuk ibu. Di Bekasi, Cibubur dan satu diantaranya di Bandung, tempat tinggal teman suami. Aku sebut namanya dengan Bobi, bukan nama sebenarnya.
Ada juga seorang ibu yang teman aku, aku sebut namanya bu Anto yang bukan nama sebenarnya juga. Tadinya bu Anto tampak bahagia, dengan rumah yang sangat indah dan besar. Di komplek tempat aku tinggal, yang juga merupakan komplek tempat anaknya beserta keluarga tinggal.Â
Berbeda dengan ibunya Sultan dan Bobi, bu Anto masih bersama suaminya. Dan suaminya yang dipanggil dengan pak Anto sudah pensiun entah dari mana di Surabaya.Â
Pak Anto gemar menanam bunga-bunga di taman di komplek, bahkan tepat di depan rumah aku. Indah sekali, semarak warna-warni.Â
Tetapi ... tetapi ada tetangga lain yang menuduh pak Anto akan mengambil tanah umum milik komplek. Langsung saja bu Anto menceritakan keluh kesah penyesalan, memenuhi permitaan anak untuk menjual rumah yang di Surabaya. Padahal maksudnya agar ibu dan bapak Anto dekat dengan anak, yang ada di komplek tempat aku tinggal juga. Â Â
Itulah beberapa contoh tentang orang tua yang tercerabut dari rumah, yang diceritakan ulang oleh suami.
Akhir-akhir ini kami sering membahas tentang hari tua. Apalagi sejak adanya pandemi covid-19., yang membuat 7 anak kos yang tadinya tinggal bersama dan menemani kami pulang ke rumah masing-masing. Mereka belajar daring dari rumah, tidak memerlukan tempat indekos lagi.
Kami pun merasa lebih baik tiada anak kos di rumah kami. Takut tempat kos kami menjadi kluster penyebaran covid-19.Â
Namun tiada anak kos, juga berarti berkurangnya pemasukan uang. Sehingga membuat kami juga berhenti menggunakan tenaga pembantu.Â
Jadilah kami hanya berdua, sebagai suami-istri yang bagaikan tanpa akhir selalu membicarakan hari tua. Selama masih berdua, masih ada tenaga membereskan rumah dan memasak, tentunya aku juga ingin agar tidak tercerabut dari rumah.Â
Mengapa aku ingin tinggal di panti jompo?
Menjawab pertanyaan suami saat berbincang-bincang sambil sarapan pagi. Pertanyaan serupa topil Kompasiana, "Di mana aku ingin menghabiskan hari tua?"
Saat ini, Alhamdulillah kami tinggal berdua. Kalau Allah menetapkan aku harus hidup sendiri, dengan pilihan yang aku tidak tahu benar atau salah. Aku menjawab memilih tinggal di panti jompo.
Untuk tinggal di panti jompo yang memadai, artinya keadaan panti bersih, tentunya memerlukan uang yang tidak sedikit. Selain uang kondisi kesehatan juga masih memadai, artinya jangan "ambruk-bruk".
Aku merasa mempunyai sedikit pengetahuan tentang panti jompo. Ada saudara sepupu mbak Dewa dan mbak Tien yang tinggal di panti jompo Aussie Kusuma Lestari, Depok, Jawa Barat.
Ceritanya mereka sangat senang tinggal di sana, dan tentunya dengan biaya yang aduhai.Â
Mbak Dewa dan mbak Tien, dua bersaudara wanita karir yang tidak menikah. Mereka hidup bersama ibunya. Setelah ibunya meninggal, beberapa lama mbak Dewa dan mbak Tien hidup berdua di rumah yang tadinya ditinggali bersama ibunya.Â
Aku, suami dan anak-anak yang saat itu masih kecil, kadang-kadang main ke rumah mereka. Kami sempatkan menengok sambil memesan kue buatan mbak Dewa. Sejak pensiun mbak Dewa menerima pesanan kue.Â
Entah apa yang ada dalam hati mereka, Â suatu hari memutuskan tinggal di panti jompo.
Lain dengan mbak Dewa dan mbak Tien, tentang bibi aku. Bibi Marian seorang wanita karir yang juga tidak pernah menikah, dan hari tuanya juga sendiri.Â
Bibi Marian enggan ke panti jompo, memilih tinggal di rumah cucu keponakan. Karena sering ditinggal sendiri, bibi ditemani seorang pembantu.Â
Bibi tidak kesepian, karena memang dari muda bibi hobi menonton TV. Justru sekarang bibi merasa merdeka, dengan biaya hidup ditanggung semua keponakan-keponakan. Aku yang rumahnya paling dekat diminta untuk sering menengok memenuhi keperluan bibi.
Lain lagi dengan uwak, yang awalnya menjalankan usaha toko batik dengan suami. Setelah suami meninggal, entah apa alasan anak-anaknya mengirim uwak ke panti jompo.Â
Walaupun kesehatan uwak masih cukup memadai, uwak yang sudah tua masuk di panti jompo Aussie Kusuma Lestari harus dengan rekomendasi mbak Dewa dan mbak Tien. Juga dilengkapi dengan seorang suster atas biaya sendiri
Tentang biaya bagi uwak bukanlah masalah. Rumah uwak berdiri megah di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Â
Untuk menjalani hidup di panti jompo, ternyata tidak cukup dengan memenuhi syarat biaya dan kesehatan yang memadai. Juga hati, harus ikhlas. Belum genap seminggu, uwak meninggal dunia di panti jompo.Â
Itulah beberapa contoh tentang orang tua yang tinggal di panti jompo, yang dekat dengan aku.
Ah ... selama masih berdua dengan suami, masih ada tenaga membereskan rumah dan memasak, tak usahlah terlalu memikirkan tinggal di panti jompo.Â
Bagaimana kalau mendirikan panti jompo?
Hampir setiap orang, berusaha menata hari tua dengan baik. Keadaan-keadaan tertentu bisa membuat goncang keuangan di hari tua. Seperti kami, pandemi covid-19 memaksa kami menutup tempat kos.
Sebenarnya cadangan-cadangan juga disiapkan, misalnya dengan membuat kontrakan. Ada beberapa mahasiswa yang memerlukan suasana belajar daring bersama. Jadi mereka memerlukan tempat kontrak.Â
Tetapi ... tetapi ketua RT setempat melarang kami menerima mahasiswa sebagai pengontrak. Katanya selalu membuat kegaduhan. Â Â
Waduh apa iya? Mahasiswa harapan bangsa dikatakan membuat kegaduhan, sedangkan misalnya mantan koruptor masih dianggap menciptakan kenyamanan dalam sebuah lingkungan.
Sebagai warga tak ada jalan lain, harus memberhentikan kontrakan untuk mahasiswa. Kami bersyukur di hari tua, sebagai nini dan aki masih mempunyai honor dari anak.Â
Honor? Ya honor, karena menjadi tempat penitipan cucu yang harus belajar daring. Ayah dan ibunya harus bekerja sebagai pahlawan masa pandemi covid-19.
Kami bersyukur dengan adanya kegiatan yang indah bersama cucu, setiap hari Senin hingga Jumat. Dari pagi hingga sore hari.Â
"Bagaimana kalau mendirikan panti jompo?" tanyaku yang sepertinya hanya merupakan impian belaka.Â
"Di rumah kontrakan kita?" tanya suamiku kembali.
"Hehehe," kami berdua tertawa.Â
Aku segera duduk di samping cucu yang belajar daring. Suami mengenakan masker dan topi, berangkat mengawasi tukang yang sedang membersihkan dan memperbaiki rumah kontrakan kami.Â
Bumi Matkita,
Bandung, 05/11/2021.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI